Pandu Wibowo
Mahasiswa Ilmu Politik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Bab I
Latar Belakang Masalah
Tidak satupunmanusiayangdapat hidup sendiri di dunia ini, satu dengan yang lainnya akan saling membutuhkan, memerlukan, melengkapi, dan memenuhi seputar kebutuhan hidupnya. Dengan adanya hal itulah mereka berkomunikasi sehingga terciptalahinteraksi dan tanggapan prilaku seseorang, akan adanya interaksi-interaksi tersebut, karena konflik itumenurut Coser adalah perbedaan fokus dan pemahaman manusia.
Faktor-faktor yang menjadi akar timbulnya konflik harus diangkat dengan benar-benarjelassampaikepermukaanpublik, sebab dengan carainikita bisa mencari solusinya. Etnik atau suku bangsa, biasanya memiliki berbagai kebudayan yang berbeda satu dengan lainnya. Sesuatu yang dianggap baik atau sakral dari suku tertentu mungkin tidak demikian halnya bagi suku lain. Perbedaan etnis tersebut dapat menimbulkan terjadinya konflik antar etnis.
Konflik antar etnis ini terjadi karena benturan budaya, kepentingan, ekonomi politik, dan lain lain. Dan demi menciptakan Negara yang aman dan tentram, pemerintah harus menyelesaikan masalah konflik antar etnis. Cara yang lebih demokratik demi tercegahnya perpecahan, dan penindasan atas yang lemah oleh yang lebih kuat, adalah cara penyelesaian yang berangkat dari niat untuk take a little and give a little, didasari itikat baik untuk berkompromi dan bermusyawarah.
Rumusan Masalah
Ada beberapa hal yang akan dijadikan masalah untuk mengerjakan penelitian di dalam makalah ini, antara lain sebagai berikut:
1.Apa pengertian dari konflik?
2.Mengapa konflik antar etnis bisa muncul di sebuah Negara?
3.Bagaimana cara menyelesaikan konflik antar etnis tersebut?
Maksud dan Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1.Memenuhi tugas UAS pelajaran Isu Isu Politik Kontemporer
2.Mengetahui dan memahami penegertian dari konflik dan penyebab konflik
3.Mengetahui bagaimana konflik antar etnis bisa muncul dalam sebuah Negara
4.Memberikan solusi untuk penyelesaian konflik antar etnis dalam sebuah Negara
5.Memperoleh analisis dari hasil penulisan tentang konflik antar etnis
Kerangka Pemikiran
Para ahli pemikir, sebagaimanamerekaberbicara soalpengertian ilmu-ilmuyang lain, dalam mendefinisikan konflik saja mereka berbeda, Adapun beberapa pengertian konflik itu adalah sebagai berikut: [1]
1.MenurutCoser (1956)konflikadalahprilakudan kondisi seseorang yang tengah dilakukannya dan juga perbedaanfokusdanpemahamanmanusia.
2.Menurut Krisberg (1982) konflik adalah berbedanyatujuanmasing- masing manusia (individu),kelompok,dan etnis dalam suatu negara dan bangsa.
Dalam suatu masyarakat akan selalu ada kelompok atas yang menguasai kelompok bawah, kelompok ini dibagi berdasarkan kekuasaan, kemampuan, kekayaan, kekuatan, dsb. Kelompok bawah (yang lemah) akan “ditindas” dan menjalankan kehendak kelompok atas. Fenomena ini akhirnya memicu timbulnya konflik antar kelompok. Selain hal tersebut kurangnya integrasi dalam masyarakat, perbedaan paham atau kepentingan juga sebagai faktor timbulnya konflik.
Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa konflik adalah perbedaan tanggapan yang terjadi akibat interaksi manusia dalam mewujudkan/mengungkapkan keinginannya. Oleh karena itu menurut penulis, konflik itu wajardanmanusiawikarenabedanyapara ahli dalam berpendapat tentang konflik di atas, itujuga sudahmerupakan sebuahkonflik yang terjadi.Namun apa akibat dari konflik itu akan negatif? Jelas, hal itu memerlukanpenyulut danpemobilitas tersendiri yang lepas dari bagian makna kata konflik tersebut. Konflik yang negative tentunya akan merugikan kedua pihak dan masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu penyelesaian konflik harus dilakukan. Kita harus mengaitkan teori yang ada dengan praktik di lapangan dalam menyelesaiakan konflik.
BAB II
Pembahasan
Menurut Alo Liliweri konflik adalah bentuk perasaan yang tidak beres yang melanda hubungan antara satu bagian dengan bagian lain, satu orang dengan orang lain, satu kelompok dengan kelompok lain. Konflik dapat secara positif fungsional sejauh ia memperkuat kelompok dan secara negatif fungsional sejauh ia bergerak melawan struktur.[2]
Pengertian Konflik
Konflik didefinisikan sebagai interaksi antara dua atau lebih pihak yang satu sama lain saling bergantung namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan dimana setidaknya salah satu dari pihak-pihak tersebut menyadari perbedaan tersebut dan melakukan tindakan terhadap tindakan tersebut.[3]
Implikasi dari definisi konflik adalah :
- Konflik dapat terjadi di dalam atau di luar sebuah system kerja peraturan.
- Konflik harus disadari oleh setidaknya salah satu pihak yang terlibat dalam konflik tersebut.
- Keberlanjutan bukan suatu hal yang penting karena akan terhenti ketika suatu tujuan telah tercapai
- Tindakan bisa jadi menahan diri dari untuk tidak bertindak
Konflik etnis adalah konflik yang terkait dengan permasalahan- permasalahan mendesak mengenai politik, ekonomi, sosial, budaya, dan teritorial di antara dua komunitas etnis atau lebih.[4]
Menurut Indrio Gito Sudarmo dan I Nyoman Sudita, banyak Tokoh yang membahas mengenai “Teori Konflik” seperti Karl Marx, Durkheim, Simmel, dan lain-lain yang dilatarbelakangi oleh permasalahan ekonomi dan sosial. Karl Marx melihat masyarakat manusia sebagai sebuah proses perkembangan yang akan menyudahi konflik melalui konflik. Ia mengantisipasi bahwa kedamaian dan harmoni akan menjadi hasil akhir sejarah perang dan revolusi kekerasan. Namun bentrokan kepentingan kepentingan ekonomi ini akan berakhir di dalam sebuah masyarakat yang tanpa kelas, tanpa konflik dan kreatifitas yang disebut komunisme.[5] Kalau konflik ini terus terusan dibiarkan, akan membuat ketidakstabilan di masyarakat. Masyarakat akan merasa terancam dan tidak kenang dalam hidupnya.
Durkheim menekankan proses sosial yang meningkatkan integritas sosial dan kekompakan. Meskipun dia mengakui bahwa konflik terjadi dalam kehidupan sosial, dia cenderung untuk memperlakukan konflik yang berlebih-lebihan sebagai sesuatu yang tidak normal dalam integrasi masyarakat. Hubungan saling ketergantungan antara konflik dan kekompakan dinyatakan juga dalam dinamika di dalam hubungan kelompok dalam (in-group) dan kelompok luar (out-group).[6] Suatu kelompok atau masyarakat cenderung memiliki sumber yang dapat dikerahkan dan solidaritasnya diperkuat bila kelompok itu terlibat dalam konflik dengan kelompok atau masyarakat lain. Selama masa dimana ada ancaman atau konflik dengan organisasi luar, percekcokan atau konflik dalam kelompok cenderung rendah dan menurun.
Konflik Antar Etnis
Konflik etnis adalah konflik yang terkait dengan permasalahanpermasalahan mendesak mengenai politik, ekonomi, sosial, budaya, dan teritorial di antara dua kelompoketnis atau lebih.[7] Konflik etnis seringkali bernuansa kekerasan, tetapi bisa juga tidak. Namun biasanya konflik etnis bernuansa dengan kekerasan dan jatuh korban. Etnik atau suku bangsa, biasanya memiliki berbagai kebudayan yang berbeda satu dengan lainnya. Sesuatu yang dianggap baik atau sakral dari suku tertentu mungkin tidak demikian halnya bagi suku lain. Perbedaan etnis tersebut dapat menimbulkan terjadinya konflik antar etnis.
Faturochman menyebutkan setidaknya ada enam hal yang biasa melatarbelakangi terjadinya konflik etnis terjadi disebuah tempat.[8] Enam hal tersebut antara lain yakni:
1.Kepentingan yang sama diantara beberapa pihak
2.Perebutan sumber daya
3.Sumber daya yang terbatas
4.Kategori atau identitas yang berbeda
5.Prasangka atau diskriminasi
6.Ketidakjelasan aturan (ketidakadilan).
Konflik antar etnis yang terjadi dapat dikatakan karena kepentingan beberapa oknum atau pihak yang memang bertujuan untuk mengambil untung dari konflik tersebut. Etnis etnis yang saling berkonflik sangat mudah di adu domba karena memang sumber daya manusia yang terbatas. Dalam arti pendidikannya kurang dan tingkat ekonomi yang rendah. Seharusnya dari masing masing kepala daerah yang ada di wilayah konflik tersebut harus tegas membuat atau merealisikan kebijkan ketika terjadi sebuah konflik antar etnis.
Dalam konteks Indonesia sendiri, kita kerap kali mendengar terjadinya konflik antar etnis. Sebenarnya akar dari konflik ini adalah keterbelakangan dari masyarakat di wilayah konflik tersebut. Sementara itu, Sukamdi menyebutkan bahwa konflik antar etnik di Indonesia terdiri dari tiga sebab utama,[9] yakni:
1.Konflik muncul karena ada benturan budaya
2.Karena masalah ekonomi politik
3.Karena kesenjangan ekonomi sehingga timbul kesenjangan sosial.
Menurutnya konflik terbuka dengan kelompok etnis lain hanyalah merupakan bentuk perlawanan terhadap struktur ekonomi-politik yang menghimpit mereka sehingga dapat terjadi konflik diantara yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan identitas sosial, dalam hal ini etnik dan budaya khasnya, seringkali menimbulkan etnosentrisme yang kaku, dimana seseorang tidak mampu keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya. Sikap etnosentrisme yang kaku ini sangat berperan dalam menciptakan konflik karena ketidakmampuan orang-orang untuk memahami perbedaan.[10] Sebagai tambahan, pengidentifikasian kuat seseorang terhadap kelompok cenderung akan menyebabkan seseorang lebih berprasangka, yang akan menjadi konflik.
Berdasarkan tulisan dari Stefan Wolff, bahwa konflik etnis ini sebagian besar terjadi di wilayah Afrika, Asia, serta sebagian Eropa Timur. Dikatakan bahwa negara-negara Eropa Barat serta Amerika Utara tidak terpengaruh atas konflik etnis yang terjadi di dunia ini. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa konflik tersebut terjadi di wilayah yang terbelakang secara peradaban? Belum ada jawaban atas pertanyaan ini. Jawaban yang cukup masuk akal akan pertanyaan ini adalah berdasarkan rentan waktu munculnya peradaban.
Asia dan Afrika adalah dua benua yang memiliki sejarah peradaban tertua di dunia. dan secara tidak sengaja, kedua benua ini memiliki berbagai macam etnis,ras, ataupun suku bangsa. Tentu saja hal ini tidak dapat ditemui di benua Amerika yang merupakan “peradaban baru” bentukan Eropa. Peradaban-peradaban ini sejak dahulu selalu terlibat perang suku. Celakanya, perang antar suku dan ras yang terjadi ini menyimpan dendam diantara semua pihak yang bertikai dan masih terbawa hingga kini. Dengan demikian, Wolff menyimpulkan bahwa “ethnic conflicts are based on ancient hatreds between groups fighting in them and that”. Sebagian kecil konflik yang terjadi adalah akibat isu kontemporer politik ataupun agama.
Konflik Antar Etnis di Indonesia
Beragamnya suku, agama, ras, dan golongan membuat Indonesia sebagai bangsa yang rawan konflik. Dari ujung timur sampai ujung barat bangsa ini sering kali terdengar jerit tangis bahkan tetesan darah menyelimuti Tanah Air. Semboyan yang terdapat di kaki kuat sang Burung Garuda “Bhineka Tunggal Ika” nampaknya belum menjiwai seluruh warga bangsa ini.[11] Rasa satu kesatuan sebagai warga negara bukanlah hal yang utama, melainkan arti kata semboyan bangsa ini hanya sekedar wacana belaka. Beberapa peristiwa akibat konflik setelah lengsernya otoritas orde baru dan lahirnya era reformasi adalahsebagai berikut :
a. Krisis Aceh dengan adanya Gerakan Aceh merdeka (GAM).
b. Krisis Ambon yang memicu perpecahan bangsa karena keyakinan.
c. Krisis Poso di Sulawesi Tengah.
d. Gerakan Papua Merdeka
e. Peristiwa Dayak-Madura di Kalimantan Tengah.
f. Peristiwa Ketapang di Jakarta.
g. Peristiwa Bom Bali.
h. Peristiwa seputar Jemaah Ahmadiyah.
i. Peristiwa Monas di Jakarta.
j. dan timbulnya lagi krisis Ambon saat ini.
Sebenarnya masih banyak peristiwa lain yang terjadi akibatkonflik, seperti adanya tindak anarkis antara karyawan dan perusahaan, warga masyarakat dan perusahaan, dan aksi preman yang hampir di setiap kota besar terjadi.
Di balik konflik antaretnis di Indonesia yang memecahkan satu kesatuan bangsa jika ditelisik lebih mendalam terdapat sumbu yang membuat satu etnis dengan etnis lainnya hanya memperlihatkan rasa keaku-akuannya, rasa “kami”, dan “mereka”, mereka melihat etnis lain adalah kelompok luar darinya, dan etnis luar melihat etnis lain sebagai musuh baginya. Setiap konflik yang berujung SARA bermula dari konflik individu yang kemudian mengarah ke konflik kolektif yang mengatasnamakan etnis. Kasus konflik Tarakan, Kalimantan Timur, berawal dari salah seorang pemuda Suku Tidung yang melintas di kerumunan Suku Bugis, lantas di keroyok oleh lima orang hingga tewas karena sabetan senjata tajam. Konflik Tarakan menjadi memanas nyatanya tersimpan dendam ke Suku Bugis yang lebih maju menguasai sektor ekonomi. Faktor ekonomi juga menjadi penyebab utama konflik di bangsa ini, dalam kasus sebuah klub kafe di Bilangan Jakarta Selatan “Dari Blowfish Ke Ampera” antara Suku Ambon dan Suku Flores yang berawal dari perebutan jasa penjaga preman hingga konflik tersebut mengarah ke konflik etnis. Sampai pada Sidang Pengadilan masing-masing pihak yang bertikai masih menunjukan etnosentrisnya.
Penguasaan sektor ekonomi memicu besarnya sentimen etnis dan adanya prejudice membuat konflik meranah ke agama. Konflik agama yang terjadi di Poso jika ditelusi secara mendalam bermula dari pertikaian pemuda yang berbeda agama yang sedang mabuk hingga karena sentimen kepercayaan hingga merambah ke konflik etnis dan agama. Konflik Poso kian memanas ketika provokasi akan adanya masjid yang dibakar oleh umat kristiani, agama memang sangat rentan. Aparat Pemerintah bukanya sebagai penengah namun ikut andil dalam konflik ini. Nampaknya kesenjangan sosial ekonomi dari pendatang yang sebagai mayoritas menguasai sektor ekonomi membuat konflik menjadi lebih memanas.
Ketidakmerataan penyebaran penduduk juga dapat menimbulkan masalah. Kepadatan penduduk yang mendororong etnis Madura melakukan migrasi ke Pulau Kalimantan. Di mana masih membutuhkan kebutuhan akan Sumber Daya Manusia untuk mengolah kekayaan alam dan membangun infrastruktur perekonomian. Pencapaian atas kerja keras, hidup hemat bahkan penderitaan yang dirasakan etnis Madura terbayarkan sudah ketika keberhasilan sudah ditangan. Dengan menguasai sektor-sektor perdagangan sehingga orang-orang non Madura yang lebih awal bergerak di bidang itu terpaksa terlempar keluar.
Alternatif dalam menyatukan etnis di Indonesia dengan mengadakan akomodasi merupakan solusi yang tepat untuk menyatukan bangsa yang besar ini. KH. Abdurahman Wahid mengungkapkan “Sebuah bangsa yang mampu bertenggang rasa terhadap perbedaaan-perbedaaan budaya, agama, dan ideologi adalah bangsa yang besar” untuk mewujudkan integrasi antaretnis di Indonesia dengan mutual of understanding, sehingga semboyan yang mencengkram dalam kaki kuat Burung Garuda bukanlah wacana lagi.
Soulusi Penyelesaian Konflik Antar Etnis
Konflik antar etnis di Indonesia harus segera diselesaikan dan harus sudah ada solusi konkritnya. Dalam bukunya Wirawan dengan judul Konflik dan Menejemen Konflik, Teori, Aplikasi, dan Penelitian menjelaskan bagaimana cara menyelesaikan konflik antar etnis yang ada di sebuah Negara. Pertama, melalui Intervensi pihak ketiga. Dimana keputusan intervensi pihak ketiga nantinya final dan mengikat. Contoh adalah pengadilan. Kedua, Mediasi. Mediasi ini adalah cara penyelesaian konflik melalui pihak ketiga juga yang disebut sebagai mediator. Ketiga, Rokosialisasi. Proses penyelesaian konflik dengan transormasi sebelum konflik itu terjadi, dimana masyarakat pada saat itu hidup dengan damai.[12] Adapun cara lain dalam menyelesaikan konflik yang ada, yakni:
1. Konflik Itu Harus di Management Menuju Rekonsiliasi
Konflik memang bukan sesuatu yang diharapkan oleh setiap orang yang hidup di dunia ini. Apa lagi konflik yang bernuansa karena perbedaan agama yang dianut dan pebedaan etnis. Konflik yang demikian itu memang suatu konflik yang sangat serius. Untuk meredam wajah bahaya dari konflik itu, maka konflik itu harus dimanagement agar ia berproses ke arah yang positif. Dr. Judo Poerwowidagdo, MA. Dosen Senior di Universitas Duta Wacana Yogyakarta menyatakan bahwa proses konflik menuju arah yang positif itu adalah sbb: Dari kondisi yang “Fight” harus diupayakan agar menuju Flight. Dari kondisi Flight diupaykan lagi agar dapat menciptakan kondisi yang Flaw. Dari Flaw inilah baru diarahkan menuju kondisi Agreement, terus ke Rekonsiliasi. Karena itu, masyarakat terutama para pemuka agama dan etnis haruslah dibekali ilmu Management Konflik setidak-tidaknya untuk tingkat dasar.
2. Merobah Sistem Pemahaman Agama.
Konflik yang bernuansa agama bukanlah karena agama yang dianutnya itu mengajarkan untuk konflik. Karena cara umat memahami ajaran agamanyalah yang menyebabkan mereka menjadi termotivasi untuk melakukan konflik. Keluhuran ajaran agama masing-masing hendaknya tidak di retorikakan secara berlebihan. Retorika yang berlebihan dalam mengajarkan agama kepada umat masing-masing menyebabkan umat akan merasa dirinya lebih superior dari pemeluk agama lain. Arahkanlah pembinaan kehidupan beragma untuk menampilkan nilai-nilai universal dari ajaran agama yang dianut. Misalnya, semua agama mengajarkan umatnya untuk hidup sabar menghadapi proses kehidupan ini. Menjadi lebih tabah menghadapi berbagai AGHT (ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan) dalam menghadapi hidup ini. Rela berkorban demi kepentingan yang lebih mulia. Tidak mudah putus asa memperjuangkan sesuatu yang benar dan adil. Tidak mudah mabuk atau lupa diri kalau mencapai sukses. Orang yang sukses seperti menjadi kaya, pintar, menjadi penguasa, cantik, cakep, memiliki suatu power, merasa diri bangsawan. Semuanya itu dapat menyebabkan orang menjadi mabuk kalau kurang waspada membawa diri. Hal-hal yang seperti itulah yang sesungguhnya lebih dipentingkan oleh masyarakat bangsa kita dewasa ini.
3. Mengurangi Penampilan Berhura-Hura dalam Kehidupan Beragama.
Kegiatan beragama seperti perayaan hari raya agama, umat hendaknya mengurangi bentuk perayaan dengan penampilan yang berhura hura. Hal ini sangat mudah juga memancing konflik. Karena umat lain juga dapat terpancing untuk menunjukan existensi dirinya bahwa ia juga menganut agama yang sangat hebat dan luhur.
4. Redam Nafsu Distinksi Untuk Menghindari Konflik Etnis.
Setiap manusia memiliki nafsu atau dorongan hidup dari dalam dirinya. Salah satu nafsu itu ada yang disebut nafsu Distinksi. Nafsu Distinksi ini mendorong seseorang untuk menjadi lebih dari yang lainya. Kalau nafsu ini dikelola dengan baik justru akan membawa manusia menjadi siap hidup bersaing. Tidak ada kemajuan tanpa persaingan. Namun, persaingan itu adalah persaingan yang sehat. Persaingan yang sehat itu adalah persaingan yang berdasarkan noram-norma Agama, norma Hukum dan norma-norma kemanusiaan yang lainya. Namun, sering nafsu Distinksi ini menjadi dasar untuk mendorong suatu etnis bahwa mereka adalah memiliki berbagai kelebihan dari etnis yang lainya. Nafsu Distinksi ini sering membuat orang buta akan berbagai kekuranganya. Hal inilah banyak orang menjadi bersikap sombong dan exlusive karena merasa memiliki kelebihan etnisnya.
Untuk membangun kebersamaan yang setara, bersaudara dan merdeka mengembangkkan fungsi, profesi dan posisi, maka dalam hubungan dengan sesama dalam suatu masyarakat ada baiknya kami sampaikan pandangan Swami Satya Narayana sbb: “Agar hubungan sesama manusia menjadi harmonis, seriuslah melihat kelebihan pihak lain dan remehkan kekuarangannya. Seriuslah melihat kekurangan diri sendiri dan remehkan kelebiihan diri”. Dengan demikian semua pihak akan mendapatkan manfaat dari hubungan sosial tersebut. Di samping mendapatkan sahabat yang semakin erat, juga mendapatkan tambahan pengalaman positif dari sesama dalam pergaulan sosial. Dengan melihat kelebiihan sesama maka akan semakin tumbuh rasa persahabatan yang semakin kekal. Kalau kita lihat kekurangannya maka kita akan terus merasa jauh dengan sesama dalam hubungan sosial tersebut.
Bab III
Kesimpulan
Beragamnya suku, agama, ras, dan golongan membuat Indonesia sebagai bangsa yang rawan konflik. Dari ujung timur sampai ujung barat bangsa ini sering kali terdengar jerit tangis bahkan tetesan darah menyelimuti Tanah Air. Kalau konflik etnis itu terjadi terus terusan dalam sebuah Negara, maka Negara tersebut dapat dikatakan tidak bisa menciptakan ketentraman dan keamanan dalam negerinya. Maka dari itu masalah konflik etnis perlu diselesaikan secara cepat oleh pemerintah. Karena selain Negara yang mengalami kerugian, masyarakat sekitar daerah konflik tersebut pun akan mengalami kerugian pula.
Faktor faktor yang melatarbelakangi terjadinya konflik etnis seperti, kepentingan yang sama diantara beberapa pihak, perebutan sumber daya, sumber daya yang terbatas, kategori atau identitas yang berbeda, prasangka atau diskriminasi harus diselesaikan secara demokratik. Cara cara seperti rekonsialisasi dan mediasi harus dikedepankan. Penyelesaian konflik tanpa kekerasan inilah yang harus dilakukan, agar tidak jatuh banyak korban.
Kalau masalah konflik antar etnis telah bisa diselesaikan dengan baik, Negara dan masyarakatnya akan hidup tenang, tentram, dan aman. Saling menganggap bahwa satu sama lain yang ada didalam Negara adalah saudara akan membuat
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi, Konflik Baru Antar Peradaban: Globalisasi, Radikalisme, dan Pluaritas. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002.
Faturochman, Konflik: Ketidak-adilan dan Identitas. Yogyakarta : PPSK UGM, 2003.
Hidayat, Nurul (Mahasiswa Sosiologi UIN Jakarta), Konflik Antar Etnis di Indonesia, di post pada 13 April 2011 dari http://sejarah.kompasiana.com/2011/04/13/menyelami-konflik-etnis-di-indonesia-355405.html
Liliweri, Alo, Sosiologi Organisasi. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997.
Paul, Doyle, Teori Sosial; Klasik dan Modern. Jakarta: PT. Gramedia, 1986.
Sukamd, Abdul Haris i dan Patrick Browslee, Migrasi Buruh di Indonesia, Politik dan Praktis. Yogyakarta: Population Studies Centre Gadjah Mada University, 2000.
Winardi, Manajemen Konflik; Konflik Perubahan dan Pengembangan. Bandung: Mandar Maju, 1994.
Wirawan, Konflik dan Menejemen Konflik, Teori, Aplikasi, dan Penelitian. Jakarta: Salemba Humatika, 2010.
[1] Azyumardi Arza, Konflik Baru Antar Peradaban: Globalisasi, Radikalisme, dan Pluaritas (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002), h. 16.
[2] Winardi, Manajemen Konflik; Konflik Perubahan dan Pengembangan (Bandung: Mandar Maju, 1994), h. 22.
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Alo Liliweri, Sosiologi Organisasi (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), h. 112.
[6] Doyle Paul, Teori Sosial; Klasik dan Modern (Jakarta: PT. Gramedia, 1986), h. 231.
[7] Abdul Haris Sukamdi dan Patrick Browslee, Migrasi Buruh di Indonesia, Politik dan Praktis (Yogyakarta: Population Studies Centre Gadjah Mada University, 2000), h. 125.
[8] Faturochman, Konflik: Ketidak-adilan dan Identitas (Yogyakarta : PPSK UGM, 2003), h. 56.
[9] Abdul Haris Sukamdi dan Patrick Browslee, Migrasi Buruh di Indonesia, Politik dan Praktis, h. 131
[10] Ibid, 135
[11] Nurul Hidayat (Mahasiswa Sosiologi UIN Jakarta), Konflik Antar Etnis di Indonesia, di post pada 13 April 2011 dari http://sejarah.kompasiana.com/2011/04/13/menyelami-konflik-etnis-di-indonesia-355405.html
[12] Wirawan, Konflik dan Menejemen Konflik, Teori, Aplikasi, dan Penelitian (Jakarta: Salemba Humatika, 2010), h. 184-186.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H