Mohon tunggu...
Irwan Winardi
Irwan Winardi Mohon Tunggu... Pengangguran Terang-terangan -

nothing to report

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Pemakan Sampah Harus Jadi Juri Masterchef #2

6 Agustus 2015   11:35 Diperbarui: 7 Agustus 2015   07:31 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menyambung artikel sebelumnya....

Gara2 acara sampah Masterchef dengan juri alay dan lebay pemakan sampah dan sendal jepit,  hancur lebur berantakan pendidikan dan pengajaran terhadap anak-anak untuk menghargai makanan dan juga menghormati pemberian. 

Tak lama setelah lebaran kemarin seorang anak dengan percaya dirinya saat disuguhi hidangan lebaran berkata "ini makanan atau sampah"  meniru-niru omongan sampah dari manusia pemakan sampah Mateo. Ternyata kelakuan anak tersebut gak jauh beda dengan ortunya yg mungkin penggemar acara sampah Masterchef.  Ortu tersebut meminta dibuatkan kopi,  tuan rumah menghidangkan kopi tersebut,  kopi tersebut memang kurang kental sesuai dengan selera tuan rumah,  namun apa kata si tamu katanya kopi tersebut seperti kencing kuda,  sudah dikasih gratis,  dibuat kan pula,  omongannya seperti septictank.  

Dengan logika sederhana saja bisa disimpulkan bahwa juri Masterchef adalah pemakan sampah dan sendal jepit,  karena hanya orang yang biasa makan sampah bisa membandingkan sampah dengan makanan.  Hanya orang yang pernah makan sendal jepit menyamakan rasanya dengan makanan.  Orang yang biasa minum air kencing kuda akan tahu rasa air kopi yang rasanya seperti air kencing kuda. Bagi yang belum pernah makan sampah atau senda jepit atau air kencing kuda,  sudah pasti takan bisa melakukan perbandingan seperti itu.  

 Di suatu restoran Jepang yang terkenal mahal dan elit,  yang mana hanya orang kaya saja yg bisa jadi pelanggan di restoran tersebut. Namun suatu hari datanglah seorang berpakaian lusuh bersama keluarganya yang dikenal sebagai pemulung yg miskin memesan menu istimewa restoran tersebut yang harganya mahal di restoran tersebut.  Pelayan restoran agak memandang sebelah mata,  lalu menyampaikan pesanan tersebut kepada pemilik restoran tersebut,  ketika pemilik restoran tahu siapa yg menu mahal tersebut adalah orang miskin yang bukan langganannya,  pemilik restoran menyambut keluarga miskin tersebut seakan tamu paling istimewa dan secara pribadi melayani mereka.  Keluarga miskin tersebut bahkan diberi pelayanan istimewa melebihi pelanggan kaya restoran tersebut.  Pelayan restoran bertanya mengapa justru keluarga miskin yang bukan pelanggan justru lebih diutamakan? Itulah SURI AWASE,  orang miskin tersebut jarang mendapat kesempatan untuk bisa menikmati menu istimewa tersebut,  mungkin mereka telah menabung hanya untuk menikmati menu mahal tersebut,  kemungkinan lain mereka pun sengaja memesan menu tersebut untuk acara istimewa keluarga tersebut hingga mereka sudah pasti akan lebih menghargai menu istimewa tersebut dibandingkan pelanggan kaya yg sudah biasa dengan menu tersebut,  bagi seorang pemilik restoran dan juga juru masaknya hadirnya keluarga miskin tersebut hingga harus berkorban hanya untuk menikmati menu yang mereka hidangkan adalah suatu penghargaan yg tinggi.  

Menjadi juru masak tidaklah semudah bacot Mateo,  diperlukan ilmu dan rasa. Adanya sekolah memasak membuktikan bahwa memasak adalah merupakan cabang ilmu tersendiri.  Tentu saja dengan didirikannya sekolah formal di bidang memasak salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan harkat dan martabat profesi juru masak yang mana profesi juru masak dianggap profesi hanya untuk hamba sahaya budak belian,  namun rupanya acara Masterchef sepertinya bertujuan untuk mengembalikan derajat jurumasak kembali setara anjing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun