Stof en Rook (Debu dan Asap)
20 Desember, 1920. Pinggiran kota Rotterdam, Republik Belanda.
Suasana gerbong kereta sangat sunyi, hanya terdengar suara getaran gerbong yang bergetar-getar dan terkadang suara peluit dari lokomotif uap. Aku duduk di sebelah sahabatku, Marlene Vroom. Aku mengenalnya sejak mendaftar di Universitas Leiden tahun lalu. Kami membawa koper berwarna cokelat yang ditaruh di sebelah diri masing-masing. Aku membuka koperku, sekedar berjaga-jaga, isinya barang-barang bepergian seperti baju dan kosmetik perempuan pada umumnya. Tanganku bergerak melewati tumpukan baju yang telah disusun rapih dan mengeluarkan sebuah pistol berukuran sedang, sebuah pistol Bergmann-Bayard berwarna perak berpegangan cokelat yang mengingatkanku pada teman-temanku ketika masih kecil di Hindia, di kota Makassar, Pulau Celebes. Tanah kelahiranku.
“Anna, baiknya kamu tidak membuat kita kena masalah sebelum sampai di Rotterdam.” Marlene berkata sambil menyenggol bahuku. Aku menatapnya sambil tersenyum. “Tenang saja Marlene, aku tidak mengisi pelurunya kok. Aku akan isi ketika sudah sampai nanti, lagi pula memangnya siapa yang akan menangkap kita, kalau kita saja satu-satunya penumpang di gerbong ini.” Marlene hanya cemberut mendengar kata-kataku dan menengok ke jendela dan melihat pemandangan luar yang gelap dan dihujani salju yang turun dengan tenang. Sambil menunggu kereta berhenti, aku mengeluarkan buku tulis kecilku dan mencatat apa saja yang telah terjadi hari ini, kebiasaanku sejak kecil.
Kereta api mulai memasuki peron stasiun, dimana kami melihat kanopi besar stasiun yang menunjukkan kemegahan dengan desain melengkung yang indah namun bernuansa sepi karena hanya sedikit orang yang terlihat berlalu-lalang di pelataran peron, bagaikan tempat berhantu. Kami bersiap-siap dan mengambil koper, sambil menunggu kereta berhenti sempurna. Kemudian kami berdua berjalan keluar dan pergi menuju pintu keluar stasiun. Aku meraih saku dada trench coat krem milikku dan mengeluarkan sebuah amplop putih yang segelnya telah dibuka. “Jalan Sint. Laurens, no 23. Di sana kita akan menemukan sebuah ruko berpintu merah dengan pinggiran putih.” Kataku pada Marlene. “Hmm, tidak terlalu jauh dari sini, kita bisa jalan kaki.” Kami berjalan melewati langit malam Rotterdam yang terlihat sibuk dengan mobil-mobil dan pejalan kaki yang berlalu lalang. Suasana kota yang penuh dengan bangunan-bangunan bergaya Rennaisance menghiasi jalanan. “Sungguh kota yang indah, kalau saja kita di sini hanya berlibur, pasti benar-benar asik ya, bisa jalan-jalan berdua.” Aku tersenyum melihat Marlene. Marlene tertawa kecil. “Iya kan? Aku jarang keluar dari Leiden jadinya agak tidak paham bagaimana rasanya bisa berlibur, tapi kau tahu, kita disini tidak untuk wisata. Mahasiswi seperti kita yang seharusnya belajar tekun, tapi lebih memilih masa depan negara ini dengan mendukung V.C.” Aku mengangguk. “Govert Meijer adalah pemimpin yang keji, pasukan kematiannya, Zwijgende Jongens tidak loyal pada negara, melainkan pada dirinya dan kebal hukum. Mereka telah membunuh banyak pihak oposisi, bahkan yang hanya sekedar protes damai. Pasukannya-lah yang membunuh teman-temanku ketika terjadi protes besar di Leiden musim gugur lalu.”. Tahun 1910, Mayor-Jenderal Govert Meijer dari Koninklijke Landmacht melakukan kudeta militer menjatuhkan pemerintahan perdana menteri Theo Heemskerk dan mengambil alih pemerintahan sebagai “Pemimpin Revolusi Negara”. Ia tidak populer di kalangan rakyat karena kebijakannya yang mengekang dan militeristik, pembredelan surat kabar yang menentangnya dan menempatkan Zwijgende Jongens sebagai “pembantu polisi” yang kerap bertindak semena-mena seperti merampok rumah penduduk dan membunuh orang-orang tanpa alasan jelas secara acak.
Saat itu, aku sedang berjalan melewati kampus menuju rumah kontrakkanku ketika melihat banyak orang menempati jalan utama Leiden, kebanyakan mahasiswa dan beberapa orang biasa. Aku paham mereka sedang apa karena sudah diberitakan di dalam kampus bahwa akan ada demonstrasi berskala besar untuk menuntut penurunan Jenderal Govert Meijer sebagai “Pemimpin Revolusi Negara”. Awalnya demonstrasi yang terjadi di depan balai kota Leiden tersebut berjalan lancar dan banyak orang memberikan dukungan, namun hal mengerikan tetap terjadi dengan intervensi polisi militer. Pasukan polisi militer tersebut melepaskan tembakkan kepada para demonstran. Teriakan, tembakan dan baku hantam terus-menerus terjadi hingga membuatku membatu di tempat, namun badanku ditarik oleh tiada lain selain Marlene yang menarikku ke sebuah kafe untuk berlindung. “Apa-apaan kamu Anna!? Kamu ingin mati!?” teriaknya. “A..aku tidak tahu bakalan sampai berdarah-darah begini! Bukannya polisi militer tidak boleh melepas tembakan!? Teman-temanku mati semua!” tanyaku ketakutan dan menutup mukaku dengan tangan. Marlene masih terlihat marah. “Kau pikir Zwijgende Jongens bakalan peduli pada hal itu? Jangan naif, na!” Kami berlari keluar dari kafe tersebut secara sembunyi-sembunyi, menghindari polisi militer dan bersembunyi di rumah milik Marlene. Selama perjalanan menuju rumahnya aku melihat banyak mayat teman-temanku yang digantung mengenaskan di atas tiang lampu dengan beberapa bagian badan yang hilang ataupun berserakan di jalanan, membuatku nyaris muntah. Peristiwa tersebut membuatku banyak berpikir, apakah ada yang bisa aku lakukan agar tidak menjadi pengamat saja seperti tadi?. “Marlene, ada yang ingin aku katakan.” Kataku ketika mengunci pintu rumah, Marlene hanya menatap, seakan menunggu jawaban. “Aku ingin membantu mereka, aku menyesal hanya bisa menonton teman-temanku meninggal tanpa bisa melakukan apa-apa. Aku ingin melawan orang-orang jahat itu.” Marlene menatapku, kemudian mendesah. “Kamu keras kepala juga ya...” Ia berpikir sejenak, karena ia jelas tidak ingin aku mati namun aku tetap bertekad membantu. “Baiklah. Soal kamu ingin membantu. Kau terbiasa menulis kan?” Aku menatapnya heran, namun tetap mengangguk. “Kalau begitu, datanglah bersamaku besok di rumah temanku. Kau dapat membantu kami, meraih keadilan.” Ia mengajakku bergabung ke dalam sebuah perkumpulan, yang akan mengubah nasib banyak orang. Aku menyetujui ajakannya.
Setelah beberapa menit, kami sampai di jalan Sint. Laurens dan mencari bangunan ruko yang dimaksud. Ada ruko yang memiliki sebuah pintu berwarna merah dengan warna putih di bagian pinggirnya. Marlene mengetuk pintu dan tidak lama kemudian, ada seorang pria yang menjulurkan kepalanya di celah pintu. “Marlene Vroom?, kami sudah menunggumu. Ini siapa?” tanya orang tersebut penuh curiga. “Dia Anneliese Jan Frederik, anggota baru, sudah kuberitahu Lukas soal dia.”. Aku yang merasa sedikit kesal menunjukkan amplop berisi alamat ruko ini untuk mencoba membuktikan aku dapat dipercaya. Pria tersebut hanya menatapku datar, yang membuatku sedikit merasa gugup. “Baik, silahkan masuk.”. Ia membuka pintu dan mempersilahkan kami masuk.
Kami melewati sebuah koridor, melewati ruang keluarga yang kosong dan memasuki gudang yang luas dan remang. Kami melihat sebuah ruangan luas dengan beberapa kursi yang mengelilingi meja kayu persegi panjang. Beberapa orang telah duduk di kursi-kursi tersebut, seperti menunggu kami. Seorang pria tinggi berambut keriting berkacamata berdiri dari kursinya dan menjabat tangan kami berdua. “Terima kasih Marlene, sudah dapat datang jauh-jauh dari Leiden, silahkan duduk. Kau juga, nona Frederik.” Aku mengangguk dan merasa terkesan dengan gaya bicaranya yang sopan selagi mengambil kursi kosong, mengeluarkan sebuah buku catatan kecilku dan menunggu rapat dimulai.
Aku melihat sekeliling ruangan dan menemukan bahwa hanya kami berdualah perempuan di dalam ruangan ini, dan hanya kami dan pria berkacamata tersebut yang terlihat muda. Pria tersebut kembali berdiri dan meletakkan sebuah bedil di hadapannya, diikuti lainnya dan kami berdua. “Baik saudara-saudara, bagi para anggota baru V.C., akan kuperkenalkan diriku. Namaku Lukas Braam, pimpinan V.C cabang Zuid-Holland. Kalian sudah tahu, V.C, kependekan dari Verenigde Coalitie, bermula dari serikat mahasiswa Belanda yang menolak kepemimpinan rezim militer Govert Meijer. Leiden, Amsterdam, Groningen, Delft, hingga Maastricht menyatukan kekuatan untuk membentuk kelompok bawah tanah anti pemerintah. Seiring berjalannya waktu, kami dapat menghubungkan kontak-kontak yang mendukung gerakan ini mengumpulkan dana untuk menyeludupkan senjata yang akan digunakkan untuk menghadapi polisi militer dan Zwijgende Jongens.” Braam kembali duduk. Marlene kemudian berdiri dari kursinya.
“Selanjutnya akan saya lanjutkan pembahasan rapat ini dengan agenda baru. Perkenalkan, namaku Marlene Vroom, mahasiswi ilmu sejarah Universitas Leiden dan ketua divisi informasi V.C. Saya telah mengutus beberapa anggota kita ke berbagai wilayah di Belanda dan Belgia untuk mendapatkan informasi yang kuat untuk membantu pergerakan kita baik dalam bentuk pengumpulan senjata maupun rekruitmen anggota.”
“Informan kami di Maastricht memiliki kontak dengan penyeludup senjata yang menjadi incaran berbagai negara di dunia, yakni Jane Millé, mantan kolonel Landcomponent Belgia yang membelot demi mendapatkan keuntungan besar dari perdagangan senjata ke berbagai wilayah baik negara maupun daerah koloni. Menurut informan, ia bersedia untuk menemui kita dan membahas mengenai persenjataan yang ia siap berikan dengan harga yang ia tentukan.”
Aku sejak tadi mencatat hal-hal penting dalam buku catatanku, banyak yang harus aku tulis sejak menjadi notulis pribadi Marlene. Braam mengangkat tangan. “Marlene, dari mana kita akan mendapatkan uang itu? Kita tidak punya uang yang cukup untuk membeli senjata dengan simpanan V.C sekarang ini. Terutama setelah upaya kita dalam protes damai kita gagal dan menewaskan banyak anggota vital.” Marlene menaruh jarinya di depan bibirnya yang lembut. “Ada satu anggota penting yang tidak tewas, karena ia terkena demam tinggi pada saat protes terjadi. Salah seorang anggota tinggi Partai Buruh Belanda bernama-“
Belum sempat ia menjawab, terdengar suara dentuman langkah kaki setelah pintu ruko terdengar didobrak keras. “Godverdomme! Polisi!” Aku teriak. Semuanya langsung meraih senjata mereka dan bersiap-siap. Aku langsung mengisi peluru pistolku. Dua belas polisi militer berseragam abu-abu suram berdatangan membawa bedil-bedil mereka. “Kalian semua kami tangkap! Pemberontakan V.C sudah tidak ada! Sekarang kalian dalam penanganan pemerintahan revolusi!” Teriak komandan pasukan yang berdiri di depan. Kami tidak ingin menyerah begitu saja. DOR, bedil milik Braam menembakan peluru tepat ke salah satu polisi, tepat di dada. Baku tembak hebat mulai terjadi, banyak anggota kami yang tertembak dan bersimbah darah, termasuk Braam, yang kepalanya pecah berserakan. Aku dan Marlene bersembunyi di balik meja dan berusaha melawan. Aku berusaha menembak balik namun Marlene menarik tanganku keluar dari ruangan, aku tetap menarik pelatuk dan menembak, tidak tahu kena sasaran atau tidak.
Kami berlari keluar ruangan lewat pintu belakang menuju halaman kebun ruko. Marlene dengan cepat mengeluarkan sebuah amplop putih dari saku coatnya. “Anna! Bawa surat ini ke Vaals, di Limburg, beritahu Mark Vorster, kita butuh rencana lain jika ingin bertahan!” Marlene memberikan sebuah amplop cokelat padaku. Aku gemetar. “T-tapi kamu gimana Mar?” Ia memelukku, dengan lembut. “Maaf ya, Anna, aku tidak bisa menyelamatkanmu lagi...” Dari belakang, komandan polisi tersebut mencondongkan pistolnya dan menembak beberapa kali, darah mulai mengucur dari punggung Marlene, membuatnya muntah darah dan roboh. Matanya yang berwarna ungu elegan melotot dengan tegang. “Marlene!!” Aku tidak pikir panjang, langsung menembak balik komandan polisi itu dan membunuhnya, tepat di kepala. Aku terpaksa lari karena mendengar suara langkah kaki yang terus berdatangan. Sambil menangis, aku lari menyusuri kegelapan malam yang dingin dan bersalju tebal. Marlene... sahabatku...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H