Mohon tunggu...
Panji Agung
Panji Agung Mohon Tunggu... Teacher -

Lakukan Yang Terbaik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Intelektual: Untuk Agen Perubahan

22 Januari 2014   12:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:35 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Berceloteh tentang Intelektul, mahasiswa merupakan yang katanya salah satu pemilik sifat tersebut. Tapi apakah mahasiswa paham akan maksud dari kata tersebut. Banyakmahasiswa ataupun kelompok mahasiswa hari ini mengatakan dirinya sebagai kelompok itelektual dan kritis terhadap kebijakan penguasa yang kurang tepat, serta dengan keintelektualan seolah-olah mereka adalah kelompok masyarakat yang selalu memikirkan dan paham terhadap penderitaan masyarakat terpinggirkan.



Memang sepertinya hari ini tidak kita temukan sifat intelektual tersebut pada diri mahasiswa. Daoed Joesoef dalam salah satu bukunya mengatakan jika intelektual itu adalah suatu aksi penghayatan profesional yang berbobot budaya, suatu peran sosio-politis, suatu kesadaran yang mengacu kepada universalitas, suatu pembangkangan yang bertanggung jawab dan suatu pancaran nurani yang bersih dan murni. Aku sepakat dengan pendapat tersebut karena memang seorang intelektual harus mampu berbica dan befikir mengenai suatu nilai / budaya dengan benar tanpa kebohongan dan rekayasa, berperan aktif dalam kegiatan sosio politis sebagai salah satu bentuk pengaplikasian sifat keintelektualanya terhadap lingkungan dan masyarakat untuk kepentingan luas serta harus memandang segala sesuatu secara universal sehingga dapat menyatukan setiap perbedaan pola fikir dan berani bertanggung jawab atas segala bentuk tindakannya juga berhati bersih bahwa segala sesuatu yang dilakukan untuk kemaslahatan umat semata.



Lantas sudahkah mahasiswa berprilaku seperti layaknya seorang intelektual diatas, saya pikir belum. Masih menurut Daoed Joesoef dalam bukunya bahwa mahasiswa sering kali tidak dapat memahami bahwa intelektual atau sosok intelektual itu terbagi kedalam tiga jenis, yang pertama Intelektual produktif, ini adalah sosok seorang intelektual yang sudah menghasilkan suatu karya baru atau pun ide-ide dari berbagai bentuk ilmu yang bersifat membangun. Kemudian ada intelektual reproduktif, ini adalah sosok intelektual yang memproduksi ulang atau membuat suatu inovasi baru dari karya-karya yang sudah ada sehingga dapat lebih bermanfaat. Terakhir intelektual konsumtif, ini adalah sosok seorang intelektual yang masih dalam tahap belajar untuk dapat menjadi produktif. Mahasiswa sendiri kebanyakan masih tergolong kedalam jenis intelektual konsumtif.



Lalu jika kita perhatikan dari ciri-ciri sosok intelektual tersebut kebanyakan mahasiswa tidak bersifat intelektual dalam kehidupanya. Terlebih bahwa sebenarnya taraf keintelektualan mahasiswa masih pada taraf konsumtif, jika seperti ini bagai mana seorang mahasiswa dapat menjadi seorang agen perubahan yang sesungguhnya apabila tidak mampu menciptakan atau membuat sebuah karya, ide-ide positif ataupun berinovasi.

Sudah sepantasnya mahasiswa paham bahwa untuk membawa kebaikan untuk kehidupan, kita harus berani membuat sikap serta keputusan yang tepat dan sikap serta keputusan yang tepat tersebut hanya lahir dari keintelektualan bukan sekedar berteriak-teriak meminta perubahan.

Bahayanya adalah intelektual konsumen ini masih dalam keadaan rapuh sehinga cenderung tidak berani untuk menggambil sikap atau mengeluarkan ide-ide untuk perubahan sehingga akan mendobrak suatu sistem yang dianggapnya melenceng yang akhirnya bagi aktivis yang mengganggap diri mereka intelektual, sering diskusi dan tukar pikiran dalam kelompok-kelompoknya menjadi mangsa kelompok orang – orang yang licik (politisi atau kelompok opurtunis lainnya). Karena biasanya kelompok intelektual konsumen akan terpesona oleh kemampuan seorang politisi yang memang mereka kebanyakan adalah kelompok intelektual produktif tetapi tidak sedikit yang licik dan lebih mampu memberikan ide-ide yang dapat dilaksanakan oleh kelompok intelektual konsumen (Mahasiswa). Misalnya seorang penggagas / seorang intelektual produktif memberikan ide untuk aksi demonstrasi lalu kelompok intelektual konsumen (Mahasiswa) diminta untuk menjadi peserta aksinya, lantas mereka pun demo tetapi saya yakin kebanyakan peserta aksi tersebut tidak mengerti mengapa mereka harus demo. Siapa orang yang secara langsung mendapat keuntungan dari hal ini, karena sebenarnya masyarakat / rakyat tidak mendapatkan apa-apa dari ini semua, karena sebenarnya tidak ada perubahan yang signifikan yang diberikan dari aksi tersebut.



Setelah itu yang didapatkan kelompok intelektual konsumen itu hanyalah sebuah julukan sebagai nurani rakyat yang tanpa makna dan sewaktu-waktu siap menjadi mangsa bagi kelompok intelektual produktif yang licik. Untuk itu jika mahasiswa ingin menjadi agen perubahan yang sejati ubah pola fikir kita sebagai mahasiswa bahwa tidak selamanya kita akan menjadi seorang sosok intelektual konsumen. Mahasiswa harus berani mendobrak batas-batas ketidakmampuannya sehingga dapat mencipatakan sebuah karya, ide-ide ataupun inovasi sehingga menjadi sosok yang memiliki kadar intelektual yang produktif sehingga akhirnya mahasiswa dapat menjadi pancaran nurani rakyat yang sesungguhnya bukan sekedar boneka bagi kelompok intelektual produktif yang licik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun