Di tengah hutang luar negeri yang semakin membengkak, kemiskinan rakyat yang tak kunjung usai, nilai tukar rupiah terhadap USD yang masih lemah dan daya beli masyarakat yang menurun, Pemerintah indonesia justru menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 42 Tahun 2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas lainnya bagi Pimpinan, Pejabat, dan Pegawai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Total hak keuangan dari seluruh pihak yang ada dalam struktur BPIP bisa mencapai Miliyaran Rupiah/bulannya.
Pemerintah dalam hal ini menilai bahwa angka pengeluaran negara yang digelontorkan untuk membiayai seluruh pihak yang ada dalam BPIP sebagai suatu hal yang wajar. Hal ini didasarkan pada pandangan pemerintah dalam melihat tanggungjawab dan kerja BPIP yang dianggapnya sulit serta posisinya yang strategis karena setingkat dengan kementerian.
BPIP memiliki tugas yang tertuang dalam BAB III pasal 3 dan 4 yang intisarinya adalah bahwa BPIP harus mampu menjadi navigator pemerintah dalam hal menciptakan suatu kebijakan dan juga BPIP harus mampu mensosisalisasikan ideologi Pancasila ke generasi muda melalui instrumen Pendidikan.
Jika dilihat dari realitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan benegara kita hari-hari ini, Sebenarnya, tugas pokok dan fungsi BPIP tidaklah mampu menjawab persoalan kehidupan rakyat yang masih banyak diantaranya hanya berpenghasilan Rp.11.000/hari. Alasan mendasar mengapa BPIP tidaklah efektif dan efisien untuk menjawab permasalahan kerakyatan adalah karena fungsi dari BPIP bukanlah sebagai suatu badan independen yang bertugas untuk mendorong pemerintah mengimplemtasikan butir-butir nilai yang ada dalam Pancasila.
Secara harafiah, kata "PEMBINAAN" dalam BPIP bermakna suatu perbuatan membina dimana sifat dan karakteristik dalam membina tidak bersifat instruksional dan harus langsung dijalankan, melainkan bersifat optional dan arahan. Dalam hal ini BPIP tidak memiliki wewenang untuk memaksa atauapun mendorong pemerintah dalam rangka mengimplementasikan Pancasila secara nyata dan utuh.
Oleh karena itu wajar saja bila tidak ada satu kalimat pun di dalam pasal 3 ataupun 4 yang secara eksplisit ( jelas dan terang ) menunjukan tugas BPIP sebagai pihak yang berhak dan berwenang bahkan memiliki kekuatan untuk memposisikan pemerintah agar berpegang teguh pada Pancasila melalui kebijakan-kebijakan yang pro kepada rakyat, bukan kepada asing seperti sekarang ini.
Oleh karena itu, BPIP dapat dikategorikan sebagai produk gagal dari hasil kedangkalan berfikir pemerintah dalam melihat substansi permasalahan di indonesia. Yang lebih menyedihkan lagi, pemerintah saat ini seperti sedang berupaya membangun opini publik dengan mengkampenyakan bahwa kehadiran BPIP adalah sebagai obat penangkal terorisme atau radikal yang hendak mengganti ideologi Pancasila.
Sangat ironis, Pancasila yang begitu luhur dan agung sebagai falsafah juga sebagai pedoman kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara hanya dijadikan sebagai alat untuk sosialisasi suatu paham anti-pancasila layaknya iklan di seleberan yang bernilai rendah. Selain itu, perlu disadari juga bahwa Pemerintah kerap kali "memframing" fanatisme agama dan primordialisme sebagai faktor utama dan menjadi penyebab lahirnya kelompok terorisme yang ada di indonesia.
Secara tersirat, Pemerintah hari ini ingin memberikan gambaran kepada khalayak publik melalui media massa yang dikuasainya bahwa bukanlah "KEMISKINAN" yang menjadi permasalahan fundamental bangsa dan negara indonesia, melainkan "TERORISME" atau "KELOMPOK RADIKAL" yang dianggapnya berupaya ingin menerapkan ideologi selain Pancasila..
Pemerintah berkamuflase, bahwa sebenarnya embrio dari terorisme atau kelompok separatis adalah kemiskinan. Rumor yang selama ini masuk ke dalam pergaulan hidup sehar-hari mengenai terorisme berkaitan dengan fanatisme agama adalah suatu kebohongan. Karena bom bunuh diri yang selama ini terjadi di berbagai wilayah indonesia pada dasarnya tidak dibenarkan oleh ajaran agama manapun khususnya islam.
Permasalahan isi perut menjadi persoalan hidup dan mati yang dapat memberikan dampak psikologis serta emosional kepada seseorang sehingga seseorang itu dapat melakukan hal apa saja sebagai bentuk protes terhadap kekuasaan yang tak adil.