Mohon tunggu...
pangeran toba hasibuan
pangeran toba hasibuan Mohon Tunggu... Lainnya - jadilah seperti akar meski tidak terlihat, tetap tulus menguatkan batang dan menghidupi daun, bunga atau buah termasuk dirinya sendiri

Bukan apa yang kita dapatkan, tapi menjadi siapakah kita, apa yang kita kontribusikan, itulah yang memberi arti bagi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Rasa Keadilan

19 November 2021   08:01 Diperbarui: 19 November 2021   08:41 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hakim memiliki kewenangan dan kebebasan dalam memutus perkara dalam sidang pengadilan yang tidak dapat dipengaruhi oleh siapapun. Demikian yang diamanatkan oleh undang-undang, karena pengadilan adalah benteng terakhir bagi keadilan. Untuk itu hakim harus menggali nilai-nilai, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Di samping itu pihak-pihak yang berperkara (terpidana atau jaksa penuntut) juga memiliki hak banding yang diatur dalam undang-undang sebagai upaya hukum yang dapat diajukan terhadap suatu putusan pengadilan negeri guna meminta pada pengadilan yang lebih tinggi agar melakukan pemeriksaan ulang atas putusan pengadilan negeri karena dianggap putusan yang diberikan jauh dari keadilan atau karena adanya kesalahan di dalam pengambilan keputusan.

Apakah majelis hakim pada tingkat banding pasti mengabulkan permohonan pihak yang mengajukan banding? belum tentu. Hakim pada pengadilan banding tentu memiliki pertimbangan hukum dalam memutuskan perkara, apakah mengurangi, memperkuat atau memperberat putusan hukuman sebelumnya. 

Menarik untuk dicermati, meskipun sulit diterima secara normal namun mencoba memahami logika pertimbangan hukum atas dua putusan pengadilan tingkat banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta untuk kasus yang menarik perhatian besar publik belakangan ini. Yang pertama, putusan majelis hakim tingkat banding telah mengurangi hukuman seorang mantan jaksa dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara, padahal terpidana terbukti merancang pengurusan fatwa MA agar seseorang yang sudah buronan selama 11 tahun tidak dieksekusi. Pertimbangan hakim adalah, karena terpidana seorang perempuan dan masih memiliki anak balita, mengaku bersalah serta telah dipecat dari profesinya. Pertimbangannya lebih mengarah kepada rasa iba (belas kasihan).

Apakah dengan pengakuan bersalah dan seorang wanita, maka hukuman dikurangi? Apakah pertimbangan tersebut berlaku juga nantinya untuk terpidana lainnya? Bukankah yang seharusnya menjadi pertimbangan adalah materi kasusnya? 

Yang lebih menarik lagi adalah pertimbangan hukum untuk seorang yang ditangkap setelah buron selama 11 tahun, yang sebelumnya dirancang oleh seorang mantan jaksa untuk bisa tidak perlu menjalani eksekusi, namun gagal. Hukumannya dikurangi dari penjara 4 tahun 6 bulan menjadi 3 tahun 6 bulan, dengan pertimbangan si terpidana telah menjalani pidana penjara untuk kasus sebelumnya. (Kompas, 29 Juli 2021). Padahal si terpidana belum menjalani hukuman saat itu karena melarikan diri (buron). Apakah tidak mau menjalani eksekusi karena melarikan diri selama 11 tahun tidak diperhitungkan sebagai pembangkangan terhadap nilai-nilai hukum?.

Publik sulit memahami logika pertimbangan hukum majelis hakim dalam memberikan pengurangan hukuman kedua terpidana tersebut.  Apakah memang demikian amanat yang dimaksud dalam undang-undang bahwa hakim memiliki kewenangan dan kebebasan dalam memutus perkara?.

Sebagai perbandingan saja, di Jepang seseorang bisa kehilangan jabatan karena persoalan etika. 

Akhirnya masyarakat awam tidak bisa berbuat banyak hanya berkesimpulan bahwa hukum kita masih 'tajam ke bawah tapi tumpul ke atas'. Semoga kita tidak cepat lupa bahwa bahaya laten korupsi itu ada, seperti yang disampaikan ketua KPK saat peringatan Hari Antikorupsi Sedunia tahun 2020 (Kompas, 17/12/2020).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun