Memang sekarang ini jamannya sudah sangat berubah. Dilihat dari perkembangan Teknologi, Budaya, begitu juga Perpolitikan. Dulu pemimpin dipilih berdasarkan Ide dan Gagasannya, Visi Misinya, Latar Belakang pendidikannya. Ketika kriteria tersebut menjadi tolak ukur utama pada proses pemilihan pemimpin, maka pemimpin yang muncul sekelas Sukarno, Hatta, Syahrir, Natsir, Habibie mungkin juga Gus Dur, Pak Harto bahkan juga SBY.Â
Tetapi, hari ini sudah sangatlah jauh memudar. Pemimpin muncul dari berbagai lapisan atau lini lini kehidupan. Mulai dari artis, penyayi, pelawak, fotonya muncul di kertas suara pada pemilu. Ide, gagasan, latar belakang pendidikan bukanlah yang utama melainkan ketenaran, jumlah follower, dan yang paling menyedihkan adalah kekuatan orang dibelakang nya yang mempunyai kepentingan. Maka, mereka mendukung calonnya dengan dalih semua kepentingan nya akan mulus terlaksana jika calon yang mereka dukung menang dalam pemilu.Â
Pada pemilihan kepala daerah, khusunya di daerah jawa timur, masih sangat kental seki aroma dukungan orang dibalik layar dengan memakai kekuatan semi "Feodalistik".
Kekuatan " Feodalistik" Inilah yang bekerja secara gerilya demi untuk memenangkan calon-calon yang mereka dukung.Â
Hal ini sedang terjadi di Lumajang. Petahana memilih berpisah dan bersaing untuk berebut kekuasaan, masalah terjadi pada pemilihan calon wakilnya. Kedua pasangan calon agaknya lebih memilih kekuatan dibalik layar untuk memenangkan kontestasi dari pada memilih wakil berdasarkan Ide gagasan dan latar belakang pendidikannya. Hal tersebut sangatlah kentara di pasangan dengan warna dominan merah. Latar belakang pendidikan, pengalaman organisasi, pekerjaan sangatlah jauh dengan pasangan lain. Kekuatan otot dan logistik kah yang dipilih?? Teruntuk warga Lumajang, pilihlah secara bijak dan cerdas. Salam.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H