Mohon tunggu...
Panji Nugroho
Panji Nugroho Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

noton anime doang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Ironi Larangan Jilbab Paskibraka 2024, di Mana Letak Toleransi dalam Negara Pancasila?

9 Desember 2024   16:16 Diperbarui: 9 Desember 2024   16:18 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada upacara peringatan Hari Kemerdekaan, Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) menjadi simbol kebanggaan nasional yang melambangkan semangat persatuan dan kesatuan.

Namun, pada tahun 2024 ini, muncul kontroversi yang mengancam nilai-nilai tersebut, yaitu adanya larangan bagi Muslimah Paskibraka untuk mengenakan jilbab.

Larangan ini tidak hanya menimbulkan polemik, tetapi juga memperlihatkan adanya ketidakselarasan antara kebijakan tersebut dengan prinsip-prinsip dasar Pancasila dan kebhinekaan.

Pada 2024 ini, ada 18 perwakilan Paskibraka perempuan yang mengenakan jilbab. Namun, semuanya harus mencopot penutup kepala tersebut karena aturan yang dikenakan BPIP, termasuk delegasi dari Aceh.

Keputusan ini dianggap mencederai semangat kebhinekaan dan toleransi yang menjadi fondasi negara, terutama mengingat bahwa larangan ini dikeluarkan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga nilai-nilai Pancasila.

Sebagai pengawal ideologi Pancasila, BPIP seharusnya menjadi penjaga nilai- nilai toleransi, pluralisme, dan kebebasan beragama. Namun, kebijakan yang dikeluarkan malah dianggap oleh banyak pihak sebagai pengingkaran terhadap prinsip-prinsip tersebut.

Pancasila: Antara Teori dan Praktik

Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia telah diakui sebagai dasar filosofi yang mencerminkan jiwa bangsa ini. Namun, keputusan yang diambil oleh BPIP—sebuah lembaga yang bertugas menjaga dan merawat Pancasila— justru memicu pertanyaan besar. Bagaimana mungkin sebuah kebijakan yang membatasi kebebasan beragama, yang dijamin oleh Sila Pertama Pancasila, bisa lahir dari lembaga ini?

Indonesia, sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, memiliki sejarah panjang dalam menghormati keragaman keyakinan. Jilbab, bagi banyak Muslimah, adalah ekspresi dari ketaatan dan keimanan mereka.

Namun, ketika penggunaan jilbab di ruang publik seperti di Paskibraka dilarang dengan alasan keseragaman dan kebhinekaan, timbul ironi yang sangat mencolok. Bagaimana mungkin sebuah negara yang berasaskan Pancasila, yang seharusnya melindungi kebebasan beragama, justru mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan nilai-nilai tersebut?

Bukankah Pancasila sebagai dasar negara menjunjung tinggi kebebasan beragama, sebagaimana tercermin dalam sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jilbab, sebagai bagian dari keyakinan agama Islam, seharusnya dihormati dan dilindungi, bukan dilarang.

Toleransi dan Kebhinekaan: Fondasi Utama Pancasila

Indonesia adalah negara dengan beragam suku, agama, dan budaya. Kebhinekaan inilah yang menjadi kekuatan sekaligus tantangan bagi bangsa ini.

Pancasila, sebagai ideologi negara, dirumuskan untuk mempersatukan perbedaan tersebut dalam satu kesatuan yang harmonis. Larangan bagi Muslimah Paskibraka untuk mengenakan jilbab dianggap oleh banyak pihak sebagai bentuk diskriminasi yang dapat mengikis rasa kebhinekaan tersebut.

Ketika institusi negara mengambil langkah yang membatasi hak individu untuk mengekspresikan keyakinannya, seperti larangan berjilbab ini, maka hal tersebut dianggap melanggar prinsip toleransi yang dianut oleh Pancasila. Seharusnya, negara menjadi pelindung bagi hak-hak setiap warga negara untuk menjalankan ajaran agamanya, bukan sebaliknya.

Kepala BPIP Prof. Yudian Wahyudi, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, beralasan bahwa larangan ini demi menjaga keseragaman dan kebhinekaan dalam Pasukan Pengibar Bendera Pusaka.

Namun, alasan ini justru menimbulkan pertanyaan lebih lanjut. Apakah keseragaman yang dimaksud harus mengorbankan hak individu untuk mengekspresikan keyakinannya? Apakah kebhinekaan yang seharusnya dirayakan justru ditafsirkan sebagai alasan untuk membatasi perbedaan?

Kebijakan ini menjadi contoh konkret dari bagaimana teori dan praktik ideologi sering kali tidak sejalan. Di atas kertas, Pancasila memberikan ruang bagi kebebasan beragama dan menghormati perbedaan. Namun, dalam praktiknya, justru perbedaan ini yang sering kali ditekan atas nama “keseragaman”.

Larangan berjilbab bagi anggota Paskibaraka ini juga dapat dianggap sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Setiap individu memiliki hak untuk menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya, termasuk dalam hal berpakaian. Larangan terhadap jilbab tidak hanya mengurangi kebebasan individu, tetapi juga dapat dianggap sebagai tindakan diskriminatif terhadap kelompok tertentu, yang berpotensi memecah belah persatuan bangsa.

Ironi di Negara Mayoritas Muslim

Tidak dapat dipungkiri, Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Dalam konteks ini, larangan berjilbab bagi Paskibraka menjadi ironi yang mendalam. Mengingat jilbab adalah bagian dari identitas Muslimah yang menjalankan perintah agama, kebijakan ini terasa seperti sebuah pengingkaran terhadap realitas sosial yang ada di Indonesia.

Negara yang berkomitmen pada nilai-nilai Pancasila seharusnya menjadi pelindung bagi warganya dalam mengekspresikan keyakinan agama mereka, bukan menjadi pihak yang membatasi.

Polemik larangan jilbab di kalangan Paskibraka ini mengingatkan kita pada pentingnya menghidupkan kembali semangat Pancasila dalam setiap kebijakan publik.

Pancasila bukan sekadar kata-kata yang dihafalkan, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata yang melindungi setiap warga negara, apapun keyakinannya.

Larangan berjilbab ini tidak hanya mencederai hati umat Muslim, tetapi juga menimbulkan pertanyaan mendasar tentang komitmen kita sebagai bangsa dalam menegakkan nilai- nilai Pancasila.

Hentikan Diskriminasi terhadap Umat Islam

Kontroversi ini tidak hanya menarik perhatian publik, tetapi juga menimbulkan reaksi keras dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan berbagai tokoh masyarakat lainnya. MUI bahkan menyebut larangan ini sebagai tindakan yang tidak Pancasilais.

Desakan agar BPIP meninjau kembali kebijakan ini terus mengalir, dengan harapan bahwa pemerintah akan memperhatikan suara rakyat dan memperbaiki langkah yang dianggap keliru ini.

Sebagai negara yang mendasarkan diri pada Pancasila, Indonesia harus memastikan bahwa setiap kebijakan dan tindakan pemerintah sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Larangan jilbab bagi Paskibraka bukan hanya melanggar hak asasi Muslimah untuk menjalankan keyakinannya, tetapi juga bertentangan dengan semangat kebhinekaan dan toleransi yang menjadi fondasi utama negara ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun