Ideologi Pancasila memiliki peran yang sangat penting dalam mempertahankan persatuan, identitas nasional, dan integritas Negara Republik Indonesia. Dalam konteks ini, lembaga seperti Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomr 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, memegang tanggung jawab utama untuk mengembangkan dan memperkuat Pancasila di semua lapisan masyarakat. Namun, meskipun memiliki peran yang strategis, BPIP masih menghadapi tantangan karena keberadaannya hanya diatur oleh Peraturan Presiden, yang tidak memberikan kedudukan hukum yang tegas dan kewenangan yang jelas dalam kerangka sistem ketatanegaraan Indonesia. Akibatnya, BPIP kurang memiliki landasan hukum yang setara dengan lembaga negara lainnya yang dibentuk berdasarkan undang-undang.
Keterbatasan ini, pada gilirannya, berisiko menghambat BPIP dalam menjalankan fungsi pembinaan ideologi Pancasila secara optimal. Tanpa dasar hukum yang kuat, upaya untuk mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila dalam kebijakan publik, pendidikan, dan kehidupan sosial-budaya dapat menjadi kurang konsisten dan kurang terkoordinasi. Dampaknya bagi masyarakat adalah bahwa nilai-nilai Pancasila, yang seharusnya menjadi pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bisa tergerus oleh perkembangan zaman atau perbedaan penafsiran yang tidak terkendali. Hal ini bisa mengarah pada kebingungan dalam masyarakat tentang makna dan penerapan Pancasila, yang pada akhirnya melemahkan persatuan dan keutuhan bangsa Indonesia.
Seiring dengan berkembangnya kebutuhan untuk pembinaan ideologi Pancasila yang lebih komprehensif dan sistematis, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. mengusulkan perubahan struktural melalui RUU untuk memberikan kedudukan hukum yang lebih kuat dan memperluas kewenangan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Beberapa usulan utama yang diajukan termasuk perubahan nama BPIP menjadi Dewan Nasional Pembinaan Ideologi Pancasila (DN-PIP), serta penambahan kewenangan untuk melakukan evaluasi terhadap undang-undang dan pengujian peraturan perundang-undangan yang berada di bawah undang-undang.
Artikel ini bertujuan untuk memberikan analisis dan evaluasi yang lebih mendalam terhadap usulan-usulan tersebut, dengan merujuk pada prinsip-prinsip hukum tata negara Indonesia yang menitikberatkan pada pembinaan ideologi Pancasila, serta bagaimana usulan Prof. Jimmly Asshiddiqie mengenai pendekatan omnibus law yang diusulkan dalam RUU yang relevan untuk meningkatkan efektivitas pembinaan ideologi negara.
Kedudukan Hukum Lembaga Negara
Usulan:
Prof. Jimly mengusulkan perubahan nomenklatur BPIP menjadi Dewan Nasional Pembinaan Ideologi Pancasila (DN-PIP) dengan tujuan untuk mencerminkan kedudukannya yang lebih strategis dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, setara dengan kementerian negara atau lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRIT 1945).
Dalam perspektif hukum tata negara, setiap lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk memengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara harus didasarkan pada landasan hukum yang kuat, baik itu undang-undang atau keputusan-keputusan yang lebih tinggi. Dalam hal ini, pembentukan BPIP yang hanya diatur dalam Peraturan Presiden menyebabkan kedudukannya tidak sekuat lembaga negara yang dibentuk melalui undang-undang.
Dasar hukum BPIP yang hanya menggunakan Perpres memberikan ketidakpastian hukum dalam jangka panjang, dan memungkinkan perubahan struktural yang tidak konsisten dengan perubahan kebijakan pemerintahan. Sebagai contoh, Dewan Nasional Pembinaan Ideologi Pancasila yang berstatus lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU dapat memberikan keberlanjutan dan stabilitas kelembagaan dalam pembinaan Pancasila, yang menghindarkan lembaga ini dari perubahan kebijakan yang bersifat politik dan tergantung pada Peraturan Presiden semata.
Catatan:
- Usulan perubahan nomenklatur ini menunjukkan langkah positif dan tepat dalam menguatkan kedudukan hukum BPIP. Sebagai lembaga yang mengurus ideologi negara, DN-PIP memang seharusnya memiliki kedudukan hukum yang lebih kuat daripada sekadar badan yang dibentuk oleh Perpres. Nama “Dewan Nasional” mengandung konotasi otoritas yang lebih tinggi, yang setara dengan kementerian atau lembaga negara lainnya.
- Dengan nama tersebut, DN-PIP bisa memiliki posisi yang lebih tinggi, berperan dalam penataan ideologi negara, serta memberikan sistem pengawasan yang lebih terstruktur terhadap implementasi nilai-nilai Pancasila dalam peraturan perundang-undangan.
Namun demikian, tantangannya adalah bagaimana memastikan bahwa kewenangan dan tugas DN-PIP tidak justru membatasi kebebasan berpendapat atau pluralitas dalam pemahaman Pancasila yang esensial dalam masyarakat Indonesia yang majemuk.
Pembentukan Struktur Organisasi: Badan Pengarah dan Badan Pelaksana
Usulan:
Prof. Jimly mengusulkan agar DN-PIP memiliki dua organ utama:
- Badan Pengarah yang bertanggung jawab untuk menetapkan kebijakan strategis pembinaan Pancasila.
- Badan Pelaksana yang bertugas untuk menjalankan kebijakan dan melaksanakan program-program pembinaan Pancasila.
Dalam konteks struktur kelembagaan, pemisahan antara Badan Pengarah dan Badan Pelaksana memberikan kejelasan dan keterpaduan dalam pembagian tugas, di mana Badan Pengarah akan bertanggung jawab pada pengambilan keputusan strategis, sedangkan Badan Pelaksana akan berfokus pada pelaksanaan kebijakan di tingkat operasional.
Catatan:
- Pemisahan ini memberikan struktur yang lebih efektif dan efisien, yang dapat menghindarkan tumpang tindih kewenangan antara perumusan kebijakan dan pelaksanaannya. Hal ini penting untuk menghindari birokratisasi yang tidak perlu serta memastikan bahwa implementasi kebijakan pembinaan Pancasila dilakukan dengan koordinasi yang baik antara lembaga-lembaga terkait.
- Keberhasilan pembinaan Pancasila bergantung pada keberhasilan koordinasi antar lembaga negara, dan dengan adanya struktur yang jelas ini, sinergi antara lembaga negara yang lain akan lebih mudah terwujud.
Namun, komunikasi internal antara dua organ ini perlu dijaga agar tidak menimbulkan perbedaan interpretasi dalam pelaksanaan kebijakan dan tujuan yang sama.
Kewenangan DN-PIP dalam Evaluasi dan Pengujian Undang-Undang dan Peraturan Perundang-Undangan
Usulan:
Prof. Jimly mengusulkan agar DN-PIP diberikan kewenangan untuk melakukan evaluasi terhadap perwujudan dan penjabaran nilai-nilai Pancasila dalam undang-undang dan peraturan perundang-undangan. DN-PIP juga diusulkan untuk menjadi pemohon pengujian terhadap undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dengan kewenangan untuk mengajukan pengujian kepada Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Kewenangan Evaluasi dan Pengujian
Evaluasi Nilai Pancasila dalam Peraturan Perundang-Undangan:
Usulan ini mencerminkan sebuah langkah yang lebih terstruktur dan sistematis untuk memastikan bahwa setiap produk hukum yang dibuat oleh negara mencerminkan dan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Hal ini sangat relevan mengingat bahwa dalam praktik ketatanegaraan Indonesia, evaluasi normatif terhadap produk hukum tidak selalu dilakukan secara terkoordinasi.Pengujian Undang-Undang dan Peraturan di Bawah Undang-Undang:
Memberikan kewenangan kepada DN-PIP untuk mengajukan permohonan pengujian terhadap undang-undang dan peraturan perundang-undangan terkait dengan Pancasila dapat mencegah terjadinya inkonsistensi atau penyimpangan dalam implementasi nilai-nilai Pancasila dalam sistem hukum. Pengujian yang dilakukan oleh DN-PIP akan bersifat terstruktur dan terprogram, dengan tujuan untuk menciptakan sistem perundang-undangan yang terpadu dan berbasis pada Pancasila.
Catatan:
- Pengujian peraturan perundang-undangan oleh DN-PIP berpotensi menjaga kesinambungan antara ideologi negara dan produk hukum yang dihasilkan. Hal ini akan memperkuat legitimasi konstitusional Pancasila dalam hukum negara.
- Namun, penting untuk menegaskan bahwa kewenangan ini tidak digunakan untuk mengintervensi proses legislasi atau membatasi kebebasan berpendapat dalam pembentukan undang-undang. Sebaliknya, kewenangan tersebut harus digunakan untuk memastikan bahwa setiap produk hukum yang dihasilkan sesuai dengan nilai-nilai dasar Pancasila.
Namun, tantangan utamanya adalah bagaimana mengatur mekanisme pengujian ini agar tidak menjadi sarana penyalahgunaan kewenangan yang berpotensi mengekang kebebasan berpendapat dan pembentukan perundang-undangan yang sah.
Pendekatan Omnibus Law dalam Pembentukan RUU BPIP
Usulan:
Prof. Jimly mengusulkan penggunaan pendekatan omnibus law untuk mencakup perubahan dalam beberapa undang-undang yang terkait dengan materi kebijakan normatif dalam RUU BPIP.
Pendekatan Omnibus Law
Pendekatan omnibus law memungkinkan adanya perubahan simultan terhadap banyak undang-undang yang saling berkaitan, dengan tujuan untuk menyelaraskan dan mensinkronkan kebijakan dan regulasi di berbagai sektor. Dalam konteks RUU BPIP, pendekatan ini memungkinkan evaluasi hukum terhadap beberapa undang-undang yang berhubungan dengan pembinaan ideologi Pancasila, termasuk UU Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Sistem Pendidikan Nasional, dan lainnya.
Pendekatan omnibus law memungkinkan adanya perubahan simultan terhadap banyak undang-undang yang saling berkaitan, dengan tujuan untuk menyelaraskan dan mensinkronkan kebijakan dan regulasi di berbagai sektor. Dalam konteks RUU BPIP, pendekatan ini memungkinkan evaluasi hukum terhadap beberapa undang-undang yang berhubungan dengan pembinaan ideologi Pancasila, termasuk UU Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Sistem Pendidikan Nasional, dan lainnya.
Catatan:
- Keuntungan dari pendekatan omnibus adalah bahwa ia memungkinkan harmonisasi dan keterpaduan berbagai regulasi yang berkaitan dengan pembinaan Pancasila, yang selama ini terkesan terpisah-pisah dan tidak terkoordinasi dengan baik.
- Namun, risiko dari omnibus law adalah potensi terjadinya ketidakseimbangan antara perubahan yang dilakukan dengan penyusunan dan pembahasan yang terburu-buru, yang dapat menimbulkan kesalahan teknis dalam perubahan substansi undang-undang.
Kesimpulan
Usulan yang diajukan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. mengenai perubahan struktur dan kewenangan BPIP menjadi Dewan Nasional Pembinaan Ideologi Pancasila (DN-PIP) merupakan langkah positif untuk memperkuat posisi BPIP dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dengan perubahan nomenklatur, peningkatan kewenangan evaluasi dan pengujian peraturan, serta penggunaan omnibus law, diharapkan pembinaan ideologi Pancasila dapat dilakukan dengan lebih terstruktur, sistematis, dan sesuai dengan nilai-nilai dasar Pancasila.
Namun, penting untuk menjaga agar penguatan kewenangan ini tidak digunakan untuk mengintervensi proses demokrasi atau mengekang kebebasan berpendapat. Seluruh proses legislasi harus dilakukan dengan prinsip transparansi dan partisipasi publik yang maksimal, serta tetap berpijak pada nilai-nilai pluralisme, toleransi, dan keadilan sosial yang terkandung dalam Pancasila.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H