Gereja secara umum merupakan kumpulan atau persekutuan orang-orang percaya yang telah dipanggil keluar oleh Allah untuk menjadi umat milik-Nya dan diutus untuk menghadirkan Kerajaan Allah di dalam dunia (Aritonang, 2009: 5). Gereja sering dimaknai sebagai sebuah lembaga atau institusi yang terdiri dari persekutuan orang-orang percaya di mana Allah di dalam Yesus Kristus adalah sebagai pemimpinnya. Masih banyak sekali pemaknaan akan gereja itu sendiri. Namun pada intinya, terbentuknya suatu gereja tidak lepas dari karya tangan Tuhan sendiri.
Gereja tentu tidak bisa dilepaskan dengan kegiatan-kegiatan peribadahan sebagai sarana untuk memelihara pertumbuhan iman jemaat, meski setiap denominasi gereja memiliki tata cara dan aturan masing-masing dalam proses pelaksanaannya. Terlepas dari tata cara atau aturan-aturan gereja tersebut, khotbah tetap menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan, terkhusus dalam ibadah-ibadah "wajib", seperti ibadah Minggu. Pada aliran Protestan, khotbah dipandang sebagai bagian paling penting dalam peribadahan. Bahkan Calvin memahami bahwa pemahaman akan Alkitab dapat memberikan pengetahuan tentang Allah, sehingga ia juga memahami khotbah sebagai kombinasi antara isi Alkitab dan pemahaman pokok iman yang bertujuan untuk memberikan pengajaran kepada jemaat (Aritonang, 2016: 11-12). Khotbah juga bertujuan untuk memelihara dan mempertahankan iman jemaat terhadap ancaman-ancaman yang terjadi (Rothisberger, 2013: 34).
Melihat dalamnya makna dari aktivitas khotbah tersebut menjadi semakin jelas bahwa ada tanggung jawab yang sangat besar, yang harus dibawa oleh seorang pengkhotbah. Ia bukan seekor burung merpati pengantar pesan pada zaman Mesir Kuno dan zaman Romawi pada ribuan tahun yang lalu, yang hanya tahu arah mana yang akan dituju, tanpa tahu apa makna dan isi pesan yang disampaikan oleh tuannya. Sehingga dalam hal ini kemampuan public speaking saja tidak cukup untuk menjadi modal sebagai seorang pengkhotbah. Sebagai orang pertama yang berjumpa dengan teks Alkitab dan penafsirannya, ia harus benar-benar memahami dan memaknai isi pesan Tuhan dalam Alkitab sebelum disampaikan kepada jemaat atau pendengar. Oleh karena itu pengkhotbah harus serius dalam proses penyusunan narasi khotbah yang akan ia sampaikan, bukan hanya serius dalam memilih model penafsiran, tetapi juga serius dalam merenungkan Firman tersebut secara pribadi.
Tidak cukup sampai di situ, seorang pengkhotbah harus menyadari bahwa ia dipanggil sebagai pelaku Firman. Ada seorang yang pernah berkata bahwa, "khotbah baru dimulai saat sang pengkhotbah turun dari mimbar". Ini berarti bahwa khotbah tidak cukup disampaikan hanya di atas mimbar saja, tetapi juga dalam tingkah laku pengkhotbah di dalam kehidupannya. Hal ini juga memberi pengertian bahwa jemaat akan lebih mengerti kehendak Tuhan ketika mereka melihat kehidupan sang pengkhotbah. Oleh karena itu sangat penting bagi pengkhotbah untuk hidup dalam kekudusan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H