......
Judith sedang berjalan melewati trotoar dan menyapa beberapa orang yang ia lewati. Kemudian, ada seorang anak lelaki yang menghampirinya. "Hey Judith! Kau sedang apa di kota? Bukannya kau baru saja belanja dengan pastoor Agthoven kemarin lusa? Kenapa bawa keranjang?" Judith tersenyum dan menepuk pundak lelaki itu. "Hey Ad, tidak, aku hanya ingin membeli beberapa tanaman herbal dari toko milik mevrouw Van Hove di sana. Mau menemaniku?" Ad tersenyum, ia telah mengenal Judith sejak masih anak-anak, sehingga ia menjadi teman yang sangat dekat. "Tentu Judith. Ayo."
Mereka berdua memasuki sebuah toko kecil yang memiliki banyak tanaman-tanaman unik yang dipajang di dalam sebuah ruangan yang mirip sebuah rumah kaca. "Goeiemorgen Judith. Ada yang bisa aku bantu?" Jawab seorang wanita paruh baya yang menunggu dibalik mesin kasir. Judith mengeluarkan sebuah kertas dari kantong bajunya dan menyerahkannya kepada Van Hove. "Aku ingin membeli beberapa tanaman ini mevrouw." Mevrouw Van Hove melihat kertas tersebut dan tersenyum. "Baik, akan aku berikan ekstraknya, kalian berdua tunggu saja sebentar di sini." Ia pergi ke dalam sebuah kamar di belakang kasir.
Setelah beberapa lama, Judith dan Ad keluar dari toko. "Aloe Vera ini bisa dibuat sebagai racikan untuk menyembuhkan luka, kau tahu itu?" Ad menguap dan menaruh kedua tangannya di belakang kepalanya, kelihatannya bosan. "Iya tahu, kau sudah menjelaskannya ke teman-teman sepertinya sudah seribu kali. Kau kalau tidak membahas agama ke teman-teman yang jelas tidak tertarik pasti berbicara tentang berbagai macam tanaman herbal yang dijelaskan oleh bapak angkatmu itu." Judith mendesah dan memukul pundak temannya itu. "Hey, setidaknya aku berusaha membantu teman-temanku."
Kemudian, sebuah mobil berhenti di samping mereka, seorang pria dengan syal putih dengan topi hitam keluar dari mobil. "Maaf anak-anak, saya ingin bertanya, apakah kalian kenal dengan wanita ini?" Ia menyodorkan sebuah foto, yang terlihat memiliki rambut berwarna terang, dan kelihatannya sedang duduk di dalam sebuah ruangan dengan banyak orang. "Ini, bukannya juffrouw Anna?" Kemudian, terdengar suara lain yang tiba-tiba berteriak. "Robert! Ini dia!" Kemudian orang yang diteriaki langsung melemparkan sebuah kaleng yang tiba-tiba mengeluarkan asap tebal. Judith langsung terbatuk-batuk dan dapat merasakan dirinya diseret kedalam mobil, dengan mulut yang disekap rapat. Mobil tersebut langsung melaju cepat. Ad, yang masih terbatuk batuk, kaget dan mengejar mobil tersebut. "Judith!!!" Namun sia-sia, mobil tersebut langsung menghilang di pojok bangunan. "Sial, aku harus beritahu polisi!" Ia pun segera berlari menuju pos polisi terdekat.
......
?????
Aku melihat kegelapan total, tanganku terikat sangat kencang sampai-sampai tidak bisa digerakan sama sekali. Nafasku mulai terasa pengap, namun terdengar suara laki-laki yang terdengar kasar. "trek de zak uit, laat me haar gezicht zien." (Lepaskan karungnya, aku ingin melihat wajahnya). Cahaya terang langsung menyinari mataku. Aku melihat sekeliling, termyata aku berada di sebuah ruangan gelap yang memiliki dinding batu abu-abu dengan penerangan yang minim oleh sebuah lampu minyak yang bersinar di atasku. Di ujung ruangan ada sebuah mebel yang memiliki sebuah guci yang terlihat mahal ditaruh di atas permukaannya. "Wah, dia rupanya cantik juga ya..." Kata seorang lelaki berambut pirang yang memakai sebuah syal, syal putih itu! "Juffrouw, kau ini punya wajah yang cukup eksotis ya... Sungguh manis..." Ia menjulurkan tangannya dan meraba-raba pipiku, sialan. Aku mengigit jarinya, membuatnya kaget. "Perempuan bajingan!" Ia menendang kursi tempat aku diikat dan membuatku terdorong hingga ke lantai. "AAKH!" Teriakku, untung saja sandaran kepala kursiku menahan kepalaku sebelum menyentuh lantai. Kepalaku terasa pening sesaat ia menarik kursinya kembali. "Oke.... Kau ini perempuan menggelikan, tapi badanmu sangat bagus... bagaikan jam pasir...." Kali ini ia meraba-raba pinggangku. Aku hanya bisa meringis dan sedikit mengeluarkan air mata, jelas sekali merasa jorok dengan kelakuan orang ini. Ia membuka coatku dan melihat kemeja hijauku. "Hmm.... tidak terlalu besar, tapi cukup." Mukaku memerah namun tetap terlihat marah. Ia kemudian berusaha untuk melepas kancing bajuku, bangsat... tamat sudah wibawaku...
Kemudian, pintu terbuka dan seorang perempuan muda mengenakan jaket wol hitam memasuki ruangan, ia memiliki rambut pirang pendek yang hanya mencapai ujung lehernya, dan terlihat diikat dari adanya dua ujung pita. "Robert, Robert, waar ben je mee bezig? Haar zo lastig vallen heeft geen zin! Je wilt dat ze sterft voordat ze kan praten, he!?" (Robert, Robert, apa yang kamu lakukan? Melecehkan dia seperti itu tidak akan memberikan apa-apa! Kamu mau dia mati sebelum bicara!?). Perempuan itu berbicara dengan aksen yang sedikit aneh, yang aku tidak pernah dengar sebelumnya. Robert langsung terlihat cemas. "M, maaf bos! Aku akan pergi saja." Ia merapikan bajunya dan berjalan keluar, "Sana, urus yang lainnya juga."
Robert keluar ruangan dan menutup pintu. Perempuan itu kemudian mengambil satu kursi dan duduk di depanku. "Hallo, juffrouw, maaf aku datang terlambat, orang itu memang bagaikan pecandu opium, kau tidak berikan apa yang ia inginkan, ia akan melakukan apa saja." Aku menatapnya dengan muka masam. "Begitu ya. Kalau gitu tolong jelaskan, kenapa aku berada di sini, apa kau Zwijgende Jongens?" Ia hanya menatap sebentar, mengeluarkan sebuah kotak rokok. "Harusnya aku yang bertanya begitu, kau ikut campur dalam masalah yang sangat besar yang seharusnya kau bisa hindari dengan belajar di Leiden layaknya orang normal, tapi kau memilih menjadi berandal dan merepotkan dirimu sendiri." Aku tidak menjawab. Suasana menjadi hening selama beberapa detik dan ia kemudian menyulut rokoknya dan menaruhnya di mulut.
"Sudahlah, ini memakan waktu lama." Ia berdiri dan mengeluarkan sepucuk Mauser 1914, menarik larasnya dan menodongnya padaku. Sial, sial, sial sial!. Ia berjalan menuju belakang kursi dan perlahan melepaskan ikatan. "Jalan." Ia menyuruhku. "Tidak, tidak akan!" Teriakku. DOR!. Guci di atas mebel langsung pecah berkeping-keping dan membuat sedikit debu beterbangan. Mataku langsung terbelalak dan menutup mulut dengan kedua tangan. "Jalan saja, anak dungu." Katanya sinis.