Apakah mereka yang fokus pada satu minat dan kompetensi menjadikan kualitas mereka menurun? silahkan diperdebatkan lagi.
Kemudian terkait Disparitas atau perbedaan antar perguruan tinggi. Isunya, dikhawatirkan akan ada perguruan tinggi yang dengan mudah "meluluskan" mahasiswanya dan ada perguruan tinggi yang tidak demikian.
Bukankah fenomena itu sudah terjadi di Indonesia? Perguruan tinggi dengan mudah memberikan Ijazah bagi mahasiswanya. Bahkan mahasiswa tidak pernah kuluiah tapi bisa ikut wisuda.
Masih ingat video pendek yang sempat viral di media sosial? yang menampilkan beberapa mahasiswi tengah megikuti prosesi wisuda. Saat ditanya perekam mengenai IPK dia tidak bisa menjawab bahkan nampak bingung dan spontan menjawab "belum dibagikan".
Itukah yang dimaksud disparitas perguruan tinggi? jika iya, maka tidak perlu menunggu Aturan baru dari Kemendikbudristek ini untuk terjadi, diakui atau tidak fenomena itu sudah ada.
Menurut saya, kualitas sarjana di Indonesia maupun diseluruh dunia tidak terkait dengan jenis tugas akhir apa yang mereka pilih. Faktanya banyak sarjana di Indonesia yang lulus tanpa menulis skripsi.
Kualitas seorang sarjana lebih tentang semangat untuk belajar, rasa ingin tahu, dan kemampuan berpikir kritis. Itu yang membentuk pemikiran mereka, bukan hanya jenis tugas akhir yang mereka kerjakan.
Jadi, biarkan mahasiswa mengejar minat dan potensinya. Yang terpenting adalah mereka mendapatkan pengalaman berharga dan pengetahuan yang dapat mereka terapkan dalam dunia nyata. Bagaimana pun, setiap perjalanan pendidikan adalah unik, dan kualitas seorang sarjana tidak bisa diukur hanya dari tugas akhir mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H