Mohon tunggu...
Santy Novaria
Santy Novaria Mohon Tunggu... -

Seorang Muda. Penikmat Fiksi. Tukang kritik yang bukan penulis. Anda tidak harus jadi koki handal untuk sekedar merasai mana masakan enak, mana yang kurang garam.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[FFK] Bahagia Paling Sederhana

18 Maret 2011   17:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:40 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1300469022768336685

Angin mendesah begitu tajam. Malam menjerit di bawah temaram hati yang muram. Gelap gulita. Tak Nampak lagi lalu lalang manusia penggila kerja, sebagian pulas tertidur. Malam hampir larut, pukul sepuluh lebih. Di ujung jalan, nampak lelaki setengah baya mendorong gerobaknya begitu lambat. Kilatan petir mulai mengejar-ngejar.

" Aku harus sampai di rumah sebelum hujan turun," ujar lelaki itu. Gerobaknya terus melaju. Suara ban gerobak menderit ngilu sebab dipaksa berputar. Selepas magrib tadi, dia menjajakan sate kambing dan sate ayam. Tak habis semua, tapi biarlah. Nafasnya memburu begitu kencang, seolah berpacu dengan waktu yang makin menggertak.

[caption id="attachment_95251" align="alignleft" width="300" caption="Repro lukisan Affandi. Diambil dari: dwikisetiyawan.wordpress.com"][/caption]

" Jualanmu malam ini tak habis lagi, Darso. Ha ha ha. Bagaimana bisa kau memberi makan istri dan anakmu kalau penghasilanmu begitu-begitu saja. Ah, sudahilah. Lebih baik cari pekerjaan baru." Suara itu terngiang begitu keras di telinga Darso, lelaki pendorong gerobak. Dia tersentak. Entah mengapa tiba-tiba bulu kuduknya merinding. Malam apa ini?

*****

" Wajah Darso pucat pasi seperti sedang putus asa. Tampaknya dia sasaranku malam ini?" Sungut malaikat berpakaian serba putih. Malam ini, belum satu pun manusia yang dicabut nyawanya.

Darso sama sekali tak menyadari bahwa dirinya menjadi sasaran malaikat pencabut nyawa. Tengkuknya tarus meremang. "apa karena udara dingin malam ini ya?" ujarnya menyakinkan diri sambil sesekali mengusap leher.

Sementara itu, malaikat terus saja mengintai Darso. Mengikuti langkahnya hingga ke rumah. Malaikat bingung, apa benar Darso yang akan dicabut nyawanya malam ini? Tapi mengapa tak ada nama Darso di situ. Kosong.

"Ah bagaimana ini? Nama Darso belum tercatat! Tak mungkin! "

*****

"Bu, buka pintu. Ini bapak." seru Darso pada Istrinya. Istri yang tengah berbaring di samping kedua anaknya di atas dipan tua beralaskan tikar lusuh, menggeliat mendengar suara suaminya. Warnih, istri Darso bangkit dari dipan lalu beranjak membuka pintu, di luar terlihat suaminya sedang merapikan gerobak. Masih ada sisa sate yang tak laku terjual malam ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun