Bulu tangkis putri Indonesia tercatat memilik sejarah hebat di dunia Internasional. Dari mulai dekade 60 hingga  90 an, atlet-atlet putri Indonesia telah banyak menorehkan tinta emas di jagad per"Bulu tangkisan dunia",,Â
sebut saja mulai dari tahun 60 an kita punya Retno Kustiyah dan Minanrni Soedaryanto, Â Imelda Wiguna , Tati Sumirah dan Verawati Fajrin di dekade 70 an,Â
di era 80 hingga awal 90 an kita punya Ivana Lie dan Rosiana Tendean dan Puncaknya adalah dua atlet yang masuk jajaran The Legend adalah Susi Susanti yang berhasil memenangkan emas di Olimpiade Barcelona 1992 dan Mia Audina yang berhasil meraih perak tunggal putri Olimpiade Atalanta 1996.
 Namun setelah itu perlahan seolah kegemilangan yang berhasil ditorehkan tersebut perlahan mulai memudar. Prestasi demi prestasi tidak kunjung datang,Â
ironisnya seolah sulit sekali mencari bibit pemain putri kelas dunia di negara yang memiliki potensi Sumber Daya manusia hampir 280 juta jiwa, serta tercatat sebagai yang terbesar keempat di dunia. Prestasi elite terakhir yang pernah dicatatkan adalah perak olimpiade Atalanta 1996 dan piala Uber 1996.Â
Ditengah keterpurukan perbulutangkisan putri Indonesia, justru Tiongkok mulai memperlihatkan taringnya di awal 80 an dan terus mendominasi hingga saat ini.Â
Terbukti dengan komparasi prestasi yang sejauh ini bagaikan bumi dan langit. Tiongkok sudah meraih 15 kali juara piala Uber sedangkan indonesia baru 3 kali, kemudian dominasi di olimpiade yaitu antara lain Olimpiade Sidney 2000 dengan 4 emas,Â
Olimpiade Athena 2004 dengan 3 emas, sapu bersih emas di Olimpiade London 2012, 2 emas di Olimpiade Rio 2016 dan terakhir 3 emas di Olimpiade Tokyo 2020. Dengan kondisi ini Bulu tangkis putri seolah dalam sedang Mode Tidur "Hibernasi".Â
Lalu sebenarya apa yang salah dengan pembinaan bulu tangkis putri Indonesia kita? Tentu kita tidak akan melupakan apa yang sudah dicatatkan oleh beberapa atlet putri kita seperti Liliyana "Butet" Natsir, serta Greysia Polly yang baru saja gantung raket.Â
Namun beberapa emas yang lahir di masa paceklik ini belum dapat dijadikan sebagai tolak ukur keberhasilan pembinaan bulu tangkis putri Indonesia, karena hanya minoritas dan tidak merata. Harapan kita adalah dimulainya revolusi perbaikan sistem pembinaan pelatnas Cipayung terutama sektor putri, mulai dari pencarian bibit-bibit unggul di seluruh penjuru Nusantara,Â
perbaikan fasilitas sarpras latihan, perbaikan kualitas pelatih, kecukupan gizi dan yang tak kalah penting adalah memperbanyak kompetisi atau turnamen di tingkat domestik untuk menjaring bibit-bibit unggul. Peran serta pemerintah melalui Kemenpora untuk menyokong PBSI sangat diperlukan terutama untuk memasyarakatkan kembali olahraga Bulu Tangkis di Indonesia.