Mohon tunggu...
Pangat Muji
Pangat Muji Mohon Tunggu... -

Mendidik generasi masa depan agar selalu ingat Moral, Tanggungjawab, Kontribusi kepada Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gurita Cikeas: Dejavu TAP MPR

29 Desember 2009   02:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:44 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu hari di tahun 1998 di suatu kota di Scandinavia, seseorang bangsa awak memasuki toko souvenir. Anda dari mana? Dari Indonesia. Wow. President Soeharto, Mr.Ten Percent. (Menyeringai kecutlah orang itu).

TAP MPR (th.2001, ..?)memerintahkan Presiden atau Pemerintah untuk menuntaskan KKN mantan Presiden Soeharto dan keluarganya.

Ketika Soeharto meninggal dunia, seolah semuanya diampuni dan segala persoalan menyangkut TAP MPR yang itu dikubur dalam-dalam. Harta rakyat yang dikuasai KKN pak Harto dan keluarganya, KKN Golkar seolah adalah ongkos balas budi rakyat Indonesia atas kepemimpinan pak Harto dan Golkar. Seolah tidak ada Soeharto dan Golkar, tidak ada hari ini bagi bangsa Indonesia.

Utang LN hasil karya pemerintahan Orde Baru Soeharto (termasuk utang ke Freeport (ya, utang ke Freeport), ke pengeksploitasi pertambangan Multi National dan Trans National Corporation/ MNC-TNC asal AS) masih jalan dan setiap saat jatuh tempo pembayaran cicilan, RI selama ini hanya mampu mencicil bunga-nya saja. Rakyat yang membayarnya, Negara yang membayarnya, bukan Pemerintah. Pemerintah tidak membayar pajak.

Salah satu tugas seluruh penyelenggara Negara adalah mengusut dan mengembalikan semua harta Negara yang telah dijarah oleh banyak pihak di jaman Orde Baru, jaman Presiden BJ Habibie, jaman Presiden Gus Dur, Presiden Megawati, Presiden SBY. Gejala-gejala KKN dicarikan dasar hukum sampai tahap mana boleh dan tidak boleh. Sampai di mana keperluan pengumpulan dana taktis diperbolehkan.

Saat ini saluran mana yang akan kita pakai untuk memulai melaksanakan salah satu tugas itu tanpa polusi kepentingan? DPR relatif sulit karena koalisi yang direncanakan untuk memperkuat Pemerintah, MPR ketuanyapun hasil restu dan rencana  SBY (membuat Megawati skak-mat dan PDIP serba salah), Yudikatif lemah karena tunduk kepada SBY (MA yang pendiam, MK jempol tapi menunggu dan menunggu, setelah kasus Anggodo, kemungkinan tdk akan dikasih kerjaan lagi). Komisi-komisi yang bernama bagus-bagus di bawah kendali Presiden, yang sarat akan resiko dilemahkan sendiri setiap waktu, tergantung kepentingan sempit sesaat). Satu-satunya tinggal Pers, tapi jangan khawatir ada Menteri urusan itu yang siap disuruh apaaaa saja. Ada yang salah dengan keadaan Negara saat ini karena manipulasi pihak (pemenang pemilu) yang berniat (dan sudah?) menelikung 3 pilar penyelenggara Negara.  Serta upaya menguasai Pers dengan ombang-ambing isu-isu yang berkepanjangan. Semuanya malahan memiliki tugas pertama mengamankan seluruh aspek jarahan dan manipulasi hasil KKN era Orde Baru, dengan metode bertujuan agar dilupakan, dilupakan, dilupakan.

Ujian besar saat ini bagi media cetak dan elektronik. Media cetak dan elektronik nasional sebagian besar dikuasai kader Golkar (Metro TV dan korannya, TV One), residu Orde Baru (RCTI,SCTV,Indosiar,AN TV) , di Indonesia bagian Tengah dan Timur dikuasai teman SBY yang baru jadi Dirut PLN. Masih adakah yang masih berusaha menyuarakan Amanat Penderitaan Rakyat (saya ulang lagi: Cukup Pangan, Cukup Kebenaran (Kemanusiaan/Keadilan), Cukup Kesehatan).

Gurita Cikeas adalah dejavu kejadian upaya pembungkaman pers agar satu irama dalam orkestra SBY dan Partai Demokrat. Sumpah Pemerintah RI adalah : Saya berjanji akan selalu setia pada UUD 45..........Hal-hal yang terkait dengan eksploitasi alam oleh MNC/TNC sudah pasti melanggar UUD 45. Demi ketakutan akan AS, semua pemerintahan telah melanggar UUD 45. Ketika kepentingan citra pribadi, golongan, partai, keluarga, melangkahi hak-hak rakyat tanpa ijin aspek hukum, maka semua pemerintahan telah melanggar UUD 45. Contoh kasus sudah terlalu banyak terjadi dan banyak reportasenya terutama di majalah Tempo.

Ekonomi nasional memiliki makna penyesatan pada realitanya karena hanya hitungan rata-rata atas standar Jakarta terhadap internasional. Ekonomi pada bangsa yang masih bermental kolonialisme ini (semuanya apa kata Jakarta) masih jauh dari makna ekonomi (pemberdayaan) rakyat. kredit-kredit dari bank-bank pemerintah dan swasta masih pelit untuk kredit usaha rakyat menengah ke bawah, sementara bail-out dari BI bernuansa perampokan bak air bah digelontorkan demi kepentingan pribadi, golongan, partai. Pelanggaran berat akan UUD 45 sudah terjadi. Lagi, lagi, lagi.

Kecuali.........mamang ada gerakan perubahan UUD 45 untuk diselewengkan menjadi kepentingan pribadi dan golongan di atas kepentingan rakyat.

Gurita Cikeas adalah dejavu. Apabila Korupsi, KKN, manipulasi kekuasaan adalah musuh AMPERA, posisi Anda sekalian yang terhormat sudah jelas ada di mana dalam perjalanan hidup berbangsa Indonesia. Republik (ingat: Res + publica ,Raja-nya adalah Rakyat) Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun