Mohon tunggu...
Pandu Maulana
Pandu Maulana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum Universitas Islam Indonesia

Berdikari

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Manusia Jawa yang 'ojo ilang jawane'

2 Juli 2023   03:46 Diperbarui: 2 Juli 2023   22:15 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jepretan Kamera Penulis

Tak jarang pula kita mendengar kalimat “wong Jawa ojo ilang Jawane” yang diartikan dalam bahasa Indonesia memiliki arti orang Jawa jangan hilang Jawanya. Kalimat tersebut seringkali terlintas dalam media sosial apabila ada konten tentang praktik masyarakat Jawa yang sedang melakukan tradisi seperti larung sesaji, grebeg suro, jamasan pusaka/mencuci pusaka pada bulan tertentu, dan lain-lain. Lantas apa hubungan kalimat “wong Jawa ojo ilang Jawane” dengan manusia Jawa?

Degradasi nilai masyarakat Jawa

Selain hal diatas, kalimat “wong Jawa ojo ilang Jawane” seringkali digunakan sebagai anonim dari kalimat “wong Jawa ilang Jawane” yang berarti orang Jawa sudah hilang jati dirinya sebagai orang Jawa. Kalimat tersebut pada zaman dahulu adalah pepatah yang mengingatkan orang Jawa agar tidak lupa jati dirinya, namun pada zaman sekarang kalimat itu lebih digunakan untuk menampar seseorang akan perilakunya yang sudah kehilangan jati dirinya. Orang  Jawa adalah seseorang yang dikenal memiliki sopan santun, andhap asor, ramah tamah, berjiwa komunal, suka srawung/ bersilaturahmi. 

Lantas bagaimana sekarang? Apakah manusia yang seperti itu masih banyak ditemukan atau hanya ditemukan dalam wilayah tertentu seperti pedesaan? 

Tentunya degradasi nilai-nilai manusia Jawa sendiri dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, namun pada tulisan ini yang difokuskan adalah pengaruh globalisasi yang begitu masif menyebabkan pemuda Jawa meninggalkan jati dirinya. Kemajuan peradaban di era globalisasi ini sangat berpengaruh besar bagi kehidupan dan menjadi suatu pelopor dalam globalisasi, yang mana menurut Robertson (1992, dalam Agustin 2011) era globalisasi merupakan era bersatunya masyarakat dunia dalam segi gaya hidup, orientasi dan budaya

Tentunya globalisasi ini dapat kita katakan adalah produk dari barat yang terkenal akan budaya individualisme, gaya hidup bebas, dan beberapa budaya yang berlawanan terhadap nilai-nilai kearifan budaya Jawa. Kemajuan teknologi dan modernisasi dalam segala aspek membuat daya saing budaya Jawa mulai terkikis, banyak pemuda yang membanggakan hiphop hingga melupakan kesenian jaranan, pemuda yang memakai pakaian yang bisa dikatakan sobek-sobek daripada hanya menyimpan baju lurik dalam lemarinya, pemuda yang menyukai pizza daripada jajan klepon yang lumer ketika digigit. Bukan hanya itu, yang lebih menjadi perhatian adalah pemuda Jawa sekarang banyak yang tidak memiliki sikap sopan santun terhadap orang yang lebih tua, berbicara kasar dan kebarat-baratan, dalam kesehariannya bersikap individualis dan apatis terhadap lingkungan bahkan terhadap tetangga rumahnya pun tidak saling kenal.

Menjadi orang Jawa seutuhnya

Suatu bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai budayanya” 

Jika kita orang Jawa maka harus menunjukkan identitas kita sebagai orang Jawa, jika kita orang betawi maka kita harus menunjukkan identitas sebagai orang Betawi, begitu seterusnya. Nilai-nilai masyarakat Jawa disini dapat ditingkatkan melalui beberapa hal antara lain menggunakan bahasa Jawa. Menurut Ipung (2011, dikutip dari Kompasiana) Adanya faktor dari pemuda sendiri yang merasa malu dalam menggunakan bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari, faktor keluarga yang kurang melestarikan budaya Jawa dan mendidik anaknya menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari, faktor sekolah yang hanya sedikit mengalokasikan waktunya untuk mata pelajaran bahasa Jawa, serta faktor pemerintah yang kurang memperhatikan pelestarian bahasa Jawa. 

Selain itu, pelestarian budaya juga menjadi salah satu faktor penting yang menunjukkan identitas seseorang khususnya orang Jawa. Adanya praktik budaya seperti pentas kesenian, upacara-upacara adat dapat diikuti oleh masyarakat khususnya pemuda agar kelestariannya tetap terjaga.

Dalam pelestarian kebudayaan, pemerintah juga memiliki peranan penting didalamnya yaitu mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang mengarah pada upaya pelestarian kebudayaan nasional. Pemerintah juga dapat lebih memusatkan perhatiannya pada pendidikan muatan lokal dan pemuda yang diberikan suatu wadah untuk meningkatkan kreatifitas. 

Sebelum menutup tulisan ini, saya berpesan kepada para pembaca  “Gunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, pelajari bahasa asing, tetapi tetap lestarikan budayamu” silakan pembaca mempelajari apapun itu, tapi jangan sampai lupa akan budayamu. Tentunya sebagai pemuda berbagai cara dapat dilakukan dalam melestarikan budaya, namun yang paling penting adalah menumbuhkan kesadaran serta rasa memiliki akan budaya tersebut, sehingga dengan rasa memiliki serta mencintai budaya sendiri orang akan termotivasi untuk mempelajarinya sehingga budaya akan tetap terjaga karena pewaris kebudayaannya akan tetap ada.

Berdikari

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun