Basuki Tjahaja Purnama, atau Ahok, adalah salah seorang yang telah banyak menginspirasi dan mengajar saya banyak hal. Saya mendukung beliau, dan itu bukan karena saya seagama dengan beliau. Tidak. Jauhlah pikiran sepicik itu. Mengapa saya mendukung beliau dan bagaimana beliau telah mempengaruhi saya akan saya simpan untuk tulisan lain. Sekarang saya ingin menulis tentang peristiwa kelabu di hari ini.Â
Selasa, 9 Mei 2017, adalah hari yang menyedihkan dan menyesakkan dada. Ahok divonis oleh lima orang majelis hakim PN Jakarta Utara dengan hukuman penjara dua tahun dengan pasal penodaan agama. Padahal tim jaksa penuntut umum menuntut dengan hukuman percobaan, alias Ahok tidak ditahan, dan bukan dengan pasal penodaan agama. Meski jauh ribuan kilometer dari tanah air, saya selalu berusaha mengikuti apa yang terjadi di sana, termasuk sidang Ahok ini. Sejauh saya mengikuti sidang tersebut, putusan majelis hakim tersebut di mata saya adalah sebuah pelecehan nalar dan hati nurani.
Saya menujukan tulisan ini kepada para hakim tersebut, dan juga para hakim di seluruh Indonesia. Apa yang telah mereka lakukan hari ini membangkitkan ingatan saya tentang hikayat Sisamnes. Herodotus, ahli sejarah Yunani yang terkenal itu dan dijuluki Bapak Sejarah, menceritakan kisah tersebut dalam satu bukunya. Sisamnes adalah seorang hakim yang hidup di zaman Raja Cambyses II yang memerintah imperium Persia tahun 530 hingga 522 SM. Sisamnes hakim yang korup; ia menerima suap dan menjatuhkan putusan yang tidak adil. Raja mendengar hal ini, lalu mengadili dan menghukum hakim busuk itu.Â
Sepertinya bagi Raja keadilan dan kebenaran itu sangat bernilai, begitu pula posisi hakim yang putusannya sangat menentukan hidup mati seseorang. Raja pun menjatuhkan hukuman mengerikan. Raja memerintahkan Sisamnes ditangkap dan dikuliti hidup-hidup. Tidak ingin hakim pengganti Sisamnes mengulangi kejahatan tersebut, Raja lalu memerintahkan agar kulit dari tubuh Sisamnes dipakai untuk membungkus kursi hakim yang dulu diduduki Sisamnes dan akan diduduki penerusnya. Kreatifitas Raja Cambyses tidak berhenti di sana. Raja menunjuk hakim pengganti Sisamnes. Siapakah dia? Anak laki2 Sisamnes sendiri!
Coba bayangkan apa yang muncul di pikiran si anak Sisamnes tiap kali ia duduk di kursi itu! Akankah dia masih berani untuk mengadili dan menjatuhkan putusan yang tidak adil? Masihkah dia berani mencederai kebenaran dan keadilan dengan putusan2nya? Beranikah dia mengulangi kesalahan ayahnya? Jika dia masih memiliki akal sehat dan hati nurani, dia pasti akan menjawab TIDAK. Bagaimana para hakim yang mulia akan mengadili dan membuat putusan jika di posisi anak Sisamnes?
Kisah ini ternyata berkesan dalam bagi para pemimpin kota Bruges di Belgia pada abad ke 15. Mereka lalu meminta pelukis Belanda Gerard David untuk mengabadikan kisah itu dalam lukisan. Hasilnya adalah gambar di atas. Setelah selesai lukisan itu lalu dipajang di balai kota di kota Bruges, dimana para hakim setempat akan melihatnya setiap hari. Melalui lukisan itu, para pemimpin kota ingin mengingatkan para hakim untuk menjunjung tinggi keadilan, kebenaran dan keberanian, serta menjauhkan diri dari korupsi.
Saya penasaran, apakah kisah ini juga diceritakan di ruang2 kelas fakultas2 hukum di kampus2 kita? Apakah para hakim kita jangan2 tidak pernah mendengar kisah ini? Barangkali ada baiknya jika Kemenkumham memproduksi kopi dari lukisan ini dan menggantungnya di tiap ruang sidang pengadilan kita!
Jadi para hakim yang mulia, ingatlah selalu Sisamnes.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H