“Informan kami di Maastricht memiliki kontak dengan penyeludup senjata yang menjadi incaran berbagai negara di dunia, yakni Jane Millé, mantan kolonel Landcomponent Belgia yang membelot demi mendapatkan keuntungan besar dari perdagangan senjata ke berbagai wilayah baik negara maupun daerah koloni. Menurut informan, ia bersedia untuk menemui kita dan membahas mengenai persenjataan yang ia siap berikan dengan harga yang ia tentukan.”
Aku sejak tadi mencatat hal-hal penting dalam buku catatanku, banyak yang harus aku tulis sejak menjadi notulis pribadi Marlene. Braam mengangkat tangan. “Marlene, dari mana kita akan mendapatkan uang itu? Kita tidak punya uang yang cukup untuk membeli senjata dengan simpanan V.C sekarang ini. Terutama setelah upaya kita dalam protes damai kita gagal dan menewaskan banyak anggota vital.” Marlene menaruh jarinya di depan bibirnya yang lembut. “Ada satu anggota penting yang tidak tewas, karena ia terkena demam tinggi pada saat protes terjadi. Salah seorang anggota tinggi Partai Buruh Belanda bernama-“
Belum sempat ia menjawab, terdengar suara dentuman langkah kaki setelah pintu ruko terdengar didobrak keras. “Godverdomme! Polisi!” Aku teriak. Semuanya langsung meraih senjata mereka dan bersiap-siap. Aku langsung mengisi peluru pistolku. Dua belas polisi militer berseragam abu-abu suram berdatangan membawa bedil-bedil mereka. “Kalian semua kami tangkap! Pemberontakan V.C sudah tidak ada! Sekarang kalian dalam penanganan pemerintahan revolusi!” Teriak komandan pasukan yang berdiri di depan. Kami tidak ingin menyerah begitu saja. DOR, bedil milik Braam menembakan peluru tepat ke salah satu polisi, tepat di dada. Baku tembak hebat mulai terjadi, banyak anggota kami yang tertembak dan bersimbah darah, termasuk Braam, yang kepalanya pecah berserakan. Aku dan Marlene bersembunyi di balik meja dan berusaha melawan. Aku berusaha menembak balik namun Marlene menarik tanganku keluar dari ruangan, aku tetap menarik pelatuk dan menembak, tidak tahu kena sasaran atau tidak.
Kami berlari keluar ruangan lewat pintu belakang menuju halaman kebun ruko. Marlene dengan cepat mengeluarkan sebuah amplop putih dari saku coatnya. “Anna! Bawa surat ini ke Vaals, di Limburg, beritahu Mark Vorster, kita butuh rencana lain jika ingin bertahan!” Marlene memberikan sebuah amplop cokelat padaku. Aku gemetar. “T-tapi kamu gimana Mar?” Ia memelukku, dengan lembut. “Maaf ya, Anna, aku tidak bisa menyelamatkanmu lagi...” Dari belakang, komandan polisi tersebut mencondongkan pistolnya dan menembak beberapa kali, darah mulai mengucur dari punggung Marlene, membuatnya muntah darah dan roboh. Matanya yang berwarna ungu elegan melotot dengan tegang. “Marlene!!” Aku tidak pikir panjang, langsung menembak balik komandan polisi itu dan membunuhnya, tepat di kepala. Aku terpaksa lari karena mendengar suara langkah kaki yang terus berdatangan. Sambil menangis, aku lari menyusuri kegelapan malam yang dingin dan bersalju tebal. Marlene... sahabatku...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H