"Apa salah saya?" keluh seorang ibu dalam isak yang membuat hati saya ikut merasa perih. Dia lalu bercerita, anaknya sudah berusia dewasa, sekitar dua puluh tahunan. Perempuan. Belum menikah. Sayang, sikap mentalnya tak sesuai usianya. Gadis itu belum mandiri. Ibunya masih harus mengurus semua keperluannya. Meski sudah punya penghasilan sendiri, ia tidak mau meringankan beban orang tua. Ia masih merasa layak dibiayai. Ia juga bergantung penuh pada ibunya untuk urusan membereskan kamar, mencuci baju-bajunya dan menyediakan hidangan untuknya. Anak itu terus saja menuntut dan menuntut.
Kisah ibu lain menggambarkan sikap anaknya, laki-laki, sudah menikah dan punya anak, berumur sekitar tiga puluhan. Anak yang sudah berumah tangga itu ternyata tidak siap menerima perannya sebagai suami dan ayah. Kerjanya cuma mengeluhkan istri dan tidak pernah mau ikut mengurus anaknya, seolah memang bukan menjadi tanggung jawabnya. Rupanya ia sendiri masih seorang anak yang perlu diurus ibunya. Seorang anak yang punya anak.
Seorang remaja membuat hati ibunya luka karena dia terus mendesakkan keinginannya tanpa mengerti posisi ibunya. Dia enak saja memaki-maki ibunya yang menolak permintaannya. "Saya tidak membesarkannya untuk menjadi seperti ini," kata ibu. Lalu sang ibu menuturkan risau hatinya karena permintaannya tdiak mungkin dipenuhi. Dalam perjumpaan lain saya mendengar anak memaki ayahnya, membentak ibunya, memalingkan muka dari ibu dan ayahnya. Ada juga anak yang mendiamkan kedua orang tuanya, bahkan ada yang minggat dan tak sudi memberi kabar lagi.
"Apa salah saya?" keluhan serupa muncul dari bibir ayah dan ibu yang mempertanyakan dan merisaukan perilaku anaknya. Membentak, menghardik, mengeluarkan kata-kata tak pantas, bersikap tak peduli adalah sebagian dari fenomena zaman yang mulai marak di mana-mana. Ibu yang tersedu, ayah yang tertunduk sedih ketika menyadari anaknya sangat membencinya memunculkan perih dan prihatin di benak saya. Apa yang terjadi?
Perih dan prihatin itu lalu membawa saya ke lorong yang dijalani orang tua, mencoba menemukan jawab. Apa yang membuat anak bersikap seperti itu kepada orang tuanya? Mungkinkah karena anak-anak tidak mengenal ajaran agama yang memerintahkan anak menghormati orang tuanya? Atau mereka mendengar tapi tidak paham? Dapatkah sikap itu dipengaruhi oleh bergesernya nilai budaya dan norma sosial yang bergerak dari kepastian masa lalu ke arah yang belum jelas dan tak tentu? Jangan-jangan sikap masyarakat yang semakin melonggar dalam menetapkan penilaian perilaku salah dan benar ikut bertanggung jawab. Atau karena alasan ekonomi? Beratnya mencari nafkah di zaman ini tampaknya tidak bisa memberi kemewahan kepada suami istri untuk berbagi tugas, siapa mencari nafkah dan siapa mengurus anak. Keduanya lebih terfokus pada urusan mencari nafkah. Sisi kalbu anak tidak ditengok, apalagi dipenuhi. Kebutuhan anak yang terisi tak lebih dari sisi kebutuhan fisik (makan, minum, pakaian), tampilan diri (aksesori yang menandai kemampuan ekonomi sehingga bisa dianggap layak menempati posisi terhormat di masyarakat meskipun bukan hasil jerih payahnya sendiri). Harga diri yang terbangun pun menjadi sangat semu. Kebaikan hati dan upaya orang tua menyenangkan anak dibalas dengan tuntutan tak berujung, seolah memang sudah seharusnya begitu, sehingga rasa malu pun tidak punya peluang untuk muncul. Saya khawatir, jumlah anak yang terkategori bersikap dan berperilaku buruk kepada orang tuanya akan semakin bertambah.
Hasil pendidikan yang tampil dalam perilaku anak ketika memasuki usia dewasa adalah ramuan dari pola asuh dalam keluarga, pendidikan formal maupun informal di masyarakat, dan lingkup pergaulannya. Orang tua dan masyarakat perlu segera mengajak anak yang sudah dewasa dan ternyata salah jalan untuk dapat kembali di jalur yang semestinya, sesuai kaidah dan norma yang kita sepakati bersama (kalau memang masih sama dan masih dianggap layak dan diposisikan sebagai acuan). Ayah ibu yang anaknya masih di bawah usia dua belas tahun perlu meninjau kembali cara mendidik anak dan memberi perhatian kepada semua pengaruh dari luar agar dapat mnemperkirakan dampaknya.
Ada satu catatan yang saya anggap perlu kita perhatikan bersama. Hati-hati dengan pemanjaan, sengaja atau tidak, disadari atau tak dimaksudkan seperti itu. Pemanjaan biasanya tak disengaja dan berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama, meresap dalam langkah perkembangan yang dilalui anak. Arah pendidikan yang lebih terfokus pada aspek kognitif saja jelas tidak akan memunculkan perilaku adaptif. Fokus ini kemudian mengakibatkan aspek emosi, sosialisasi dan pembekalan spitirual menjadi terpinggirkan. Akibatnya? ya keluhan ibu dan ayah seperti diuraikan tadi. Air mata ibu akan sulit terhapus dari wajahnya, kepala ayah yang tertunduk karena kepedihan hati juga akan sulit ditegakkan kembali dan anak semakin leluasa saja bersikap kurang ajar dan tidapat menghargai jerih payah orang tuanya. Lalu, bagaimana nasib anak-anak mereka nanti? Semoga Tuhan memberikan petunjuk agar kehidupan keluarga masih terselimuti kasih sayang, penghargaan, semangat kemandirian dalam kebersamaan yang menjadikan keindahan dalam menapaki lorong kehidupan. Amien.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H