[caption id="attachment_191999" align="aligncenter" width="648" caption="dok. pribadi"] [/caption]
Jarak antara kos dengan kantor saya cukup dekat, tidak sampai 1 km, sehingga seringkali saya memilih berjalan kaki untuk berangkat ke kantor. Lumayan juga untuk menghemat konsumsi bensin di motor butut saya. Akan tetapi akhir-akhirnya ini ada yang berbeda dari trotoar yang biasa dilewati. Ada deretan pot-pot besar yang diletakkan persis di trotoarnya. Sehingga bila melewati pot tersebut harus jalan agakmlipir(baca: berjalan pelan agak ke tepi) dan tidak bisa mengunakan trotoar secara maksimal. Pot-pot tersebut dipasang untuk menyambut acara Borobudur Interhash 2012 yang sudah dilaksanakan pada 25-27 Mei. Entah apa yang ada dibenak orang yang memerintahkan untuk menaruh pot besar di situ dan tidak jelas juga apakah itu akan diletakkan di trotoar selamanya atau nanti akan diambil kembali.
Kejadian diatas adalah secuil contoh dari trotoar yang terjajah. Trotoar yang terjajah ini merupakan fenomena yang umum terjadi di Indonesia. Pemandangan yang biasa terlihat di kota-kota besar adalah ketika trotoar justru menjadi milik para pedagang kaki lima dan pengendara motor. Banyak pedagang kaki limanggelar(baca: menyajikan) dagangannya di trotoar karena tidak punya tempat berdagang. Pengendara motor pun setali tiga uang. Mereka menggunakan trotoar karena terdesak oleh kemacetan yang merajalela terutama di Jakarta. Bila tidak digunakan untuk menembus kemacetan, banyak trotoar yang berubah menjadi lahan parkir.
Dan entah kenapa tidak banyak orang yang protes melihat hal tersebut. Atau mungkin karena memang tidak ada orang yang berjalan kaki di Indonesia ini? Harus diakui bahwa berjalan kaki bukanlah budaya (urban) Indonesia. Lain halnya dengan orang Jepang yang sangat senang berjalan kaki apabila tempat yang dituju masih bisa dijangkau dengan berjalan. Pengalaman mendampingi para peneliti dari Jepang, mereka tidak pernah mengeluh apabila harus berjalan kaki dari kantor menuju Candi Borobudur yang berjarak lebih kurang 1 km. Istilah mereka sih,fine-fineaja tuh.
Beda bila itu harus dilakukan oleh orang Indonesia, belum-belum sudah mengeluh dengan jaraknya yang (dianggap) jauh. Ujung-ujungnya kemudian untuk mencapai candi harus ditempuh menggunakan kendaraan bermotor. Sebuah pemborosan sumber daya yang sebenarnya terlihat kecil, tetapi karena sering dilakukan akhirnya menjadi besar.
Memimpikan trotoar yang ramah pejalan kaki di Indonesia tentunya bukanlah sesuatu yang mustahil. Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, sudah memberikan contoh bagaimana itu bisa dilakukan. Trotoar di Surabaya diperlebar dan kemudian ditinggikan hingga 30 cm. Pengendara yang dulu sering lewat trotoar kemudian menjadi enggan karena susah untuk menaikkan motornya ke trotoar, apalagi kalau nanti kepergok Satpol PP, harus cepat diturunkan dari trotoar, susahlah pokoknya. Pedagang kaki lima pun ditertibkan. Mereka disediakan tempat khusus berjualan dan tidak boleh mangkal di trotoar. Trotoar hanya khusus untuk pejalan kaki.
Dengan trotoar yang nyaman, orang pun menjadi berminat untuk berjalan kaki. Bahwa berjalan kaki bagus untuk kesehatan, semua orang sudah mahfum. Jalan kaki secara rutin terbukti baik untuk jantung, otak, tulang dan mampu mengurangi gejala depresi. Berjalan kaki juga berarti penghematan. Jarak yang dekat cukup ditempuh dengan berjalan kaki, tidak harus memakai mobil atau motor. Dan terakhir, tidak perlulah gengsi untuk berjalan kaki. Toh di negara-negara maju seperti Jepang dan Korea Selatan banyak warganya yang malah memilih untuk berjalan kaki.
Jalan kaki, siapa mau?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H