Mohon tunggu...
Pandu Heru Satrio
Pandu Heru Satrio Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Student of Tenth Nopember Institute of Technology/Naval Arch

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Apa Benar Engkau Jodohku?

5 Juli 2014   05:59 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:25 1257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hiruk pikuk kota mulai terganti oleh seruan pengeras suara. Bacaan Alquran bersahut-sahutan seantero kota. Malam ini, aku sempat berpikir dalam keheningan kamar, apa benar engkau adalah jodoh ku? Ini bukan permasalahan umur. Ini bukan masalah kematangan. Ini juga bukan masalah harta atau kekayaan. Ini adalah masalah separuh agama. Ah mungkin orang mengira aku ini masih terlalu bau kencur untuk membicarakan hal ini.

Aku sempat teringat sepenggal kata yang cukup mengganggu pikiran. Izinkan aku untuk menulisnya untuk kalian,


“ Allah mempertemukan untuk satu alasan. Entah untuk belajar atau mengajarkan. Entah hanya untuk sesaaat atau selamanya. Entah akan menjadi bagian terpenting atau hanya sekedarnya. Akan tetapi tetaplah menjadi yang terbaik di waktu tersebut. Lakukanlah dengan tulus, meski tidak menjadi seperti apa yang diinginkan. Tidak ada yang sia-sia. KARENA ALLAH YANG MEMPERTEMUKAN”

Begitu indah untaian kata-katanya. Seakan bagi pembacanya, menyihir pemikiran kita untuk sekejap menghayatinya. Sejatinya, hijrah menuju Surabaya bukanlah sebuah pilihan yang menarik pada akhirnya. Jauh dari orang tua bukanlah kebiasaan ku, tadinya. Hidup sendiri bukanlah yang aku mau, awalnya. Dan tanpa kasih sayang orang tua adalah sesuatu yang berat, pada akhirnya. Wahai para perantau, aku juga masih ingat ucapan sahabat ku dalam sebuah kesempatan, “Merantau itu juga akan membuat kita berpikir dan tahu, siapa yang akan kita rindukan pada akhirnya.” Duhai kata yang indah. Sekarang aku tahu, bahwa aku merindukan siapa.

Anak bau kencur ini kembali berpikir, lantas untuk apa aku tinggal di Kota Pahlawan ini. Ya Allah, bukan aku bermaksud kuffur akan nikmat mu, tapi izinkan aku untuk melanjutkan tulisan ini. Sesungguhnya Engkau yang Maha Mengetahui isi hati.

Beberapa waktu lalu, sempat membaca tulisan salah satu penulis. Isinya berisi tentang pertemuannya dengan orang yang tanpa pernah ia duga, namun ternyata Ia selalu terbawa dalam pikirannya. Ya, nampaknya salah satu arti harfiah dalam kutipan di atas mulai bekerja.

Kita memang tidak pernah tahu, setiap saat kita bertemu dengan banyak orang. Bahkan berjuta-juta orang telah kita lihat. Lantas, kenapa pertanyaan di atas belum juga terjawab? Apakah engkau adalah jodoh ku?

Ya Tuhan yang Memiliki hati manusia. Yang di- Tangannyalah hati ini dapat dibolak-balikan. Ya Rabb, maaf kanlah aku kala mata ini masih nakal mencoba mencuri pandangan untuk sekedar memastikan apakah ia jodoh ku atau belum. Ya Rabb, maafkanlah hamba ini, dikala pikiran ini masih liar memikirkan nama itu. Ya Allah, lagi-lagi hamba hanya bisa beristighfar ketika anggota tubuh ini ternyata masih tidak bisa hamba puasakan.

Putaran kipas kecil di pojok kamar, seakan berlomba untuk mengalahkan deru tadarusan di langit kota. Malam yang damai. Pikiran ini kembali melayang sejenak, mata ini sempat terarah pada tumpukan buku di atas lemari warna coklat di sebelah kiri meja. Judul bukunya sempat mengganggu pikiran. Sandiwara Langit.

Apakah aku tinggal di sini untuk sebuah alasan lain. Apakah aku berada di sini untuk sebuah kegiatan besar. Apakah aku di sini untuk sebuah peristiwa bersejarah. Apakah pertanyaan ku bisa terjawab di kota ini. Apakah jodoh ku adalah di sini. apakah salah, ketika aku berharap engkau adalah tulang rusuk ku.

Semua pertanyaan itu adalah sebuah sandiwara. Sandiwara yang sudah teratur semenjak ruh ini masih berumur 120 hari lamanya. Ya, aku percaya. Allah mengirim ku ke kota ini, untuk sebuah alasan besar. Untuk sebuah peristiwa besar, entah aku menjadi pemainnya atau sekedar penonton. Entah menjadi tokoh utama atau malah tokoh bayangan. Entah menjadi protagonis, atau malah antagonis. Semuanya telah diatur rapi dalam sebuah sandiwara bernama sandiwara langit.

Malam ini, aku bukanlah salah satu orang yang bermimpi. Tapi, aku yakin akan hal itu. Bahwasanya sandiwara ini pasti akan berakhir pada sebuah kenikmatan. Kenikmatan untuk bertemu dengan Sang Pengatur. Ah, sudahlah izinkan aku menutup malam ini dengan untaian kata,

Wahai, tulang rusuk ku

Andai ku ada di kota ini, maka segeralah kembali kepada Tuan mu.

Wahai bidadari ku

Andai kita bertemu di kota ini, ku ingin tidak ada perpisahan lagi diantara kita.

Wahai pujaan hati ku

Andai engkau adalah sebuah jawaban, maka biarkan aku menjadi sebuah pertanyaan…

Apa benar engkau adalah jodoh ku?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun