Mohon tunggu...
ieda poernomo
ieda poernomo Mohon Tunggu... -

pemerhati perilaku masyarakat, fokus pada upaya pemberdayaan masyarakat dan pengembangan harga diri sebagai bangsa dan negara, menulis artikel, cerpen, buku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ternyata Masih Balita, Ya?

5 Februari 2010   16:02 Diperbarui: 13 Juli 2015   14:23 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada dua ciri balita (anak usia di bawah 5 tahun) yaitu perilakunya lebih didorong oleh instink, naluri, tidak pakai pertimbangan, apa yang dipikir dan dirasakan langsung ditampilkan. Kalau merasa perlu marah ya marah, nggak peduli di mana, kepada siapa, dan sebagainya. Cara mengungkapkan kemarahan juga tidak usah repot-repot memperhitungkan dampaknya. Mau teriak, meraung, guling-guling, memukul, menendang, sah saja. Disebut perilaku instinktif karena memang dasarnya cuma instink. Untuk bisa menata kemarahan ia perlu belajar lagi, lewat pengisian nurani ke dalam hatinya. Nah, itu ciri yang pertama.

Ciri kedua adalah meniru. Balita adalah peniru terbaik di dunia. Apa saja ditiru, tidak peduli benar atau salah, layak atau tidak, dan seterusnya. Apalagi kalau peniruannya berhasil menarik perhatian. Ia pun akan mengulang sampai yang melihat terpaksa harus mengakui bosan melihatnya karena terus diulang-ulang.

Membuka siaran televisi di Indonesia, media audio visual yang menyuguhkan pesan secara gamblang sehingga sajiannya tertangkap, terkunyah bulat-bulat tanpa dicerna, saya terpaksa mengerut kening. Dari pagi sampai malam, bahkan tengah malam, sebagian besar isinya menampilkan perilaku marah. Padahal tidak ada balita dalam acara itu. Mau berita, cerita (sinetron), lawak, semua menampilkan orang yang sedang marah. Selain marah, juga latah atau meniru tanpa berpikir panjang. Bahkan kalau bisa diusahakan lebih hebat dari yang ditiru. Teriak, mendorong-dorong, menggoyang-goyang dan merobohkan pagar, bakar ban, menutup jalan, dan semua perilaku temper tantrum yang sangat khas balita bisa kita lihat di televisi, setiap hari, susul menyusul. Kalau hari ini muncul di kota anu, esoknya muncul di kota ini, itu, sana, sini, dan situ.

DI sinilah peran media menjadi sangat bermakna. Satu saat orang menonton, "Oh, boleh marah ya?" begitu kira-kira pemahamannya. Maka dia pun merasa tidak apa-apa marah, tidak salah, bukankah televisi menampilkannya dengan komentar atau narasi yang seolah mendukung kemarahan itu karena alasannya ada. Jadi, layak atau tidak menurut norma umum, tidak perlu diperhatikan lagi. Artinya, media mensahkan kemarahan yang ditampilkan. Jadi, tidak usah merasa bersalah dan otomatis juga tidak perlu memperbaiki cara marah. Apalagi kemudian malah dianggap jagoan, pahlawan, pembela kepentingan rakyat (kelompok rakyat mana yang diwakili tidak dianggap penting untuk disebut atau ditunjuk karena tidak pernah ada yang bertanya atau keberatan dirinya diatasnamakan).

Perilaku latah yang tidak disertai rasa canggung atau bersalah juga berkat media yang namanya televisi. Digambarkan secara gamblang (apa yang dilakukan) disertai narasi yang (lagi-lagi) memaklumi dan kemudain diartikan sebagai pengesahan maka kelatahan menjadi semakin marak. Apalagi ternyata tidak ada sanksi. Jadi, sekali lagi, terjadi (seolah) pengesahan perilaku.

Menyimak kabar dan cerita di televisi, kesannya kok jumlah 'balita' makin banyak saja. Televisi membuat 'balita' (berapa pun usia mereka yang sebenarnya) leluasa menampilkan gayanya. Egonya. Nalurinya, impuls liar yang tak terkendalikan oleh nurani, menjadi seolah mendapat tempat dan saluran. Ditambah narasi yang seolah menambah panas suhu instink yang sedang bergejolak, lagi-lagi seolah mendapat lisensi untuk mengumbar kemarahan dan sah saja latah.

Mudah-mudahan rekan-rekan media, terutama televisi, paham dan sadar akan pengaruhnay dalam membentuk opini dan perilaku masyarakat. Peranan presenter dan reporter menjadi penting. Kalau bisa, tinggalkan sikap arogan yang suka memojokkan, menggurui dan memprovokasi. Ajak dan ajarkan masyarakat bersikap santun, mengerti tata krama. Mungkin perlu disadari bersama, yang dibicarakan itu negara kita sendiri, bukan negara lain. Yang dimaki itu pemimpin kita sendiri. Ayo, kembali bersatu menuju Indonesia yang lebih baik. Mudah-mudahan bhinneka tunggal ika tidak hanya bertengger di garuda lambang negara tetapi juga menjadi sikap hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun