Dalam hidupku, ada dua sosok yang menjadi pilar kebijaksanaan, mengalirkan warisan tak ternilai yang menembus relung hatiku. Pekak Jiwa, bapak dari ibuku, adalah penjelmaan cinta yang tulus, sabar, dan bijak. Dari masa kecilku, ia mengajarkanku tentang romantika kehidupan yang sederhana namun penuh makna. Setiap sore, ia menggandengku, menggendongku melewati jalan setapak menuju pantai. Kami mencari ikan, sembari ia berbicara lembut tentang kehidupan, tentang melakukan yang terbaik tanpa pamrih.Â
Dalam dekapannya, aku merasakan cinta yang murni. Kini, usiaku bertambah, dan mereka sudah menggendong anakku, mengenang setiap langkah yang pernah kami lalui bersama. Pekak Jiwa, yang hampir berusia seratus tahun, tetap sehat, dan setiap kali aku melihatnya, aku tahu bahwa kekuatan sabarnya telah menyusupi jiwa ini.
Di sisi lain, Kaki Sarna, bapak dari bapakku, adalah nyala semangat yang tak pernah padam. Ia sosok yang teguh, penuh dedikasi, dan tak kenal lelah. Setiap pagi dihari libur sekolah, saat embun masih menyelimuti sawah, aku berjalan bersamanya. Kami mengusir burung "Mepuah" dari padi yang sedang menguning, memotong rumput untuk ternak.Â
Dari tangan kasarnya yang tak pernah mengeluh, aku belajar arti kerja keras yang sesungguhnya. Keringat yang mengalir dari keningnya adalah simbol dedikasi, tekad, dan ambisi. Ia mengajariku bahwa hidup penuh tantangan, namun dengan ketekunan, segalanya bisa dihadapi.
Kepada kedua kakekku, Pekak Jiwa dan Kaki Sarna, aku sampaikan terima kasih yang tak terhingga. Hidup ini mungkin berat, penuh liku, tapi berkat mereka, aku telah diajarkan cara mengarunginya dengan penuh cinta, kerja keras, dan kesabaran yang tak berbatas. Semoga Tuhan senantiasa memberikan kesehatan dan umur panjang bagi mereka, agar aku terus bisa belajar lan nyalanang swadarma memadi jadma.
Pengastulan, 2/Okt/2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H