Mohon tunggu...
Yavet Panggalo
Yavet Panggalo Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tolak Dana Aspirani Penuh Kontroversi

30 Juli 2015   08:28 Diperbarui: 11 Agustus 2015   23:10 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa hari ini berkembang polemik dana aspirasi yang menimbulkan keresahan di masyarakat. Wow…fantastis, kita membaca atau mendengar berita mengenai “Dana Aspirasi DPR RI” yang jumlah cukup besar yakni sebesar 20 miliar rupiah per tahun per anggota. Sebenarnya usulan “Dana Aspirasi DPR” ini awalnya dicetuskan oleh Fraksi Golkar di DPR. Gagasannya adalah setiap anggota DPR akan diberikan jatah alokasi dana sebesar 20 miliar rupiah per tahun untuk daerah pemilihannya (Dapil). Dengan jumlah anggota DPR sekitar 560 orang, besar anggaran untuk Dana Aspirasi tersebut mencapai nilai Rp 11,2 triliun per tahun. Apa alasan di balik usulan dana aspirasi tersebut? sederhana jawab yaitu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, pemerataan pembangunan dan percepatan turunnya dana pembangunan ke daerah yang selama ini dirasakan masih kurang memuaskan. Apakah benar motif di balik usulan dana tersebut adalah keprihatinan anggota DPR terhadap rakyat di daerah? Atau ada udang di balik batu?. Ingat..dana aspirasi ini akan terbuka untuk diselewengkan, salah satu kemungkinannya adalah dana itu dipakai untuk kepentingan pribadi atau untuk modal kampaye agar tetap menjadi anggota DPR.

Pengelolaan Keuangan Negara

Selain masalah nilai-nilai kepantasan, dana aspirasi juga telah “berdosa” sebelum dilahirkan. Dalam UU 17/2003 menyebutkan kekuasaan pengelolaan keuangan negara ada pada Presiden dan dikuasakan pada Menteri, diserahkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota, bukan pada DPR. UU tersebut juga telah mengubah paradigma budgeting dari sistem lama yang berdasarkan input menjadi sistem baru yang berdasarkan kinerja periode sebelumnya. Sementara itu, dalam UU 1/2004 menyebutkan pengguna anggaran bertanggung jawab kepada Presiden / Gubernur / Bupati / Walikota. Pengguna di sini adalah Kementerian dan Lembaga eksekutif. DPR sebagai lembaga legislatif tidak diatur dalam UU untuk menggunakan anggaran. Sedangkan, dalam UU 33/2004 mengenai asas dana perimbangan yang mencakup desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dana aspirasi menafikan prinsip desentralisasi karena alokasi anggaran dibuat oleh DPR yang ada di pusat. Hal ini melanggar prinsip otonomi daerah di mana Pemda dan DPRD-lah yang menyusun anggaran untuk daerahnya (APBD). Selain itu, usulan dana aspirasi Rp 20 miliar per anggota DPR bisa bertabrakan dengan skema perencanaan pembangunan yang merupakan terjemahan dari visi dan misi presiden.

Motif Dana Aspirasi

Dana aspirasi ini sudah disiapkan oleh DPR sejak lama. Pada DPR era sebelumnya, dana aspirasi ini ditolak. Salah satu dasar penolakan itu karena tidak ada dasar hukumnya. Selanjutnya, DPR periode saat ini kemudian menutupi celah itu dengan merivisi UU MD3, yang menjadi dasar hukum dana aspirasi. DPR pun lalu membuat tata cara dan mekanisme pencairan dana aspirasi itu dan pertanggung jawabannya. Selain telah melanggar hukum, dana aspirasi juga disinyalir tidak dapat mencapai motif awalnya yaitu pemerataan pembangunan dan pertumbuhan daerah. Mengapa? karena dana tersebut diberikan berdasarkan jumlah wakil rakyat per Dapil yang tentunya setiap wilayah berbeda. Sementara itu, daerah yang miskin di Indonesia umumnya adalah daerah-daerah terpencil dengan jumlah wakil rakyat yang relatif lebih sedikit. Dengan demikian daerah yang miskin akan mendapatkan dana aspirasi dengan jumlah yang jauh lebih rendah dibanding daerah yang relatif lebih makmur. Jelas usulan ini bertentangan dengan logika pemerataan  yang diungkapkan DPR. Kesimpulannya dana aspirasi tidak lain adalah politik untuk menjaga status quo anggota DPR dengan cara membayar balik jasa konstituen dalam kampanye sebelumnya dengan menggunakan uang negara. Dengan cara tersebut anggota DPR akan mempunyai nama harum di Dapil-nya dan memperbesar kemungkinan terpilih kembali di pemilu berikutnya. Motivasi yang seakan mulia hanya digunakan sebagai bungkus taktik politik di balik pengusulan dana aspirasi ini.

Alasan Penolakan Dana Aspirasi

Apabila alasan penolakan dapat dikemukakan dengan baik, niscaya publik akan setuju dan memberikan apresiasi kepada pemerintah. Jika dana aspirasi yang totalnya mencapai Rp 11,2 triliun per tahun disalurkan melalui anggota DPR, efeknya akan memunculkan fenomena personalisasi politik. Artinya, setiap kebijakan politik yang akan berdampak pada masyarakat, akan sangat ditentukan oleh masing-masing personal anggota dewan penerima dana aspirasi tersebut. Jika sampai terjadi, maka dimungkinkan muncul apa yang disebut sebagai personaliasi politik luar biasa. Selain itu, jika dana aspirasi hanya dikelola oleh masing-masing anggota legislatif di DPR RI, tanpa melibatkan partai politik, maka kedaulatan partai akan hilang. Proses pertanggungjawabannya juga rentan disalahgunakan. Dana tersebut juga rentan hanya dimanfaatkan masing-masing anggota Dewan untuk memperkuat dukungan konstituen di masing-masing dapil. Sementara itu, apabila partai politik dilibatkan, maka partai akan dilatih untuk mengelola dana publik. Pengajuan dana aspirasi juga menunjukan bahwa demokrasi di Indonesia identik dengan kata 'mahal'. Partai politik (Parpol), yang selama ini menjadi pilar demokrasi tidak lagi mewakili aspirasi masyarakat.

Perlunya Pengkajian Mendalam

Kendati demikian, pengusulan dana aspirasi secara mendasar tetap perlu dikaji lebih mendalam. Program terkait dana aspirasi juga harus dipastikan sesuai dengan rencana pembangunan nasional. Jadi sejauh mana dana tersebut dapat berpengaruh atau bersinergi dengan pembangunan di daerah, harus benar-benar dikaji secara mendalam. Jika macet alias deadlock, akan banyak sekali program-program pemerintah yang akan terbengkalai. Ujung dari semua itu, tentu rakyat yang akan dirugikan. Pembangunan akan terhambat. yang penting adalah setelah dana aspirasi itu lolos, institusi pengawasan dan juga publik harus benar-benar mengawasi penggunaan dan aplikasinya. Apakah benar penggunaannya akan sesuai dengan programnya. Institusi pengawasan dan publik harus serius menagih pertanggung jawaban dana aspirasi tersebut. Kalau ada yang nggak bener laporkan. dana aspirasi ini merusak sistem penganggaran yang ada. Urusan pelaksaan program adalah domain pemerintah, sementara DPR mengusulkan dan mengawasi. Dana aspirasi ini, lanjutnya membuat DPR menentukan program mana yang sesuai sekaligus mengeksekusinya. Sementara pengawasan tidak jelas. Potensi penyimpangan akan besar sekali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun