Mohon tunggu...
Panji Irfan
Panji Irfan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

guru SMP swasta di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. sedang belajar mengelola pula panjiirfan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sekolah Negeri dan Sekolah Swasta, Tangan Kanan dan Kiri

26 Mei 2011   03:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:13 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Pendidikan bukanlah segalanya, namun segalanya tak dapat diraih tanpa pendidikan.” (Pepatah Arab)

“Tak ada yang terlalu mahal dalam pendidikan.” (Pepatah Jerman)

Pendidikan dipercaya sebagai jalan tercepat untuk mengubah nasib suatu bangsa. Dan ini bukan lagi sebuah mitos karena telah banyak negara yang membuktikannya. Negara-negara yang berada dalam status berkembang, perlahan menjadi negara-negara yang maju seperti Singapura, India, bahkan negara tetangga kita Malaysia.

Indonesia tentu punya banyak potensi dan kesempatan untuk menjadi negara yang lebih sejahtera, dengan modal sumber daya alam melimpah ruah dan jumlah manusia Indonesia yang lebih dari 230 juta penduduk. Potensi seperti ini harus segera dimanfaatkan dengan kemandirian kita sendiri, dengan memperbesar kesempatan pada putera dan puteri Indonesia. Sekolah adalah salah satu jalan untuk menyejahterakan bangsa ini, mengapa hanya salah satu jalan? Karena banyak jalan alternatif untuk berpartisipasi aktif dalam membangun Indonesia. Chairil Anwar, bersekolah sampai tingkat SMP. Harry Van Jogja –seorang tukang becak- menulis buku, menguasai bahasa Inggris dan Belanda meski “cuma” sekolah sampai SMA. Yoris Sebastian-lulusan SMA-berhasil meraih gelar Asia Pacific Entrepreneur Award Winner 2008. Mereka bertiga adalah sedikit contoh manusia Indonesia yang berhasil meski pengalaman mengenyam sekolahnya sejenak. “Lantas apakah sekolah tinggi-tinggi itu tidak penting?” Sekolah tetap penting dan diharapkan dapat menumbuhkan semangat peserta didiknya untuk mencintai ilmu pengetahuan dan memiliki karakter sebagai pembelajar seumur hidup. Rasa cinta dan karakter sebagai pembelajar, dapat membuat peluang peserta didik untuk hidup bahagia menjadi lebih besar. Sekolah negeri memiliki pengertian sekolah yang dikelola oleh pemerintah, sedangkan sekolah swasta dikelola oleh yayasan. Manakah yang lebih baik? Manakah yang dapat lebih memberdayakan? Jika mengacu pada pendekatan sejarah, sekolah swasta memiliki sejarah pendirian lebih awal daripada sekolah negeri karena Negara Indonesia secara de facto dande jure barumerdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, Kala itu mendiknasnya (menteri pengajaran) dijabat oleh Ki Hadjar Dewantara. Sekolah swasta yang memiliki sejarah sebagai sekolah perintis itu diantaranya adalah:

  1. Taman Siswa, didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara pada tanggal 3 Juli tahun 1922 di Yogyakarta. Falsafah pendidikan nasional, Tut Wuri Handayani (yang berada di belakang memberi dorongan) diadopsi dari falsafah yang ketiga dari sekolah Taman Siswa.
  2. Sekolah Kartini, didirikan oleh Yayasan Kartini di Semarang pada tahun 1912. Yayasan Kartini sendiri didirikan oleh tokoh politik etis Belanda Van Deventer.
  3. Sakola Istri, didirikan oleh Dewi Sartika pada tanggal 16 Januari 1904. Sekolah ini adalah sekolah pertama untuk perempuan se-Hindia Belanda. Barulah pada tahunnya yang ke sepuluh sekolah ini berganti nama menjadi Sakola Kautamaan Istri.

Kini, baik sekolah swasta maupun negeri mendapatkan perhatian yang relatif sama dari Kemendiknas. Salah satu indikatornya adalah pemberian dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) baik untuk sekolah swasta ataupun negeri sampai tingkat SMP. Kesejahteraan guru pun diperlakukan sama dengan adanya program sertifikasi, sebuah program yang memberikan tunjangan tambahan per bulan bagi guru yang telah lulus mekanisme sertifikasi yang khas di setiap daerah. Sebelumnya, profesi guru dirasa sejahtera jika telah menjadi pegawai negeri sipil sehingga para guru banyak yang berlomba-lomba mengabdi di sekolah negeri saja. Padahal siapakah kini yang tak mengenal SD Muhammadiyah di Belitong yang mengembangkan murid seperti Andrea Hirata atau Ahmad Fuadi-lulusan Ponpes Gontor-penulis novel Negeri 5 Menara? Keduanya adalah lulusan sekolah swasta bukan? Program sertifikasi ini dikelola oleh Kemendiknas pusat dan berkoordinasi dengan Pemda dan Badan Koordinasi Daerah di masing-masing kabupaten/kota. Jika ada pertanyaan, “Sekolah negeri dengan sekolah swasta apa bedanya?” Maka jawabannya adalah ada dalam pengelolaannya saja. Cakupan pengelolaannya meliputi pengelolaan kurikulum, pengelolaan kesiswaan, pengelolaan keuangan, pengelolaan sarana, dan pengelolaan tenaga kerja. Namun jangan khawatir, meskipun sekolah swasta memiliki ruang lebih dalam mengorganisasi sekolah, Kemendiknas telah memberikan pedoman standar untuk menjalankan sebuah sekolah. Perbedaan sekolah negeri dan sekolah swasta idealnya bersifat saling melengkapi (komplementer), seperti keberadaan tangan kanan dan kiri. Keunggulan dan kekhasan di masing-masing lembaga adalah sebuah khazanah yang dapat memperkaya, Seperti negara kita yang majemuk dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Perbedaan sekolah negeri dan sekolah swasta pada akhirnya berujung pada satu tujuan mulia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun