Pernah berfikir bagaimana Tuhan bekerja atas semua yang ada di muka bumi ini? Aku pernah. Sering malah. Tiap sedang kehilangan iman dan murtad sesekali waktu, aku berfikir tentang tugas Tuhan yang segudang. Bagaimana repotnya dia membagi jadwal tugas malaikat, mengabulkan pinta-pinta mustahil manusia dan mencipta sesuatu, yang sering kau anggap mubazir.
Seperti kecoa yang sering kumaki tak ada guna, kadang aku pun bergumam dalam kepala, bertanya-tanya, alasan diciptakannya mereka. Tapi betul lah, terlalu banyak rahasia di atas dunia, yang tersimpan begitu rapat. Dan aku pernah bersepakat, bukan dengan siapa-siapa, tapi dengan diriku saja, bahwa tak selamanya aku harus selalu tahu.
Menurutku tak ada yang mubazir di dunia ini. Teringat orang gila, teringat pula aku pada orang waras. Bukankah sebutan orang waras tercipta karena ada kata sandang untuk orang gila? Salah kalau kau bilang mereka tak berfaedah diciptakan, kawan!
Yang kau tak tahu, tak akan menyakitimu. Aku menerapkan prinsip begitu dalam menjalankan kehidupan. Kupikir, Tuhan pasti punya alasan untuk menyimpan rahasia-Nya sendiri. Mungkin rahasia itu terlalu menakutkan, mungkin pula, alasannya terlalu sulit dilogikakan.
Teringat kisah Wak Minah yang tukang dukun beranak sewaktu kulihat dia berkacak pinggang memegang pelepah kelapa mengusiri beberapa anak kampung yang bertepuk tangan menyoraki Pakcik Mahrum. Setahun silam.
"Orang gila tuh semestinya tak perlu ditakuti ato dihina macam budak kecik tadi. Apalagi dihindari macam yang banyak orang buat sekang-sekarang ni. Aiiihh.. Dah berbusa mulut aku saban hari mengingatkan. Orang gila meskipun dah macam tu masih berguna. Tak macam kita yang waras ni."
"Kita yang waras ni cuma menang di otak je lah. Kalo soal akal tak perlu susah kau cari banding. Kau tengok yang ada sekarang. Mana bagus dari si Mahrum yang gila tu? Mahrum mengamuk karena memang dia gila, tapi takkan sampe dia membunuh orang. Tak perlu aku berbanyak cakap, dah mau Magrib. Baik kau cari sendiri pembanding jaman sekarang."
Aku tergelak sendiri dari jauh, melihat Maemunah dimurkai Wak Minah. Entah apa pula kerjanya, menunggukan orang tua macam itu ngomel panjang soal tak penting. Padahal sudah pula petang, aku melihat Matahari di balik pohon kelapa tempatku berteduh, duduk menggigiti sebatang rumput tipis, tak sabar mau pulang.
"Kalau Wak Minah sudah berpanjang lebar macam tadi, sekali-kali jangan coba menyela atau pergi. Murkanya seperti Rambo tertembak tepat di selangkangan! Baik diam dan dengarkan saja kalau tak ingin cari penyakit."
Di jalan pulang kudengar Maemunah masih menggerutui mak tua yang memarahinya tadi. Kurasa dia agak jengkel karena tak bersalah, tapi turut menampung marah. Aku hanya terkekeh-kekeh mendengar rutukannya.
"Ah, tak payahlah ko masukkan hati. Mak mak merepet 'tu perkara biasa. Salahmu mau pulak dengar. Kalau aku jadi ko, dah pigi aku ambil langkah seribu!" Aku berkomentar menanggapi.