Mohon tunggu...
Santy Novaria
Santy Novaria Mohon Tunggu... -

Seorang Muda. Penikmat Fiksi. Tukang kritik yang bukan penulis. Anda tidak harus jadi koki handal untuk sekedar merasai mana masakan enak, mana yang kurang garam.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[ FFK] Pasung

18 Maret 2011   13:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:40 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1300442746367364849

[caption id="attachment_95165" align="alignleft" width="300" caption="Diunggah dari :palembang.tribunnews.com"][/caption]

Seringkali hal-hal logis dimentahkan dengan cara yang tak masuk akal. Bukan aku tak percaya pada kekuatan yang tersembunyi dalam diri manusia. Tapi akal sehat akan menjadi tak berfungsi dan sia-sia saja semuanya! Onggokan otak dalam tempurung kepala, juga hati yang dibungkus darah, akan menjadi barang yang tak berguna. Kalau sudah begitu, lalu apa arti sang Pencipta?

Ibu bilang, dulu sampai umurku tujuh tahun, aku sangat cengeng. Persoalan apa saja, jika sudah menyentuh sisi terdalam jiwaku, aku mudah sekali meneteskan air mata. Menangis. Ibuku kehabisan akal, dia memanggil nenek tua tetangga kami. Nenek tua itu menceritakan padaku bagaimana dia melakukan ritual untuk mengusir roh halus dalam ragaku yang membuat aku terus-menerus menangis.

Nenek tua itu pula yang menceritakan, bagaimana dia menutup kepalaku dengan tapis beras dan menaburkan bara api yang masih menyala-nyala ke atasnya. Waktu itu aku bertanya pada si nenek, apakah setelah ritual itu aku tak akan cengeng lagi? Dia bilang, tidak! Apalagi jika ibu menyempatkan waktu memberi aku air susunya, tentu aku tak secengeng tempo lalu. Aku baru tahu kalau ibu sangat jarang menyusuiku. Yang kutahu, Ibu memang lebih sering bertengkar dengan bapak dan menghabiskan energi untuk hal yang seharusnya tak perlu terjadi. Aku benar-benar tersingkir, merasa tak dianggap. Parahnya lagi, aku tak tahu bagaimana rasanya air susu ibu.

Aku sudah cukup dewasa untuk memahami semua, paling tidak untuk saat ini. Bagaimana rasanya tersingkir, bagaimana rasanya dianggap sebagai warga kelas dua. Aku tumbuh sebagai gadis yang lincah tapi setiap gerak-gerikku selalu dibatasi oleh adat, larangan, dan segala hal yang tak logis. Ini benar-benar memuakkan!

Layaknya gadis normal di belahan daerah lain, harusnya kami leluasa menikmati masa-masa dimana kami bebas bermain, bebas menentukan pilihan, diberi kewenangan melakukan apa yang akan kami kerjakan besok, besok lagi, lalu besoknya lagi. Nyatanya, sehebat apapun berontak, kami hanya sebagai penghuni dapur, melayani siapa yang lapar, dan menyeduh teh bagi siapa yang haus. Dan jadilah ini sebagai kebiasaan turun-temurun. Menjijikan!

Bukan tak jarang umpatan tentang kami yang dianggap sebagai beban, terdengar sahut menyahut, menyakitkan sekali. Tapi mau bilang apa? Menentang? Sama saja dengan kau menyurukkan kepalamu pada mulut buaya, kawan!

Kami hanya dianggap sebagai benalu yang menumpang hidup pada lelaki. Menggerogoti mereka perlahan-lahan. Ha ha ha. Tapi mari buka mata dan lihat yang sebenarnya. Saat masih kanak-kanak, kami adalah perempuan milik lelaki yang kami sebut bapak. Besar sedikit lagi, maka kami adalah budak bagi saudara lelaki. Mencucikan pakaian kakak lelaki. Menggendong adik lelaki sambil menenteng air yang kami ambil dari sumur di bukit bawah sana. Lalu saat kami terlepas dari bapak dan saudara lelaki, maka kehidupan babak baru menanti. Kami akan menjadi budak bagi suami sendiri.

Begitulah. Dan memang akan selalu begitu. Jangan tanya padaku sampai kapan, itu ibarat mengurai benang kusut. Tak akan mudah dapat kau temukan simpul dan pangkalnya.

Satu hari nanti aku akan seperti Nurmi, teman kecilku yang sekarang telah menikah pada penggembala kerbau milik Uak Japon. Hayat, suami Nurmi, bukan lelaki berperangai baik. Kegemarannya mabuk tuak sudah keterlaluan. Tak jarang pula kulihat Hayat memukuli Nurmi hanya karena makanan yang kurang enak. Miris. Tapi nyata. Hayat seperti bapak.

Sedari kecil telah kulihat bagaimana bapak, secara perlahan telah berubah menjadi sosok yang tak kukenal. Bapak mulai kasar dan suka memukul. Aku takut, takut sekali. jika berhadapan dengan bapak sebisa mungkin kuhindari berbicara dengannya, kuhindari menatap matanya. Aku yakin sekali kalau dia bukan bapakku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun