Mohon tunggu...
Pandu Kurniawan
Pandu Kurniawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Ruang yang tepat untuk menuangkan gagasan dalam tulisan. Scribo, ergo sum...!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Manusia Mendegradasi Agama

10 Agustus 2021   16:30 Diperbarui: 10 Agustus 2021   17:20 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : qureta.com dan mrdhan.wordpress.com

Agama yang dilembagakan, memberikan legitimasi nilai yang hendak diperjuangkan sesuai dengan ajaran ”Yang Maha” yang mereka elu-elukan itu. Maka, konsekuensinya - ini hanya asumsi spekluatif saya saja -, mungkin bagi mereka yang ingin  memperjuangkan nilai-nilai secara radikal sebagaimana yang telah diperjuangkan oleh Nabi Muhammad, maka mereka akan memilih agama Islam sebagai tempat mereka melabuhkan iman. 

Dan, bagi mereka yang merasa bahwa Yesus adalah jalan keselamatan, tentu mereka akan masuk ke dalam komunitas Kristen atau Katolik. Sedangkan, mereka yang mendambakan keharmonisan antara manusia, alam, dan makhluk ciptaan lainnya sebagai bentuk ungkapan religius, agama Budha, Hindu, ataupun Konghucu menjadi pilihan yang sangat tepat.

Ketiga, agama sebagai identitas personal. Identitas personal lebih berurusan pada hal yang lebih sublim. Ajaran agama yang dijalankan oleh umat atau jemaatnya, mampu mengubah diri secara personal sehingga membentuk identitas yang lebih personal. Kuncinya ada pada refleksi yang mendalam terhadap wahyu Allah dan diimplementasikan ke dalam tindakannya sebagai manusia. Seorang preman bisa menjadi bertobat dan berubah menjadi pendakwah. Bahkan, tak jarang orang yang tidak kenal sebelumnya bisa menilai kita dengan mencap menganut agama tertentu karena tercermin dari gerak-gerik dan tindakan kita.

Men-dekonstruksi Agama

Bagi seorang Michel Foucault, seorang filsuf post-strukturalis, agama merupakan sebuah pilihan. Setiap manusia dengan penuh kesadarannya memiliki daya untuk memilih, tanpa paksaan. Inilah pilihan murni. Bukan kondisi keharusan. Bukan pemberian secara determinan. Bahkan, bukan sesuatu yang dilekatkan kepada manusia pada saat ia lahir. 

Lebih lanjut, lewat pemikiran lainnya dari kacamata Jacques Derrida, justru mengajak saya untuk mendekonstruksi ulang pemikiran saya terhadap agama. Lepas dari ajaran-ajaran yang ilahi dan segala pengalaman rohani mengenai keagungan Tuhan di dalam agama saya, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab dan seringkali terbuka untuk diperdebatkan. 

Terhadap hal itu biasanya agama saya membungkusnya dalam sebuah istilah yang mendamaikan yaitu “Misteri”. Memikirkan ulang terhadap agama membuat saya menemukan arti “Kebebasan”. Bebas untuk menentukan pilihan hidup. Namun, apa yang menjadi paradoks adalah bahwa kebebasan ini terkurung di dalam ruang determinisme. Ada hal yang tak terelakkan dan menjadi keharusan. Biasanya muncul dari agama.

Melalui kebebasan itu, seseorang berusaha untuk membuka ruang misteri yang belum terungkapkan. Meskipun sebetulnya mereka tidak mengharapkan dihadapkan pada ruang misteri tersebut, namun itu muncul karena ketidaktahuan dan keterbatasan manusia dalam mengungkap sesuatu yang berasal dari “Yang Maha”, yang Transenden. Misteri ini ada secara ontologis dan berdampingan dengan pengalaman hidup manusia.

 Konsekuensi yang harus dihadapi adalah, manusia berhadapan dengan banyak kebebasan “yang lain” (Liyan) dengan segala budayanya masing-masing. Sangat dimungkinkan bisa saling berlawanan. Dan, di sinilah titik persinggungan itu muncul sebagai ruang problematika agama.

Manusia adalah Homo Ludens, kata Johan Huizinga. Manusia bermain. Ini merupakan naluri dasariah seorang manusia. Bermain menciptakan sebuah proses yang disebut kreativitas. Melalui agama, manusia sesungguhnya ingin menunjukkan kekreativitasannya, yaitu menemukan identitas diri yang baru melalui jalur yang dipilihnya, yaitu sebagai manusia agama. Manusia berupaya menciptakan diri yang baru dalam konstruksi agama. Resikonya, dia harus berhadapan dengan dengan dogma, Kitab Suci, moral dan hukum, teologi, dan institusi yang diterima secara tekstual. 

Di sinilah aturan selalu ada dalam permainan. Masalahnya, aturan dalam setiap permainan yang satu dengan lainnya seringkali berbeda. Peraturan agama A berbeda dengan peraturan agama B, C, D, dan lainnya. Kesalahan mendasar dalam ruang problematika beragama adalah cara memahami makna permainan. Dalam setiap permainan, apa yang dipahami adalah mencari kemenangan. Tak jarang, demi memamerkan piala kemenangan itu, segala macam cara dilakukan, kalau perlu cara curang dilakukan yaitu dengan membuat aturan sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun