Gambar 1. Persentase pemilih di Pilkada DKI Jakarta Putaran II menurut agama Islam dan non-Islam
Apa saja hal menarik yang bisa kita cermati dari angka-angka ini? Data exit poll ini memberi kita informasi persebaran agama di kedua paslon, memperkaya data dari KPUD. Perhatikan, hampir semua pemilih kubu biru beragama Islam (97.3%), sementara kubu merah kontribusi pemilih non-Islam hampir seperempatnya. Artinya distribusi agama di kubu merah lebih heterogen. Sangat mungkin ini karena adanya calon wagub non-Islam yaitu Ahok. Pertanyaannya, apakah ini akan terulang di 2014 ketika Jokowi berpasangan dengan JK (keduanya muslim)?
Mari kita lanjutkan dengan mempelajari hasil 2014 dari [1,4,5] yang dipaparkan di Tabel 2. Ada 1.904 orang (95,2%) responden yang berhasil diwawancarai, dengan margin of
error ±2,2% pada tingkat kepercayaan 95%. Data exit poll [4] melaporkan angka responden yang menjawab 'tidak tahu' (TT) atau 'tidak jelas' (TJ). Karena itu angka normalisasi terhadap data BPS saya hitung dengan mengesampingkan persentase TT/TJ ini. Saya mendapatkan persentase 54.3% untuk Jokowi-JK dan 45.7% untuk rivalnya. Kembali selisihnya sangat kecil terhadap hasil real count KPU, kurang dari 2.5%.
Tabel 2. Hasil Pilpres 2014
Gambar 2. Persentase pemilih di Pilpres 2014 menurut agama Islam dan non-Islam
Apa informasi yang bisa ditarik dari perbandingan ini?
- Tidak salah untuk menyatakan bahwa Pilgub DKI Jakarta merupakan 'barometer' politik nasional. Terbukti, hasil akhirnya sangat mirip. Ini menjadi sinyal bahwa kita dapat menjadikan hasil Pilgub DKI 2017 sebagai basis untuk memprediksi hasil Pilpres 2019.
- Bisa dikatakan bahwa baik pemilih kubu biru dan kubu merah menunjukkan loyalitas yang (sangat) tinggi kepada kubunya. Dengan konfigurasi partai-partai pendukung yang tidak jauh berbeda di 2012 dan 2014 padahal calon di kubu biru di dua peristiwa itu tidak ada yang sama, ada kemungkinan pemilih kubu biru memiliki preferensi dan asosiasi yang sangat kuat terhadap partai-partai kubu biru serta tokoh-tokohnya.
- Sementara, di 2012 dan 2014 di kubu merah ada satu calon yang sama, yaitu Jokowi. Selain preferensi dan asosiasi terhadap partai, figur Jokowi merupakan magnet yang sangat kuat bagi para pemilih kubu merah untuk tetap loyal. Sangat mungkin simpati terhadap Jokowi (jauh) lebih besar daripada simpati terhadap partai-partai kubu merah. Ini perlu menjadi catatan penting bagi partai-partai ini menjelang dan saat 2019.
- Di 2012 ada figur Ahok, seorang Kristen dan keturunan Tionghoa, sebagai cawagub kubu merah. Di 2014 semua calon dari kubu merah beragama Islam. Hasil yang sangat mirip di kedua peristiwa itu menunjukkan bahwa faktor agama dan suku Ahok yang datang dari dua minoritas di republik ini mungkin tidak berpengaruh besar. Jumlah orang yang mempersoalkan agama dan suku Ahok tidak sebesar saat 2012. Kenapa? Sebab kemenangan Jokowi Ahok di 2012 adalah sebuah kejutan besar bagi banyak orang, termasuk bagi mereka yang menduga bahwa agama dan suku Ahok bisa membuat kubu merah kalah. Ternyata mereka keliru. Namun bisa jadi mulai 2012 Ahok menjadi fokus mereka dan usaha-usaha radikalisasi dan politisasi agama mulai digencarkan.
- Loyalitas pemilih di kedua kubu pada 2012 dan 2014 mengindikasikan bahwa hasil serupa bisa terulang di 2017 dan 2019 dengan masih ada calon yang sama yaitu Ahok di 2017 dan jika Jokowi maju di 2019, andaikata ceteris paribus, atau situasi tidak banyak berubah. Sulit mengharapkan pemilih setia kubu biru pindah memilih kubu merah, dan sebaliknya. Albert Einstein berkata "Insanity: doing the same thing over and over again and expecting different results." Orang yang melakukan hal yang sama lagi dan lagi namun mengharapkan hasil berbeda, kata Einstein, adalah orang tidak waras. Karena itu, logis untuk 2017 dan 2019 mereka yang benci kubu merah menang akan melakukan upaya-upaya yang berbeda demi memenangkan 2017 dan 2019. Itulah radikalisasi dan politisasi agama untuk menggerus himpunan pemilih Islam yang loyal terhadap kubu merah. Sebab itu sangat mungkin usaha-usaha itu dimulai sejak 2012, dan semakin intensif menjelang 2014, lalu makin menggila menjelang 2017 karena kekalahan di 2014. Apakah mereka berhasil di 2017?
Sekarang saatnya kita lanjutkan dengan hasil 2017. Tabel 3 menyajikan semua data dan angka penting dari [1,6,7]. Persentase pemilih menurut agama Islam dan non-Islam saya plot di Gambar 3. Hasil dari 2012, 2014 dan 2017 saya rekapitulasi di Gambar 4 untuk memudahkan perbandingan.
Tabel 3. Hasil Pilgub DKI Jakarta 2017 Putaran II
Gambar 3. Persentase pemilih di Pilgub DKI Jakarta 2017 Putaran II menurut agama Islam dan non-Islam
Gambar 4. Dari dalam ke luar: Rekapitulasi persentase pemilih di Pilgub DKI 2012, Jakarta Pilpres 2014, dan Pilgub DKI Jakarta 2017.
Apakah hasil 2017 sama dengan 2012 dan 2017? Jawabnya adalah ya dan tidak. Apa saja yang sama?
- Angka hitungan saya menggunakan data exit poll [6] ternyata tetap konsisten dengan angka real count KPU, dengan selisih di bawah 1.7%.
- Kembali hampir semua pemilih kubu biru adalah muslim, meningkat sedikit dari 2012 dan 2014 menjadi 99%!
- Persentase pemilih non-Islam di kubu merah relatif stabil, yaitu 14.1% di 2017, 11.0% di 2014, dan 13.4% di 2012.
Lalu apa saja yang berbeda di 2017 dengan 2012 dan 2014?
- Kali ini kubu merah kalah dari kubu biru! Kalah telak dengan margin 16%. Padahal menurut survei sekitar 70% warga DKI puas dengan kinerja Ahok.
- Migrasi 16% dari kubu merah ke kubu biru ini bisa dikatakan (hampir) semua beragama Islam. Ini ditunjukkan dengan stabilnya persentase pemilih non-Islam kubu merah di 2017, 2014 dan 2012. Ini menyebabkan persentase pemilih Islam dan non-Islam kubu merah cukup banyak berubah dari kestabilan di 2012 dan 2014.
Apa pelajaran yang bisa kita tarik dari perbandingan ini?
- Usaha-usaha berbeda oleh mereka yang benci kubu merah menang terus, yaitu radikalisasi dan politisasi agama, ternyata sukses besar! Karena (hampir) seluruhnya merupakan pemilih Islam, maka angka 16% mengkuantifikasi output dari dari radikalisasi dan politisasi agama tersebut. Ini menjawab pertanyaan utama saya sekaligus mengkonfirmasi hipotesis saya di pembuka tulisan ini. Teknik dan metode yang luar biasa (baca: di luar kebiasaan) ternyata memberi hasil luar biasa pula. Sesuai kata Einstein tadi, para pembenci kubu merah ternyata jauh dari ketidakwarasan soal strategi. Mereka bahkan cerdik seperti ular, garang seperti banteng, namun sayang jauh dari ketulusan seperti merpati.
- Mengingat loyalitas tinggi di atas, sangat mungkin 16% pemilih kubu merah yang sudah pindah ke kubu biru ini tidak mungkin bisa direbut kembali jika kubu merah tidak melakukan apa-apa. Yang terjadi malah angka ini akan meningkat di 2019 jika radikalisasi dan politisasi agama itu tidak dibendung dan dihentikan.
- Bagaimana mengukur efektifitas radikalisme dan politisasi agama itu? Itu tergantung dari sejak kapan itu dimulai dan seintensif apa polanya. Ada kemungkinan itu dimulai dari 2014, ketika kubu biru kalah dua kali di dua pemilu paling bergengsi di republik ini, yaitu pilpres dan pilgub DKI. Banyak orang mengatakan Pilgub DKI 2017 itu serasa Pilpres. Angka dan data di atas menunjukkan itu sebuah konsekuensi logis. Tidak ada yang perlu terkejut seharusnya, bahkan itu harusnya sudah diantisipasi. Bagaimana pun, kemungkinan terburuk adalah bahwa angka 16% itu paling utama disumbangkan oleh gerakan-gerakan radikalisasi dan politisasi agama yang terstruktur, sistematis dan masif digencarkan hanya dalam hitungan bulan sebelum Pilgub DKI 2017, terutama Putaran II. Pintu masuknya adalah saat kata-kata Ahok tentang Al Maidah 51 di Pulau Pramuka dipersoalkan (baca: dijadikan persoalan. Apakah sejatinya itu sebuah persoalan? Silakan jawab sendiri). Jika demikian, maka cara itu terbukti sangat efektif untuk masyarakat kita. Ini suatu hal yang mengerikan, sangat mengerikan. Kondisi republik sudah parah. Sudah seharusnya setiap orang yang peduli memiliki sense of crisis dan sense of urgency mulai sekarang.
Di akhir tulisan ini saya ingin menyampaikan pesan untuk Pak Jokowi berdasarkan analisis kuantitatif ini. Pak, angka dan data menunjukkan bahwa jika Pilpres diselenggarakan hari ini dan calonnya hanya Bapak dan Prabowo, ada kemungkinan bahwa Bapak akan kalah. Jika Bapak memutuskan maju di 2019 dan Bapak salah satu dari dua calon yang tersisa, maka angka dan data di atas menunjukkan bahwa Bapak PASTI akan kalah jika:
- Bapak tidak segera dalam tempo sesingkat-singkatnya menerapkan upaya-upaya yang juga terstruktur, sistematis dan masif untuk membendung dan menghentikan kanker radikalisasi dan politisasi agama yang masih giat berlangsung. Sebab itu sangat membahayakan bangsa dan negara kita. Itu juga akan terus merampok suara pemilih Islam yang masih loyal kepada Bapak. Kita tidak tahu setiap hari berapa orang dari pemilih Bapak berhasil dipengaruhi pikirannya untuk meninggalkan Bapak. Lalu kapan Bapak harus mulai? Jika saya ditanya, jawaban saya seharusnya di hari pertama sejak Bapak jadi presiden. Tapi Bapak bisa mulai hari ini. Seperti kata seorang tua kepada saya: masa lalu milik Iblis (karena akan dia pakai untuk mendakwa manusia di pengadilan terakhir), masa depan itu milik Tuhan, tapi hari ini adalah milik kita. Milik Bapak. Bergeraklah segera Pak dengan langkah kudamu! Millions of people in Indonesia and the world look at you, wait for you actions, and put hope in you Pak.
- Bapak tidak segera dalam tempo sesingkat-singkatnya melakukan langkah-langkah yang cerdas dan cermat untuk mencegah lebih banyak lagi pemilih non-Islam yang loyal kepada Bapak jadi berubah pikiran untuk meninggalkan Bapak. Data di atas menunjukkan bahwa, jika mereka tidak lagi mendukung Bapak, kecil kemungkinan mereka memilih menyeberang ke kubu rival. Alternatif pilihan bagi mereka sepertinya cuma satu Pak: memilih untuk tidak memilih, alias golput. Jika mencermati apa yang terjadi pasca putusan Ahok, sepertinya ada usaha-usaha untuk menggunakan itu sebagai alat untuk pelan-pelan mengikis suara pemilih non-Islam yang loyal kepada Bapak. Sila Bapak cek di media sosial. Bergeraklah segera Pak. Do something!
- Bapak masih merasa Bapak aman dan segala sesuatu akan baik-baik saja. Saya berharap Bapak semakin berhati-hati dengan apa yang dibisikkan orang-orang di sekitar Bapak. Saya jadi teringat dengan kata-kata ini Pak: “Watch your thoughts, they become words; watch your words, they become actions; watch your actions, they become habits; watch your habits, they become character; watch your character, for it becomes your destiny.”