Tulisan ini bukan sebuah analisis maupun gagasan yang utuh. Hanya sekedar kegelisahan atas suatu hal yang menurut saya kurang pas.
Berawal dari foto tersebut, yang saya ambil dari sumbernya (tertera di foto itu sendiri). Sri Mulyani berkata bahwa ingkat kemiskinan dan pengangguran terbuka turun dalam tiga tahun terakhir. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, tingkat kemiskinan mencapai 10,12 persen pada September 2017, sedangkan pada September 2014 masih 11,13 persen. Tingkat pengangguran terbuka juga turun. Pada Agustus 2014 tercatat 5,94 persen, sedangkan pada Agustus 2017 menjadi 5,5 persen.
Biasanya orang-orang dalam menanggapi hal seperti ini akan bertanya, "memang indikator kemiskinannya seperti apa?" Di sumber berita yang lain, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Bojonegoro mengatakan, sejak September 2016, penghasilan penduduk yang menjadi batas garis kemiskinan yakni Rp 361.990 per kapita per bulan.
Bank Dunia menggunakan indikator kemiskinan berdasarkan Purchasing Power Parity yaitu 2 USD per hari, atau 60 USD per bulan, atau jika dikonversi menjadi rupiah ialah 810.780 rupiah. Dengan menggunakan indikator ini, maka jumlah orang miskin di Indonesia dapat diperkirakan jumlahnya dua atau tiga kali lipat dari data BPS.
Tapi bagi saya, entah itu menggunakan indikator dari BPS maupun Bank Dunia, keduanya sama-sama bermasalah untuk diterapkan di Indonesia. Saya tidak bermaksud menambah-nambahi agar jumlah data orang miskin bertambah. Malahan saya punya optimisme bahwa sebenarnya rakyat Indonesia itu kaya.
Sebagai negeri agraris dan belum memasuki fase industrialisasi sempurna (atau bisa dibilang sebagai setengah jajahan dan setengah feodal), kapital belum sepenuhnya menjadi relasi sosial. Di desa-desa pedalaman terutama di luar jawa, karena sumber daya alam suatu komunitas tidak diprivatisasi dan dikapitalisasi, maka peredaran uang hanya sedikit. Bahkan tak perlu jauh-jauh saya ke luar jawa, di beberapa desa di Lereng Gunung Slamet misalnya. Untuk keperluan air sifatnya gratis, sepanjang untuk konsumsi rumahan.Â
Energi listrik juga hanya separuh harga karena menggunakan pembangkit listrik tenaga mikrohidro yang dibuat sendiri. Untuk keperluan makan, mereka tidak selalu membeli karena banyak bahan pangan yang ditanam maupun yang sudah tersedia di alam. Karena kebanyakan bermata pencaharian sebagai petani gurem, mereka tidak punya pendapatan yang tetap. Tapi pemasukan per bulan mereka kebanyakan di bawah 361.990 rupiah.
Jka dilihat sepintas, mereka dapat dikategorikan di bawah garis kemiskinan. Tapi jika ditelisik lagi, mereka sebenarnya kaya. Air yang mereka konsumsi sama banyaknya dengan para konsumen PDAM/PAM. Listrik yang mereka konsumsi sama banyaknya dengan para konsumen PLN. Pangan yang mereka konsumsi juga sama bergizinya (atau bahkan lebih bergizi karena langsung dari alam) dengan para konsumen restoran atau warung makan. Udara yang mereka hirup sama bersihnya dengan konsumen tabung oksigen.
Katakanlah si petani lereng Gunung Slamet ini terusir karena ada megaproyek di desanya. Lalu katakanlah dia menjadi buruh kontrak dengan pendapatan UMK 1.400.000 per bulan. Apakah dengan demikian dia telah menjadi lebih kaya dari sebelumnya? Sementara listrik harus beli, air beli, makanan beli (itupun bukan makanan yang sehat), rumah sewa, kualitas udara buruk sehingga kesehatan terganggu sehingga harus mengkonsumsi obat-obat tertentu, dsb.
Masyarakat pedesaan memperoleh kebanyakan dari kebutuhannya terlihat seolah-olah secara gratis. Padahal tidak ada yang gratis di situ. Semua diperoleh dari kerja. Dan karena ada curahan kerja, maka suatu barang menjadi bernilai. Bedanya, kerja yang dicurahkan tidak perlu ditukar dengan uang, sehingga tidak perlu ada jual beli untuk memperoleh suatu barang. Inilah yang saya maksud bahwa di pedesaan, kapital belum menjadi relasi sosial yang dominan. Dan karena mayoritas wilayah Indonesia adalah pedesaan, maka dapat disimpulkan bahwa kapital belum menjadi relasi sosial yang dominan di Indonesia. Catat ya, "belum". Ke depannya sih nggak tahu.
Pada keadaan yang demikian, paradigma indikator kemiskinan yang dianut BPS maupun Bank Dunia menjadi patut diragukan untuk diterapkan. Karena indikator kemiskinan yang berbasis pendapatan berupa uang, mau tidak mau hanya bisa diterapkan pada masyarakat yang telah menjadikan uang (yang merupakan kapital) sebagai relasi sosial yang dominan. Hal ini dapat ditandai dari telah dominannya industri, relasi kerja upahan, perbankan, dan kepemilikan pribadi.