Berdasarkan Peraturan Komisi Yudisial Nomor 8 tahun 2013 tentang Advokasi Hakim, Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim (PMKH) adalah perbuatan yg dilakukan oleh orang atau perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang menganggu proses pengadilan, atau hakim dalam memeriksa, mengadili, memutus perkara, mengancam keamanan Hakim di dalam maupun di luar persidangan, serta menghina Hakim dan pengadilan.Â
Kebebasan berpendapat merupakan hak konstitusional yang dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 25 Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yg menyebutkan bahwa "Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan peraturan perundang-undangan". Namun, hak ini memiliki batasan, terutama di lingkungan peradilan. Perbuatan merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim (PMKH), yang mencakup tindakan yang merendahkan atau melecehkan hakim dalam pelaksanaan tugasnya, menjadi isu yang semakin marak belakangan ini. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran terhadap keseimbangan antara kebebasan berpendapat dan keadilan di pengadilan.
PMKH dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti penghinaan di dalam persidangan, melalui media sosial, atau dalam bentuk pernyataan publik yang mendiskreditkan hakim. Pasal 207 KUHP "Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda palingbanyak empat ribu lima ratus rupiah." Menetapkan larangan dan ancaman pidana bagi tindakan yang merusak kehormatan atau martabat hakim. Tujuan pembatasan ini adalah untuk melindungi integritas sistem peradilan dan memastikan proses hukum berjalan dengan adil.
Namun, seiring dengan perkembangan teknologi dan media sosial, banyak pihak yang menyalahgunakan platform digital untuk menyerang dan mendiskreditkan hakim tanpa dasar yang kuat. Hal ini berpotensi menimbulkan preseden negatif yang merusak citra pengadilan sebagai lembaga netral dan independen.
Adapun rekomendasi yang dapat diterapkan menurut opini saya adalah:
1. Peningkatan Regulasi Penghinaan di Pengadilan (Contempt of Court): Perlu ada regulasi yang lebih jelas dan tegas mengenai contempt of court, baik dalam bentuk undang-undang khusus atau aturan Mahkamah Agung. Aturan ini harus mencakup sanksi bagi mereka yang secara terang-terangan merendahkan atau menghina hakim di dalam maupun di luar persidangan.
2. Pengawasan Ketat di Media Sosial: Dibutuhkan kerja sama antara aparat penegak hukum dan platform media sosial untuk memantau dan menindak pelanggaran PMKH di dunia digital. Pemantauan ini harus dilakukan tanpa melanggar hak kebebasan berekspresi, namun dengan jelas menindak konten yang bernada penghinaan terhadap Hakim maupun lembaga peradilan.
3. Edukasi Masyarakat dan Pelatihan Khusus Bagi Penegak Hukum: Edukasi mengenai batasan hak kebebasan berpendapat, terutama di ranah pengadilan, perlu ditingkatkan. Hal ini bisa dilakukan melalui program penyuluhan hukum kepada masyarakat dan pelatihan bagi penegak hukum, advokat, dan pihak lain yang terlibat di pengadilan.Â
4. Mekanisme Pengaduan yang Transparan dan Adil: Dibutuhkan mekanisme pengaduan khusus yang memungkinkan pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh keputusan hakim dapat menyampaikan keluhannya secara formal tanpa menyinggung martabat hakim. Mekanisme ini harus transparan, adil, dan tidak menimbulkan kesan menyerang integritas hakim secara pribadi.
5. Penerapan Sanksi Tegas: Pengadilan dan lembaga pengawas perlu menerapkan sanksi yang tegas dan efektif bagi para pelanggar PMKH, baik yang dilakukan di persidangan maupun di ruang publik lainnya. Sanksi ini bertujuan untuk menjaga kewibawaan pengadilan dan mencegah penyalahgunaan kebebasan berpendapat.
Dalam praktiknya pastinya akan sulit untuk melindungi hak kebebasan berpendapat sekaligus juga melindungi Hakim dan lembaga peradilan bersama-sama. Namun dengan penerapan solusi-solusi tersebut, diharapkan hak kebebasan berpendapat dapat tetap terlindungi tanpa mengorbankan martabat dan integritas lembaga peradilan begitupun sebaliknya.Â