Mohon tunggu...
Wahyu Din
Wahyu Din Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Rantau I Rawamangun I Universitas Negeri Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Pendaki Gunung Indonesia; Tak Cukup Bermodalkan Keberanian

16 Februari 2012   08:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:34 962
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Dalam mendaki gunung,  Semakin bagus manajemen perjalanan yang kita buat dengan sendirinya resiko itu akan berkurang”

Dunia petualangan Indonesia semakin menggeliat, ditandai dengan kegiatan – kegiatan petualang Indonesia yang fenomenal. Puncaknya adalah keberhasilan tim Mahitala UNPAR mencapai 7 Puncak benua, Tim Indonesia pertama yang melakukan itu. Dibalik keberhasilan itu masih banyak prestasi – prestasi lain yang sudah diukir, di Indonesia sendiri tim KOMPAS dengan Ekspedisi Cinicin api. dua tahun lalu, tim KMPA Eka Citra UNJ dengan Ekspedisi Citra Lintas Nusantara dan masih banyak lainnya. Seakan menegaskan keindahan gunung – gunung Indonesia tak ada habisnya.

Seiring dengan meningkatnya jumlah pendaki yang melakukan aktifitasnya, persoalan lain pun muncul yaitu tentang keselamatan pendaki tersebut, karena kegiatan pendakian merupakan sebuah aktifitas yang memiliki resiko tinggi, bersinggungan dengan maut dan nyawalah taruhannya. Beberapa tahun belakangan jumlah pendaki gunung yang meninggal ketika sedang melakukan pendakian semakin banyak, masih segar di ingatan kita salah satu mahasiswa UNAS meninggal di G.Papandayan (http://www.detiknews.com/read/2011/12/18/212220/1794036/10/pendaki-gunung-papandayan-yang-tewas-mahasiswa-unas-jakarta), beberapa kasus mapala yang sedang melakukan pendidikan bagi calon anggotanya di bogor, Jakarta, Jogja, dan di manado awal tahun ini. beberapa kasus di G.Ciremai, dan bahkan kasus meninggalnya Soe Hok Gie di semeru 33 tahun silam. Banyak faktor yang melatarbelakangi beberapa peristiwa tersebut diatas, akan tetapi dari peristiwa tersebut dapat di jadikan pelajaran bagi generasi berikutnya.

Berbicara mengenai pendakian gunung di Indonesia agak berbeda dengan aktifitas serupa di Negara lain, karena Gunung – gunung di Indonesia mempunyai karakteristik yang khas akibat dari bentukan jalur pegunungan yang melintasi Indonesia. Gunung dengan segala isinya tidak bisa dirubah secara permanen untuk kepentingan kita, tetapi satu hal yang harus kita pikirkan adalah masalah keamanan dalam berkegiatan dialam terbuka. Karena bahaya yang terjadi karena faktor alam tidak akan bisa kita duga, yang harus kita lakukan adalah mempersiapkan diri dari kondisi sesulit apapun.

Cerita dari Argopuro

Beberapa waktu lalu bersama seorang kawan, saya mendaki gunung argopuro. Persiapan yang kami lakukan tergolong minim bahkan kurang, tetapi kami paksakan karena terkait kondisi dan hasrat kami yang sudah tak terbendung. Salah satu alasan realistis kenapa kami paksakan adalah gunung – gunung di jawa selalu ramai oleh pendaki apalagi dalam waktu libur –tahun baru 2011-  dengan jalur yang sudah terbuka. di argopuro, ternyata hal itu tidak berlaku, walaupun jalur pendakian sudah terbuka tetapi tetap saja membingungkan. Dan sepanjang pendakian sampai pos Cisentor tak ada seorangpun selain kita berdua.

Dalam Pendakian ini kami melalui pos BKSDA Pegunungan yang timur di desa Baderan. kami memulai pendakian pada esok hari. sepanjang jalan menuju pos I yang terlihat hanyalah jejeran dataran tinggi yang banyak terdapat aliran – aliran air menuruni lerengnya. Ladang – ladang warga terhampar, berlalu saja kami lewati. Sesekali ayam hutan lari dari persembunyiannya di semak – semak, yang berada samping kanan kiri jalan setapak yang kami lewati. Menuju bukit kecil yang kedua kalinya kami temui, Tiba – tiba seorang petani berteriak memanggil kami dan menunjukan jalan pendakian, karena jalur yang kami lewati merupakan jalur menuju ladang. Cukup membingungkan.

Jalan setapak semakin mulai menanjak dan memasuki kawasan hutan, ladang – ladang bersama petaninya sudah kami lewati. medan selanjutnya adalah hutan hujan tropis khas pegunungan di kawasan tropik. Sepanjang mata memandang yang terlihat hanyalah pepohonan tinggi dan beberapa kali kami melewati savana. Medan yang kami lewati cukup landai sesekali turunan dan tanjakan. Setelah melewati beberapa savanna kami memasuki hutan pinus, terasa sangat jauh karena yang terlihat didepan mata hanya pohon pinus. Punggungan bukit kami daki, tak lama kemudian terpampang Papan bertuliskan pos II. Karena sudah sore dan badan pun terasa lelah karena seharian perjalanan akhirnya kami putuskan untuk bermalam.

Ada sedikit ketakutan ketika kami bermalam di Pos II, salah satu faktornya adalah senjata tajam untuk perlindungan diri yang kurang memadai. Sepanjang jalan beberapa kali kami menemui jejak – jejak binatang buas bahkan kami sempat berpapasan dengan anjing hutan. Untuk mengurangi resiko, Kami mempersenjatai diri dengan kayu yang dibikin runcing ujungnya sebagai alat pelindung diri. Sepanjang malam kami mewaspadai akan bahaya binatang buas yang kapanpun bisa menyerang kami. teringat olehku laporan ekspedisi gunung leuser aceh pada tahun 1991 yang dilakukan oleh mahasiswa pecinta alam Univ. Borobudur yang gagal karena serangan beruang madu untuk mendapatkan makanan yang mereka bawa.

Suasana pagi berkabut memberatkan kaki kami untuk melangkah, namun setelah melihat jam langsung saja kami bergerak untuk melanjutkan perjalanan. Kami lanjutkan perjalanan dengan target cisentor. Tak lama kami berjalan terlihat padang savanna luas yang tertata rapih dan dibelah sungai, garis – garis terlihat membujur di tengah savana, pohon – pohon besar memagari membentuk batas tersendiri. Burung – burung merak berterbangan lalu lalang mencari makan di pinggiran sungai. Reruntuhan bangunan seakan menegaskan bahwa dulu tempat ini sempat dihuni. Ya, itulah cikasur.

Kami sempatkan untuk melihat – lihat keindahan cikasur ini. tak lama, kami lanjutkan perjalanan menuju cisentor. Sepanjang perjalanan menuju cisentor pemandangan sangat bervariasi hutan kering yang bekas terbakar, rumput ilalang menenggelamkan tubuh kita, hutan lebat, hamparan bunga membentuk seperti taman bunga. membuat perjalanan kami tidak terasa lelah. Matahari mulai kembali ke peraduannya. belum juga kami sampai, Medan yang kami lewati semakin berat, kadang kami harus melangkah di pohon yang melintang dengan kanan – kiri jurang, sedikit saja kami oleng maka akan terjerambab ke dasar lembah.

Semangat kami hampir luntur ketika jalur mulai menanjak menuju punggungan yang terlihat sangat panjang. Tetapi setelah kami tiba diujung tanjakan, tiba – tiba jalan berbelok ke kanan dan melewati sungai yang berarus deras. Terbaca jelas tulisan kecil diujung sungai, CISENTOR!. Ya akhirnya kami sampai juga di pos terakhir sebelum kami summit attack keesokan harinya.

Cisentor merupakan salah satu pos pendakian di argopuro, berada di sisi kanan sungai. merupakan persimpangan jalan yang menghubungkan jalur baderan dengan jalur bremi. Terdapat shelter panggung yang terbuat dari kayu, hanya muat satu tenda. Diatas pos ini terdapat savana dan dibawahnya terdapat sungai yang airnya mengalir dengan deras. Ditempat inilah kami bertemu dengan sebangsa kami -sejoli dari semarang - setelah dua hari hanya berduaan.

Keesokan harinya kami bersiap – siap menuju puncak argopuro, kira – kira dua jam perjalanan dari cisentor. Medan yang kami lewati masih sama seperti perjalanan dari pos I ke cisentor di dominasi savanna. Medan mulai menanjak dan kami terhenti di persimpangan jalan, kekanan menuruni sungai tadah hujan yang sudah tak berair dan kekiri menanjak ke bukit. Tak ada tanda apapun kemana kami arahkan kaki untuk menuju kepuncak. Setelah berdiskusi sejenak akhirnya kami putuskan ke kiri. Sedikit landai akhirnya medan mulai menanjak menaiki bukit. Jalur semakin tertutup tetapi masih bisa dilewati dan terdapat jejak manusia. Semakin jauh kami daki semakin tidak jelas jalurnya, hanya bekas – bekas bungkus makanan yang membuat kami yakin bahwa jalur ini pernah dijamah oleh manusia.

Kebingungan kami semakin jelas ketika jalur yang kami lewati tertutupi pohon tumbang dan terpaksa kita melintasinya dengan medan hampir 90 derajat, setelah itu jalur sudah tertutup. Tidak ada tanda apapun yang bisa membuat kami yakin bahwa tempat ini pernah dijamah oleh manusia. Ya, kita TERSESAT!. Setelah berdiskusi sebentar akhirnya kita putuskan untuk mecapai puncak bukit untuk membaca medan disekeliling kita.

Medan menuju ke puncak bukit sangat terjal dengan sesekali landai, kita membuat jalan dengan bantuan kayu yang kami pakai untuk merubuhkan ilalang – ilalang yang menutupi jalan kami.  sesekali kami melintas di pohon yang sudah membujur ditanah. Akhirnya kita sampai di sebuah tempat lapang sekitar 7 meter persegi dengan pemandangan kekanan sebuah savanna yang luas dan pandangan kekiri adalah sebuah punggungan bukit.

Kami istirahat sejenak dipuncak bukit tanpa nama ini, tidak ada apapun alat yang dapat menolong kami, peta, kompas kami tak bawa. Matahari sedang tepat diatas kepala, susah untuk meminta petunjuk dari dewa matahari. Kebingungan jelas terlihat dari kami, bingung memilih antara melanjutkan perjalanan yang entah kemana kami dibawa atau kembali kearah cisentor dengan menempuh perjalanan sekitar dua jam.

Tidak ada puncak kalau kita kembali ke cisentor, terkecuali kita kembali mencoba keesokan harinya dengan mengambil jalur yang satunya di persimpangan jalan sebelum menaiki bukit. Itupun kalau jalur yang kami lewati benar – benar kearah puncak. Karena kami tidak ada yang tahu mengenai jalur pendakian ini. pun kalau kita melanjutkan perjalanan kita tidak tahu arah yang bakal kita tempuh untuk menuju kepuncak. Setelah berpikir sejenak akhirnya kami putuskan untuk kembali membaca medan di sekeliling kita. Tetap sama, sebelah kanan dikejauhan terlihat savanna yang luas sedangkan kekiri punggungan dengan beberapa puncak bukit. Mungkin itulah puncak argopuro pikirku.

Setelah agak lama menimbang – nimbang, akhirnya kita putuskan untuk mencapai savanna yang ada di kejauhan sebelah kanan kita. sedikit beresiko tetapi itulah yang dipilih dan harus siap dengan resiko yang akan kita hadapi. Setelah kita membaca medan dan beberapa persiapan lain,. Perjalanan tanpa arah dengan tujuan savanna kami mulai. Medan yang kami lewati pertama – tama adalah menuruni lereng menuju lembah dibawah bukit. Kami mempersenjatai diri dengan kayu yang runcing ujungya karena lereng yang kami lewati merupakan semak – semak yang tinggi. Setiap langkah yang akan kami pijak kami mengeceknya dengan kayu. Setelah tidak ada reaksi apapun maka kami pijakan kaki kita begitu juga dengan kawanku yang mengikuti langkahku.

Lereng bukit dengan semak – semak tinggi sudah kami lewati. tidak ada ular, babi ataupun binatang menyeramkan lainnya yang terusik akibat kedatangan kami, hanya beberapa serangga kecil yang berterbangan karena kedatangan kami mengganggu tidur siang mereka.

Kami berada dilembah, titik terendah persimpangan tiga bukit yang ada di sekelilingnya. sungai tadah hujan terlihat membelah ditengahnya, dengan bongkahan – bongkahan batu besar berserakan. Tinggi sungai sekitar tiga meter dari dasar. Perjalanan kami lanjutkan menyusuri sungai tersebut, belum lama kami melangkah dihadapan kami terdapat sarang laba – laba siap menangkap apapun yang akan melewatinya.

sungai yang kami lewati sedang kering, hanya beberapa genangan yang mungkin digunakan oleh beberapa hewan untuk keperluannya. Tak lama kami menelusuri sungai ini akhirnya sampai juga dihulunya. Perjalanan berikutnya menaiki bukit yang ada di sebelah kanan sungai. Medan mendaki dengan abu bekas kebakaran dibawahnya. Beberapa pohon tumbang kami jadikan lintasan untuk menaiki bukit. Selesai kami menaiki bukit terlihat jelas bukit berikutnya tak ada jalan lain selain naik dan menuruni bukit.

Setelah tiga bukit kami daki, kami istirahat sejenak dibukit ketiga. Tidak ada tanda – tanda apapun yang dapat menolong kami. hampir pasrah karena savanna yang terlihat dari kejauhan pun belum juga ketemu. Bukit tempat kita tersesat terlihat jelas didepan mata kita. Kami lanjutkan perjalanan dengan langkah yang berat. Tiba – tiba tak lama setelah turun dari bukit terlihat savanna yang kami lihat dari bukit kejauhan. Ya akhirnya kita menemukan jalan.

Savanna yang luas terbentang ini dibelah oleh garis yang menjadi jalur pendakian menuju argopuro maupun rengganis. Kami lanjutkan menuju ke puncak rengganis dan argopuro, dan kembali ke pos cisentor pada sore harinya. Sebuah petualangan yang menegangkan, penuh ketakutan, resiko yang harus kami hadapi karena persiapan yang kurang matang. Yang menjadi catatan kami waktu itu adalah perlengkapan yang kurang.

Sedikit belajar dari ahli penggiat di alam terbuka, Collin Mortlock  mengungkapkan bahwa ada empat kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh penggiat dialam terbuka yaitu kemampuan teknis, kebugaran fisik,  kemanusiawian, dan terakhir adalah kemampuan dalam memahami lingkungan. (13.0258.58) variasi medan pendakian Argopuro

1329381098697832282
1329381098697832282
savana, bakal sering ketemu medan seperti ini
1329381354693283437
1329381354693283437
Cikasur
1329381449911600283
1329381449911600283
nyasar..........
13293815821997725143
13293815821997725143
13293815171975523462
13293815171975523462
puncak rengganis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun