Mohon tunggu...
Panji Septo Raharjo
Panji Septo Raharjo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Saya sangat menyukai dinamika politik di tanah air. Tidak hanya seru, politik di Indonesia sangat hidup dengan berbagai kelakar dan cerita-cerita lucu yang menyertainya.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilpres Diduga Diisi Kecurangan, Suara Kita Dikorbankan

19 Februari 2024   22:12 Diperbarui: 20 Februari 2024   00:20 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata orang, politik itu sampai tenggorokan saja, tak perlu dimasukkan ke hati. Pasalnya, kemenangan dan kekalahan jagoan yang telah bertarung dalam pemilihan presiden acap kali tidak memberi dampak signifikan kepada masyarakat dalam waktu dekat.

Memangnya kalau pasangan tertentu menang, kamu bisa 'tiba-tiba kaya, makmur, dan sejahtera'? Kalau itu yang kamu harapkan, silahkan bermimpi selama lima tahun ke depan kawan. 

Meski begitu, para konstituen tetap memberikan dukungan kepada para kontestan secara gila-gilaan. Kalau kata orang berilmu di dalam partai, politik adalah salah satu cara agar masyarakat bisa sejahtera. 

Dengan program yang apik dan mengutamakan masyarakat, hal itu bisa dicapai meski melalui proses rumit dan bersyarat. Akan tetapi, itulah cita-cita yang diinginkan semua khalayak.

Setidaknya, kesejahteraan pastinya menjadi impian banyak orang. Oleh karena itu, orang-orang yang berharap tanah air sejahtera sesuai misi jagoannya tak ingin kalah. 

Kalau dilihat-lihat, visi misi para kontestan itu bak angin surga yang diharapkan bisa memberi kesejahteraan bersama. Apakah begitu realitanya?

Demi harapan-harapan itu, para konstituen tak kunjung menyerah. Mereka melakukan berbagai upaya, meski yang bisa dilakukan hanya berteriak saja. Dampaknya sangat kecil, mungkin tak akan didengar mereka-mereka yang usil. 

Contohnya, beberapa guru besar dan partisan masyarakat sipil menyerukan delegitimasi atas perhitungan cepat yang dilakukan saat pemilihan presiden. Miris sekali saat melihat para pengajar itu dianggap partisan kelompok tertentu.

Menurutku pribadi, mereka hanya ingin pesta demokrasi menjadi hajatan warga di negeri fantasi. Akan tetapi, mereka merasa pemilihan presiden tahun ini tidak adil karena ada beberapa faktor yang dianggap anyir. 

Masyarakat yang menolak hasil perhitungan cepat turun ke jalan, mereka mengepung lembaga pengawas pemilu untuk meminta pertanggungjawaban. Momen ini tak terjadi sekali, lima tahun lalu juga seperti ini. 

Atas dugaan kecurangan, mereka rela menjadi semut yang mengerumuni gula. Pertanyaannya, siapa yang membuat mereka gusar? Peran elite politik dan dugaan pemilihan yang curang itu adalah jawabannya. 

Seakan tak rela suaranya sia-sia, mereka berani meluangkan waktu dan energi untuk mengorbankan diri. Jika demikian adanya, siapa yang harus bertanggung jawab atas kecurangan itu? 

Tanpa pembuktian, teriak-teriak curang hanya menjadi omong kosong. Akan tetapi, suara-suara kecil di sosial media mungkin saja bisa memberikan jawaban-jawaban yang memberi pencerahan.

Kecurangan-kecurangan yang dilakukan berbagai kubu ditumpahkan warganet. Tidak hanya berisi opini dan asumsi, video dan foto juga menjadi bukti. 

Pernahkah kamu melihat gambar yang memperlihatkan seseorang mencoblos salah satu pasangan secara gila-gilaan? Sayang sekali, ramainya konten tersebut sepertinya menandakan kecurangan dan politik uang tak bisa kita hindari pada pemilihan presiden tahun ini.

Menurutku, wajar saja jika politik uang dan kecurangan itu terjadi. Pasalnya, para penantang tak mungkin bisa menang dengan cara biasa. Di sisi lain, sang jenderal berkawan dengan pemilik kuasa. 

Kalau begitu, buat apa kita buang buang yang negara untuk menyelenggarakan pemilu yang curang? Kita semua adalah korban. Bagiku pribadi, kecurangan itu memang sudah terjadi sejak Pak Lurah bertindak sesuka hati. 

Seakan menyerahkan dosa-dosanya kepada kita, ia menyerahkan pemilihan itu kepada rakyat yang tak tahu apa-apa dan hanya bisa memilih omong kosongnya. Namun, ia juga harus menyapkan siasat agar pemerintahan bisa tetap stabil tanpa kegusaran masyarakat.

Ironisnya, suara tulus para pendukung sepertinya akan dikangkangi. Siapapun yang menang, kita akan tetap dikecewakan dengan realita ke depan. Siapa yang bisa menjamin calon pilihanmu tak bergabung dengan pemerintahan? 

Menjadi oposisi bukanlah pilihan utama para kontestan, mereka pasti ingin duduk dan menggenggam kekuasaan. Dengan tawaran manis, barangkali koalisi oposisi akan menjilati pemerintah secara pragmatis.

Malas rasanya melihat perpecahan yang terjadi di antara para pendukung. Toh, ujung-ujungnya kue kekuasaan akan dibagi-bagi agar negara fantasi ini tetap bisa berlari. 

Ironis sekali, akar rumput seolah saling menuduh. Sedangkan para kontestan yang didukung justru terlihat santai-santai saja karena lima tahun mendatang ia akan kembali dicalonkan.

Menurut salah satu kawanku, memilih salah satu calon yang nantinya tak sesuai harapan bukanlah dosa yang harus ditanggung bersama. Jika tidak bisa menang, setidaknya ia telah berjuang. 

Ia menilai dukungan yang telah dia berikan kepada salah satu pasangan calon itu merupakan upaya agar suaranya tak sia-sia dan penyesalan tidak menghantui diri di lain hari.

Jika tanah air tidak sejahtera, apakah hal itu menjadi tanggung jawab bersama. Bayangkan jika ke depan beras dan bensin menjadi mahal dan menyusahkan kita semua.

Padahal, tujuan bernegara agar keamanan perut bisa terjaga. Masyarakat hanya ingin keadilan sosial bagi seluruh rakyat negeri fantasi teralisasi. Lantas, perlukah membela calon presiden mati-matian?

Membela menjadi cara termudah dan tercepat untuk memberi dukungan. Semangat yang diberikan kepada jagoan biasanya akan dikonversi menjadi kekuatan. 

Namun apa yang terjadi? Para pendukung yang merasa menang bertingkah arogan, sedangkan pihak yang kalah tak mengakui kemenangan. Mirisnya, masyarakat yang tak bisa bicara hanya bisa menonton saja.

Seolah meniupkan terompet dan genderang perang, para pendukung di negara fantasi yang turut meramaikan hari pemilihan presiden itu saling menyerang. Sosial media seakan menjadi arena pertempuran.

Momen yang bertepatan dengan hari kasih sayang itu tak mencerminkan rasa cinta. Sebagai jomblo, setidaknya aku menunggu ucapan cinta dari satu orang, yakni pemimpin yang akan memberi rasa aman untuk masyarakat. 

Ironis, kasih sayang itu rasanya terbelah dengan adanya kontestasi lima tahunan. Cinta terhadap saudara setanah air tak tampak lagi. Jangankan orang lain, keluarga sendiri saja bisa menjadi musuh di dalam rumah.

Dalam pantauanku di jagat maya, tiga kelompok yang mendukung masing-masing jagoanya tak ingin kalah keras bahkan harus mengorbankan diri untuk menanggung rasa sakit hati. Aduh! Padahal aku ingin cinta kasih sayang menguatkan negeri ini lho. Apakah kamu berpikir sama?

Jika dibayangkan, para pendukung yang tergila-gila dengan idolanya itu seperti sedang saling melemparkan kotoran ke arah saudaranya sendiri. Para konstituen rela bertahan sejak pagi hingga pagi lagi untuk mencemooh pendukung dari calon presiden kompetitor.

Apakah polarisasi akan terjadi usai presiden terpilih muncul? Beberapa di antara pendukung itu meluapkan emosi sambil memberi kata-kata yang cukup menyeramkan untuk dibaca di kolom komentar.

Sayangnya, hati yang terluka hanya bisa merenung dan menangisi kekalahan sambil sumpah serapah. Kejadian-kejadian itu telah menguras energi dan semangat kebersamaan masyarakat di dalam negeri. Tak sedikit pula pemaksaan pikiran dan penghakiman yang dicurahkan para pendukung loyal, miris sekali.

Padahal, mereka telah bersama-sama merayakan pesta demokrasi lima tahun sekali. Inikah yang kalian inginkan? Apa sih untungnya bagi mereka? Hal itu sering kali kupertanyakan usai melakukan pencoblosan di bilik suara.

Mereka yang merasa dicurangi tetap bertahan sejak pagi hingga malam hari meski jari jemari dan isi kepalanya kusut karena terlalu sering tergiring opini. Gosip-gosip soal kecurangan seakan menuangkan bensin ke dalam bara api. 

Berbagai cacian dan makian memenuhi semua platform. Kata-kata tak pantas itu telah membanjiri sosial media setidaknya sejak tiga bulan terakhir hingga pemungutan suara berakhir. Seolah-olah dunia telah berakhir, kuharap konstituen kini mulai melipir.

Namun, menyakiti para pendukung dan sang pemenang sepertinya akan menjadi alasan untuk tetap berselancar di sosial media. Sedihnya, kata-kata sadis itu tak hanya berakhir di dunia maya, namun telah menggurita di dunia nyata. 

Beberapa orang mengalami sindiran keras dari tetangganya hanya karena mendukung tokoh yang berbeda. Tak sedikit pula orang tua yang memaksakan anaknya untuk memilih calon presiden tertentu agar idolanya bisa menang dan mendapat kekuasaan. 

Padahal, satu suara itu tak akan berpengaruh besar dalam keharmonisan rumah tangga. Ada pula ibu mertua yang mengusir menantunya karena beda pilihan. Lucunya, sang menantu hanya bisa tertawa diteriaki ibu-ibu yang gusar. 

Kira-kira, bagaimana nasibnya jika negeri fantasi yang dipimpin jagoannya tak sesuai harapan? Keinginan saling menghancurkan seakan-akan jadi hal utama. Menghakimi pilihan yang tak sama seperti mengkhianati sila ketiga. 

Rasa ingin menceramahi dan mempersuasi pendukung lawan dengan argumentasi sepertinya akan menjadi tren mulai sekarang. Sebagian orang yang tidak terlalu baper dengan calon yang difavoritkan karena merasa tanah air tidak akan berubah signifikan. 

Toh, para kontestan tidak akan merasa kesulitan dalam hal finansial. Tidak seperti kita yang harus menguras keringat demi jumlah uang di rekening meningkat.

Sepertinya kita harus menanggung dosa mereka yang membuat perpecahan ini kembali. Kita pula yang harus berpikir untuk menyatukan saudara setanah air. Usai pencoblosan, semua orang harusnya merasakan kemenangan.

Sebab, pilihan mayoritas akan menjadi pemimpin dan mengemban amanat dengan yakin. Kuharap, beliau tidak memecah belah masyarakat dengan memprioritaskan salah satu kelompok saja. Inikah yang kau mau?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun