Mohon tunggu...
Santy Novaria
Santy Novaria Mohon Tunggu... -

Seorang Muda. Penikmat Fiksi. Tukang kritik yang bukan penulis. Anda tidak harus jadi koki handal untuk sekedar merasai mana masakan enak, mana yang kurang garam.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ziarah ke Selatan

22 Desember 2012   11:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:12 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13561743821697106632

[caption id="attachment_223304" align="alignleft" width="300" caption="Gambar diambil dari http://fatimaalkaff.wordpress.com"][/caption]

Kalau bukan karena amanah yang terpaksa, takkan Hanifah menginjakkan kaki di kota ini. Delapan jam duduk dalam pesawat berpendingin membuatnya mual, seperti ada yang menyodok ulu hatinya dari dalam. Ubun-ubunnya macam ditimpa beban sekarung, terasa berat. Pening kepalanya bertambah saat tiga orang berbeda yang ditanyainya soal alamat, menjelaskan dengan bahasa Inggris yang kacau.

"Naik Bus Limo 7001 saja, nanti berhenti di Stasiun Sosa. Itu jalur tercepat menuju Bucheon." Orang keempat yang ditanyai Hanifah-sepasang kekasih, mungkin-lumayan lebih baik dalam berbicara Inggris.

" Oh, Ye. Gomapseumnida, oppa." Hanifah terkekeh sendiri begitu orang tadi berlalu sambil tersenyum hangat. Dia ingat ibunya, "Elmu masih dak seberapa, lah nak memandai-mandai." Itu kalimat ibunya tiap kali Hanifah kecil pamer, pamer ilmu yang tanggung. Kekekeke.

Ibunya, yang malam itu menyerah pada ajal tepat di hadapannya, memintanya datang ke kota ini. Konon kata orang tua dulu, pantang menolak pesan orang yang sudah mati. Sebuah pinta tak terelakkan.

"Engkau harus temui dia, biar kau tak mati penasaran. Ehehehehe" Ada-ada saja, nyawa tinggal sejengkal, tapi ibunya masih bisa bergurau. Hanifah tersenyum, tapi matanya pedih, berair.

Samar-samar Hanifah mencoba mengumpulkan ingatannya tentang lelaki itu, mungkin kini badannya sudah tak setegap dulu, sedikit membungkuk termakan umur barangkali. Memang belasan tahun sudah Hanifah tak berhubungan dengannya, tapi takkanlah pula dia setua itu, Hanifah menyangkal bayangan rekaannya.

Hanifah memanggilnya Tuan Kim. Seperti Dulce Maria yang memanggil Tuan pada Luciano. Hanifah sangat mencintai Tuan Kim, begitupun sebaliknya. Tuan Kim tak sungkan menciumnya di depan ramai orang. mengajaknya ke taman hiburan, membelikannya es tebu yang ditusuk lidi di bagian tengah, gigi Hanifah suka ngilu karena tebu terlalu dingin. Tuan Kim mengajarinya kata-kata dalam bahasa indah yang belum pernah dia dengar sebelumnya, Hanifah bilang dia tidak mengerti. Awalnya, kamu tidak mengerti, tapi, Tuan Kim berjanji akan selalu berbicara denganmu memakai bahasa itu. Sampai kamu mengerti. Jeongmal? Tuan Kim mengangguk, Hanifah sumringah. Pun Hanifah suka bergelayut manja pada lengan Tuan Kim yang berotot. Kalau sudah begitu, mereka akan mencari ayunan yang kosong, Tuan Kim mendorongnya dari belakang. Hanifah selalu minta didorong kuat-kuat. Katanya, dia seperti terbang. Lagi, lagi, lagi. Menjelang sore, mereka akan pulang. Ibu menunggu mereka di depan rumah, lalu Tuan Kim pergi. Datang kembali sepekan kemudian. Begitu selalu, hingga satu hari Hanifah tertidur di depan pintu menunggu Tuan Kim yang tidak pernah muncul hingga sekarang.

Sejujurnya, Hanifah masih mengharapkan Tuan Kim datang menemuinya barang sekali dua kali. Ibunya tidak setuju, Hanifah bilang, "Kenapa?" Ibunya diam. Hanifah yakin Tuan Kim sangat, bahkan amat sangat mencintainya. Ibu bilang, "Jangan banyak mengharap!" Hanifah berontak. Dia bilang Tuan Kim bahkan menambahkan 'Kim' di belakang nama Hanifah. Tuan Kim menganggap Hanifah bagian dari hidupnya. "Ibu pun tahu itu kan? Betul kan, bu?!" Ibunya bergeming, Hanifah tersedu.Tuan Kim tak pernah kembali.

Hanifah melepaskan jaketnya begitu sampai di kamar hotel. Meletakkan ranselnya di kaki tempat tidur dan merebahkan badannya yang penat. Interior hotel lumayan menyejukkan mata, tapi dia segera bangkit menyalakan penghangat ruangan. Udara minus sepuluh derajat membuat jemari tangannya mengerut di balik sarung tangan karetnya yang lembab. Bagian pundak di jaketnya basah, mengunjungi kota ini pada akhir Desember bukan pilihan baik bagi orang sepertinya.

Hanifah tipe perempuan fashionista yang diimpikan banyak pria, memiliki personal style luar biasa. Cakap dalam menggabungkan high fashion dengan koleksi vintage apapun, dia seperti terlahir untuk modis, gaya stylis-nya bahkan tidak terdikte oleh mode. Sering berpesiar ke luar negeri sekedar menghadiri peragaan busana desainer ternama, kemudian mengupas plus-minusnya dalam kolom pribadi di majalah mode nomor satu di negaranya. Sayang, tubuh Melayunya tetap tidak bisa bersahabat dengan udara dingin, apalagi hujan salju yang berangin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun