Mohon tunggu...
Panji Septo Raharjo
Panji Septo Raharjo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Saya sangat menyukai dinamika politik di tanah air. Tidak hanya seru, politik di Indonesia sangat hidup dengan berbagai kelakar dan cerita-cerita lucu yang menyertainya.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilpres Diduga Diisi Kecurangan, Suara Kita Dikorbankan

19 Februari 2024   22:12 Diperbarui: 20 Februari 2024   00:20 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
twitter https://twitter.com/Ardaffaf/status/1759520542217170995/photo/1

Kata orang, politik itu sampai tenggorokan saja, tak perlu dimasukkan ke hati. Pasalnya, kemenangan dan kekalahan jagoan yang telah bertarung dalam pemilihan presiden acap kali tidak memberi dampak signifikan kepada masyarakat dalam waktu dekat.

Memangnya kalau pasangan tertentu menang, kamu bisa 'tiba-tiba kaya, makmur, dan sejahtera'? Kalau itu yang kamu harapkan, silahkan bermimpi selama lima tahun ke depan kawan. 

Meski begitu, para konstituen tetap memberikan dukungan kepada para kontestan secara gila-gilaan. Kalau kata orang berilmu di dalam partai, politik adalah salah satu cara agar masyarakat bisa sejahtera. 

Dengan program yang apik dan mengutamakan masyarakat, hal itu bisa dicapai meski melalui proses rumit dan bersyarat. Akan tetapi, itulah cita-cita yang diinginkan semua khalayak.

Setidaknya, kesejahteraan pastinya menjadi impian banyak orang. Oleh karena itu, orang-orang yang berharap tanah air sejahtera sesuai misi jagoannya tak ingin kalah. 

Kalau dilihat-lihat, visi misi para kontestan itu bak angin surga yang diharapkan bisa memberi kesejahteraan bersama. Apakah begitu realitanya?

Demi harapan-harapan itu, para konstituen tak kunjung menyerah. Mereka melakukan berbagai upaya, meski yang bisa dilakukan hanya berteriak saja. Dampaknya sangat kecil, mungkin tak akan didengar mereka-mereka yang usil. 

Contohnya, beberapa guru besar dan partisan masyarakat sipil menyerukan delegitimasi atas perhitungan cepat yang dilakukan saat pemilihan presiden. Miris sekali saat melihat para pengajar itu dianggap partisan kelompok tertentu.

Menurutku pribadi, mereka hanya ingin pesta demokrasi menjadi hajatan warga di negeri fantasi. Akan tetapi, mereka merasa pemilihan presiden tahun ini tidak adil karena ada beberapa faktor yang dianggap anyir. 

Masyarakat yang menolak hasil perhitungan cepat turun ke jalan, mereka mengepung lembaga pengawas pemilu untuk meminta pertanggungjawaban. Momen ini tak terjadi sekali, lima tahun lalu juga seperti ini. 

Atas dugaan kecurangan, mereka rela menjadi semut yang mengerumuni gula. Pertanyaannya, siapa yang membuat mereka gusar? Peran elite politik dan dugaan pemilihan yang curang itu adalah jawabannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun