Mohon tunggu...
Pandu Lanang Turonggo Jati
Pandu Lanang Turonggo Jati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Renewable Energy Enthusiast

Electrical Engineering Student

Selanjutnya

Tutup

Nature

Transisi Energi untuk Mendukung Penanggulangan Perubahan Iklim? Merupakan Kenyataan Atau Hanya Sekadar Angan-Angan?

19 Februari 2022   00:02 Diperbarui: 19 Februari 2022   00:10 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://unsplash.com

Transisi Energi bukan menjadi suatu yang awam bagi segilintir masyarakat. Komitmen Indonesia dalam melakukan upaya transisi energi sudah banyak terdokumentasikan. Melihat Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang menetapkan target bauran energi baru terbarukan (EBT) di tahun 2025 sebesar 23% dan 31% di tahun 2030 membuat banyak yang bertanya-tanya. Apakah Indonesia mampu? Target bauran EBT yang ditargetkan untuk tahun 2025 masih jauh dari kata "terlampaui". Target realisasi EBT sampai saat ini hanya baru mencapai sekitar 12,73%, sedangkan tahun 2025 hanya tinggal 3 tahun lagi. Apakah semua target-target itu menjadi kenyataan? Atau hanya sebuah angan-angan?

Mengutip pernyataan dari Surya Dharma selaku Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) menyatakan bahwa negara kita masih amat bergantung dengan energi fosil. Walaupun konsumsi energi berbahan bakar fosil mengalami penurunan setiap tahunnya. Begitu pula dengan target penambahan kapasitas pembangkit listrik EBT, yang baru terealisasi sekitar 77% di tahun 2021. Namun, terdapat peningkatan yang terjadi pada target penurunan emisi Gas Rumah Kaca yang tadinya hanya mentargetkan penurunan emisi sebesar 67 Juta Ton CO2e, tetapi melebihi target sekitar 104% atau sekitar 69,5 Juta Ton CO2e. Tidak hanya itu, TKDN di sub sektor EBTKE juga banyak mengalami peningkatan seperti, pada PLTA sebesar 76,71%, PLTP sebesar 38,97%, dan PLTBio sebesar 57,75%. Dari capaian-capaian yang terjadi, ini menjadi titik terang dari sebuah mimpi dalam pergerakan transisi energi di Indonesia.

Melihat target kinerja pada subsektor EBT di tahun 2022, Indonesia cukup memiliki target yang optimis. Walaupun, peningkatan pada porsi bauran energi hanya berkisar 4,2% saja dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tetapi, ini merupakan upaya yang sudah sangat luar biasa untuk menjadi sebuah gerakan awal untuk melakuakan transisi energi. Upaya ini tidak hanya berpacu pada satu target saja. Tetapi, ada beberapa sektor yang juga ikut andil dalam proses bauran energi ini.

Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) menjadi salah satu pusat perhatian dalam pergerakan dari transisi energi ini. Melihat potensi energi surya yang ada di Indonesia, yakni sekitar 112.000 Gwp atau sekitar 4,8 KWh/m2, ini menjadi suatu peluang untuk melakukan percepatan dari transisi energi. PLTS merupakan suatu pembangkit listrik yang terbilang cukup sederhana dalam masalah pemeliharaan dan tidak perlu mengeluarkan biaya yang sangat besar dalam melakukan perawatan. Tetapi, terdapat berbagai macam masalah yang ditimbulkan dari pemakaian PLTS ini. Salah satunya adalah sifat PLTS yang intermittent yang artinya tidak selalu ada ketika diperlukan, sehingga energi yang dihasilkan tidak stabil. Ini masih menjadi suatu permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Dari permasalahan ini, banyak para ilmuan yang sedang mencari solusi agar PLTS ini menjadi suatu pembangkit yang sifatnya base load atau pembangkit listrik yang bisa bekerja selama 24 jam penuh.

Selain itu, terjadinya percepatan transisi energi ini juga tidak lepas dari yang namanya penanggulangan perubahan iklim. Indonesia sudah sepakat dengan perjanjian Paris atau yang biasa disebut dengan Paris Agreement di tahun 2015, bahwa Indonesia berupaya dalam menjaga kenaikan temperatur bumi pada 1,5 derajat celsius, atau tidak melebihi dari 2 derajat celsius. Beberapa aksi mitigasi yang dilakukan Indonesia dalam penanggulangan dari perubahan iklim ialah dengan melakukan pergantian budget subsidi untuk kegiatan produktif (infrastuktur), lalu 23% kontribusi EBT dalam bauran energi nasional pada tahun 2025, dan melakukan konversi waste to energy. Dari berbagai mitigasi yang dilakukan, ini dapat menanggulangi atau memitigasi bencana yang bersumber dari perubahan iklim.

Selain itu, Indonesia juga tidak main-main dalam melakukan perubahan kebijakan di sektor energi. Berbagai kebijakan baru telah muncul dalam mendukung proses dari peningkatan bauran energi. Telah terbit beberapa regulasi dan standar sub sektor EBTKE, diantaranya adalah 5 peraturan Menteri, 13 SNI, dan 1 SKKNI pada tahun 2021. Serta masih banyak regulasi yang menjadi prioritas dan standar subsektor EBTKE, salah satunya adalah RUU mengenai Energi Baru dan Terbarukan. Ini merupakan bukti dukungan dari pemerintah dalam upaya percepatan transisi energi.

Dalam menuju Net Zero Emission di tahun 2060, pemerintah sudah melakukan segala upaya untuk melakukan percepatan dari transisi energi. Mulai dari Retirement PLTU secara bertahap, melakukan percepatan pembangunan EBT terutama Pembangkit Listrik Tenaga Surya dan Angin, pemanfaatan teknologi yang lebih efisien, mendorong penggunaan kendaraan listrik dan kompor listrik, serta penerapan Smart Grid untuk mengatasi VRE (Variable Renewable Energy). Semua sudah diupayakan, tetapi apakah semua yang sudah kita lakukan dapat berjalan dengan mudah? Apakah ini semua akan menjadi kenyataan? Atau ini semua hanya sebuah angan-angan? Kita lihat saja di beberapa tahun berikutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun