Mohon tunggu...
Pandu Wibowo
Pandu Wibowo Mohon Tunggu... -

Peneliti Center for Information and Develpoment Studies Indonesia | Tenaga Ahli Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional / Bappenas | Candidate Magister of Planing and Public Policy in University of Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Implementasi Maqashid Syariah dalam Kepemimpinan Publik

4 Februari 2016   11:10 Diperbarui: 4 Februari 2016   13:43 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Oleh

Pandu Wibowo,S.Sos

Menegakan agama Allah di muka bumi melalui jalur politik adalah misi penting untuk menciptakan sebuah daulah Islamiyah. Karena politik adalah pintu akhir untuk menyempurnakan pintu-pintu dari misi perjuangan yang telah kita lewati sebelumnya. Misi ini adalah misi yang dilakukan Para Nabi dan Rasul, dan perlu kita lanjutkan sebagai misi perjuangan sampai akhir zaman. Masuk ke dalam sebuah sistem, dan memimpin orang banyak dengan jabatan publik yang didapat merupakan salah satu dari misi yang dilakukan para Nabi. Oleh karena itu, implementasi maqashid syariah dalam kepemimpinan publik harus terealisaikan dengan semestinya.  Ada 3 kerangka besar implementasi maqashid syariah dalam kepemimpinan publik, yakni: Iqomatud Dien (Penegakan Agama), Al ‘adalah al-Ijtima’iyyatu (Keadilan Sosial), dan Al-da’wah al’alama (Prekrutan Institusional).

Pertama, Iqomatud Dien. Iqomatud Dien (penegakan agama) adalah hal yang paling utama dalam esensi kepemimpinan publik. Seorang pemimpin harus mampu membawa orang-orang yang dia pimpin menuju Allah SWT, karena itu adalah gayah (tujuan akhir) dari misi ini. Jadi kepemimpinan publik bukan hanya dipakai untuk merealisasikan tujuan dunia, namun juga akhirat. Al-Imam al-Mawardi merumuskan bahwa kepemimpinan politik dalam Islam diposisikan dalam syariah Islam untuk memenuhi dua tugas besar meliputi urusan agama dan urusan dunia. Beliau berkata dalam kitabnya al-Ahkam as-Sulthaniyah: Kepemimpinan diletakkan demi menggantikan tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Inilah tugas pemimpin, bagaimana menciptakan ketawazunan dalam hidup bernegara. Iqomatud Dien adalah indikator penting yang menentukan apakah seorang pemimpin benar-benar membawa misi agama atau tidak dalam sebuah negara. Jangan sampai perubahan signifikan di tataran masyarakat menuju agama Allah tidak tercipta.  Artinya sama saja dan tidak ada bedanya dengan pemimpin-pemimpin lain yang amat seru mencari kekuasaan, namun tidak memperjuangkan agama dengan jabatan publik yang diperoleh.

Kedua, Al-‘Adalah al-ijtima’iyyatu. Tujuan besar kedua yang dituntut dalam dunia politik Islam adalah penegakan keadilan. Penegakan keadilan menduduki ranking pertama dalam deklarasi singkat surat an-Nisa yang merumuskan pokok-pokok perintah Allah yang utama. Allah berfirman: “Sungguh Allah memerintahkan kalian agar menunaikan amanat kepada yang berhak, dan jika kalian memerintah hendaklah kalian memerintah dengan adil.” (QS an-Nisa: 58). Kepemimpinan publik yang diperoleh harus diperuntukan untuk semuanya. Semuanya berhak mendapat perlindungan dan kasih sayang dari seorang pemimpin. Baik dia yang menjadi kompetitor kita atau berberda agamanya dengan kita. Harus diperlakukan adil oleh seorang pemimpin, Hal inilah yang dilakukan oleh pejuang-pejunag muslim setelah menaklukan sebuah wilayah. Begitu luar biasa akhlak Muhammad Al Fatih ketika memasuki Haga Sofia setelah berhasil menaklukan Konstatinopel. Disaat penduduk Konstatinopel mengira mereka akan dibunuh, namun secara mengejutkan seorang Al Fatih menunjukan kasih sayangnya dengan menyapa penduduk dan memberikan belaian kepada anak-anak di dalam Haga Sofia tersebut. Hal yang sama juga sudah terjadi sebelum penaklukan Konstatinopel, dimana Umar bin Abdul Aziz adalah seorang pemimpin publik yang amat adil. Hanya dua setengah tahun di zaman kepemimpinannya, tidak ada satupun penduduk yang mau menerima zakat, karena semuanya merasakan keadilan sosial. Derajat semua penduduk naik karena keadilan yang direalisasikan oleh seorang Umar bin Abdul Aziz. Distribusi bantuan, baik fisik dan non fisik merata di semua wilayah kekuasaan Islam, sehingga semuanya merasakan kebahagian. Berbeda halnya ketika pasukan Kristen berhasil merebut Andalusia dari tangan umat Islam. Begitu kejinya mereka sampai Umat Islam harus terbunuh dan terusir hina dari Andalusia. Konsep Al-‘Adalah al-ijtima’iyyatu inilah yang perlu diimplementasikan dalam kepemimpinan publik. Karena Allah juga tegas mengatakan di ayat lain: “Wahai orang-orang beriman jadilah kalian para penegak keadilan dan saksi-saksi bagi Allah meskipun terhadap diri kalian sendiri atau orang tua dan kerabat kalian.” (QS an-Nisa: 135).

Ketiga, Al-da’wah al’alama. Sebelum Nabi menciptakan negara Madinah, jumlah umat muslim masih bisa terhitung oleh jari. Saat dakwah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi di Mekah selama 13 tahun, jumlah orang yang ber Islam 29 orang laki-laki, dan 7 orang perempuan. Termasuk di dalamnya ada Siti Khadijah dan Abu Bakar. Sedangkan ketika dakwah secara terang-terangan, jumlahnya meningkat cukup banyak, yakni 182 orang. Namun, setelah negara Madinah berdiri, jumlah umat muslim secara cepat bertambah belipat-lipat menjadi jutaan. Jumlah itu pun terus bertambah ketika penaklukan Persia dan Romawi Timur.  Inilah kekuatan negara dan kekuasaan. Adanya negara dan kekuasaan, maka adanya peluang untuk menambah kekuatan dan sumber daya. Artinya prekrutan institusional dengan memakai instrument institusi dan otoritas yang dimiliki dapat lebih menguatkan kita. Oleh karena itu, Nabi Sulaiman berdoa kepada Allah, “Qola Rabbi aghfirli wa habli mulka layambaghi li a hadin mim ba’di, inn aka antal wahab”, Ya Tuhanku ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku Kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang jugapun sesudah aku. Sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi. Tidak ada salahnya kita berdoa juga seperti yang Nabi Sulaiman lakukan, demi terciptanya negara dan lingkungan yang islami.

Di tengah pertarungan yang haq dan bathil di era seperti ini, aktivis dakwah perlu merebut kepemimpinan publik dari orang-orang kafir dan munafik. Apapun sistem negara yang dianut di dunia, mulai dari monarki dan demokrasi, keduanya memiliki peluang untuk dijadikan ladang dakwah. Jangan sampai kita memandang dari segi ideologis, namun pandanglah dari kesempatan dalam berdakwah. Islam mampu cocok dengan sistem manapun, karena Islam adalah agama yang dapat menggerakan, menjalankan dan memperbaiki pemerintahan. Seorang raja di sistem monarki yang mampu memimpin dengan syariat, Islam, maka dia berhak menjadi seorang khilafah dalam sebuah negara. Begitupun Presiden atau Perdana Menteri dari sistem demokrasi, jika dia dapat menerapkan syariat Islam di dalam sebuah pemerintahan, dia juga layak disebut khilafah. Dan maqashid syariah adalah kerangka besar yang harus diimplementasikan seorang pemimpin di jabatan-jabatan publik yang diperoleh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun