Mohon tunggu...
ieda poernomo
ieda poernomo Mohon Tunggu... -

pemerhati perilaku masyarakat, fokus pada upaya pemberdayaan masyarakat dan pengembangan harga diri sebagai bangsa dan negara, menulis artikel, cerpen, buku

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perilaku di DPR

4 Maret 2010   14:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:37 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sedih. Sempat menonton tayangan sidang paripurna DPR tanggal 2 dan 3 Maret 2010 hati saya sedih. Ini tahun 2010. Tahun ini RI mengecap kemerdekaan yang ke 65. Ternyata perjalanan bangsa dengan gonjang ganjingnya sejak masa kejayaan kerajaan-kerajaan di Indonesia, masa penjajahan Belanda, Inggris, Portugis, Jepang, sampai ke masa awal kemerdekaan, lanjut ke orde baru, reformasi sampai kini hampir tak banyak berarti terhadap perubahan perilaku bangsa ini. Menelusur sejarah, mengapa kita begitu mudah dijajah, bahkan bisa oleh perusahaan dagang Belanda (VOC), sampai begitu lama? Hitung juga, berapa kali kita berpindah di bawah penjajahan yang lain? Kalau tak ada tekad dan semangat yang begitu besar, yang muncul dari penderitaan akibat penjajahan mungkin kita masih belum merdeka.Perilaku mudah dijajah biasanya bersandar pada ketidakpercayaan diri, tidak bisa menerima perbedaan sehingga mudah diadu domba, kesombongan diri sehingga mudah merasa diri lebih benar-lebih pintar-dan seterusnya daripada orang lain. Perilaku ini juga dihasilkan oleh sikap suka menepuk dada, membusungkan dada, menonjolkan diri, dan selalu berharap mendapat jalan untuk mengumumkan dan menyatakan kepada dunia, "AKULAH YANG ........" Tak heran kalau Indonesia mudah terjajah, dalam bentuk apapun.

Sedih. Itulah perasaan saya menyaksikan ulah para anggota DPR pada sidang paripurna kemarin. Sikap yang sungguh tidak mencerminkan pakaian yang dikenakan, jas lengkap atau busana formal lainnya. Orang bilang, perilaku mereka seperti murid TK. Ah, murid TK saja bisa diatur. Mau mendengar kata guru dan orang tuanya. Dalam tatanan psikologi perkembangan perilaku yang bisa disebut temper tantrum ini biasanya ditampilkan oleh anak usia antara 2 - 5 tahun. Temper tantrum muncul kalau kehendaknya tidak dituruti. Dengan segala cara anak akan melakukan upaya menarik perhatian orang tua dan memaksanya untuk menuruti kehendaknya. Perilakunya semakin menjadi kalau ada pendukung, misalnya ada orang dewasa di dekat situ yang ikut memaksa orang tua untuk memenuhi kehendak anak. Karakter temper tantrum seperti memekik, menangis, berguling-guling, memukul dan sebagainya tak segan dilakukan anak karena tujuannya cuma satu, kehendaknya terpenuhi. Titik.Apa beda perilaku ini dengan yang ditampilkan orang dewasa lewat kemarahan yang terpancar, kata-kata kasar, gerak tubuh yang menantang dan ingin 'menghabiskan' lawan, nada suara tinggi, hanya karena kehendaknya tidak dituruti? Padahal salah satu ciri dewasa adalah kemampuan menata perasaan ketika berada bersama orang lain, bisa menerima kekurangan dan kelebihan diri maupun orang lain, mengupayakan agar bisa bersinergi agar tujuan yang lebih besar dari kepentingan individu maupun golongan sehingga tetap merasa nyaman dalam berbagai kondisi dan situasi lingkungan karena memahami pentingnya kebersamaan.

Ada juga yang bilang, perilaku yang ditunjukkan anggota dewan itu kampungan. Kalau pengertiannya adalah perilaku orang di kampung, jelas pendapat ini salah besar. Lihat saja perilaku masyarakat yang tinggal di kampung. Mereka bahkan lumayan mudah diatur karena biasanya masih mendasarkan sikapnya pada kepentingan bersama, ingin hidup nyaman dalam kebersamaan meskipun ada perbedaan. Jadi, tak tepat menyamakan perilaku di Senayan itu seperti orang kampung.

Perilaku yang tampil di Senayan yaitu marah, berteriak-teriak, pakai mikrofon seenaknya untuk menyuarakan yang tidak ada hubungannya dengan pembahasan sidang paripurna, ejek mengejek, adu fisik, mengejar yang terusir sambil berteriak-teriak, mengancam, segera saja menyebut pasal-pasal padahal belum didukung fakta, menggalang kekuatan seolah sedang berhadapan dengan musuh yang membahayakan negara (padahal mereka semua adalah anggota DPR RI), tampil dengan sikap pongah mengatasnamakan rakyat ketika mendapat giliran bicara di depan media (terutama TV), lalu esoknya bernyanyi sambil mengacung-acungkan dan mengepal tangan. Perilaku apa ini? Layakkah ditampilkan oleh anggota DPR RI? Di dalam tatanan psikologi, perilaku ini jelas menunjukkan rendahnya tingkat perkembangan moral yang dimiliki, tak peduli berapa pun usianya.Psikologi Perkembangan menyatakan bahwa kematangan moral tidak berjalan otomatis mengikuti usia. Jadi, usia boleh tua tapi dari perilakunya kita akan tahu, di tingkat mana perkembangan moralnya.

Sedih kan? Kalau anggota DPR nya begini, lalu bagaimana rakyatnya? Wawancara di televisi dengan beberapa lapisan masyarakat ternyata melegakan. Sebagian besar dari mereka yang diwawancara menyatakan ketidaksetujuannya dengan perilaku anggota dewan. Mereka menganggap tidak selayaknya anggota dewan yang katanya terhormat berperilaku seperti itu. Wawancara tersebut menimbulkan pertanyaan di benak saya, rakyat yang mana yang selalu disebut anggota dewan sebagai diwakilinya?

Bagi saya, peristiwa ini adalah pertanda bahwa para anggota dewan perlu belajar mengembangkan sikap mental dan perilaku yang sesuai dengan usia dan kedudukan serta posisinya. Beda pendapat biasa tapi jangan kesampingkan tata cara menyampaikan pendapat, jangan abaikan kewajiban mendengar selain ingin didengar. Kalau tidak mau berubah, lebih baik gedungnya ditutup saja. Berkantor di halaman mungkin lebih cocok untuk perilaku yang mirip kanak-kanak usia di bawah empat tahun dengan temper tantrumnya itu. Atau sekalian saja di lapangan sepak bola. Biar klop. Kan suka ricuh juga?

Untungnya tidak semua anggota dewan berperilaku seperti itu. Saya amati, masih ada yang berperilaku sebagaimana layaknya orang dewasa, apalagi dalam posisi sebagai anggota dewan. Sikap dewasa akan bisa tercapai kalau ada kesadaran terhadap identitas diri yang dipahami, diterima, diyakini secara jelas. Dengan identitas "Saya adalah anggota DPR" tentunya akan muncul dorongan untuk meninjau perilaku sendiri dan mengembangkannya (konsep diri) sesuai dengan posisi sebagai anggota dewan. Mudah-mudahan yang berperilaku memalukan itu segera sadar. Saya tidak ingin membayangkan para anggota dewan akan dihujat rakyat di kemudian hari karena lelah diatasnamakan terus padahal jelas perilakunya lebih untuk kepentingan golongannya sendiri. Kapan ya kita bisa menjadi INDONESIA? Boleh dong mimpi supaya tetap ada semangat. Salam dewasa!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun