Mohon tunggu...
PANDU SALSABILA IRTIQOULIULYA
PANDU SALSABILA IRTIQOULIULYA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Salah satu Mahasiswi di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya yang aktif terjun di dunia Ekonomi Syariah, sekaligus menjadi Mahasantri dan Duta Santri di Pesantren Mahasiswa An-Nur Surabaya

Salah satu Mahasiswi di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya yang aktif terjun di dunia Ekonomi Syariah, sekaligus menjadi Mahasantri dan Duta Santri di Pesantren Mahasiswa An-Nur Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Vending Machine: Syafi'i vs Maliki

16 September 2024   12:10 Diperbarui: 16 September 2024   16:28 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Vending machine, inovasi modern yang memudahkan akses terhadap barang-barang sehari-hari, menimbulkan perdebatan menarik sehubungan dengan pandangan agama, terutama dalam konteks perbedaan pemikiran antara Imam Syafi'i dan Imam Maliki. Dalam kajian fiqih ekonomi, pertanyaan mengenai kesesuaian vending machine dengan prinsip-prinsip syariat sering kali muncul. 

Kritik terhadap vending machine dari sudut pandang Imam Syafi'i dan Imam Maliki membuka ruang untuk diskusi yang mendalam mengenai integrasi teknologi modern dengan prinsip-prinsip agama. Ini tidak hanya membahas legalitas teknologi, tetapi juga mengajukan pertanyaan fundamental tentang bagaimana pandangan agama dapat beradaptasi dengan kemajuan zaman tanpa mengorbankan prinsip-prinsip inti keagamaan.

Dengan perkembangan teknologi, dunia perekonomian kita mengalami perubahan corak-corak tersendiri. Salah satunya adalah teknis pelaksanaan jual beli yang beberapa tidak melisankan ijab dan qabul. Melainkan hanya dengan melalui tulisan, kode, isyarat, dan lain sebagainya. 

Dalam bahasa fiqih, transaksi semacam ini dikenal dengan bai' al-mu'athah, artinya jual beli tanpa ijab qabul atau persetujuan antara penjual dan pembeli. Kegiatan seperti itu sering terjadi di swalayan, supermarket, toko online atau mesin penjual otomatis. Implementasi akad bai' al-mu'athah di zaman ini ialah transaksi vending machine.

Sebelum membahas mengenai pandangan Imam Syafi'i dan Imam Maliki mengenai transaksi bai' al-mu'athah, kita harus memahami dulu pengertian transaksi tersebut. Bai' al-mu'athah terdiri dari dua kata Bahasa Arab, yaitu al-bai' dan al-mu'athah . Secara bahasa, kata al-bai' berarti menjual, menukar sesuatu dengan sesuatu lain. Sedangkan al-mu'athah berasal dari kata a'tha-yu'thi yang didefinisikan sebagai saling menyerahkan tanpa disertai akad.

Jual beli dengan sistem mu'athah ini merupakan jual beli yang hanya dengan penyerahan dan penerimaan barang tanpa disertai perkataan, ucapan, atau isyarat apapun yang menjadi sighat. Nama lain dari akad ini adalah bai' al-murawadhah yang berasal dari kata "ridha" yaitu saling meridhai dan tidak perlu adanya akad. Transaksi atau akad ini banyak menimbulkan polemik dan kontroversi di kalangan ulama fiqih. Ada tiga pandangan ulama berkenaan dengan transaksi ini.

Golongan pertama adalah mereka yang sepakat bahwa jual beli ini tidak sah. Pandangan ini dikemukakan oleh Imam asy-Syafi'i dan Imam az-Zahiri dan termasuk juga beberapa golongan Syiah. Pendapat Imam Syafi'i tentang jual beli semacam ini adalah :

(Ridho/rela itu tersembunyi, maka apa yang ditunjukkan oleh kata itu diperhitungkan, sehingga tidak diakhiri dengan suatu transaksi, melainkan dipilih untuk diakhiri dengan segala sesuatu yang disebut dengan jual beli)

Menurut mereka, bai' al-mu'athah ini tidak sah karena tidak ada dalil yang kuat untuk menyatakan aqad. Sebab kerelaan adalah suatu perkara yang tersembunyi dan tidak ada dalil yang dapat menyatakan demikian kecuali dengan lafadz. Menurut mereka, lafadz ijab qobul ialah dalil zahir yang shorih untuk menunjukkan ridho kedua pihak atas urusan jual beli.

Golongan kedua adalah pendapat yang tengah-tengah, yaitu dipegang oleh sebagian Ulama Madzhab Syafi'i dan sebagian Ulama Madzhab Hanafi. Oleh karena pendapat mazhab yang sebelumnya keras, maka sebagian golongan ulama Syafi'i seperti Ibnu Suraij dan ar-Ruyani serta termasuk Imam an-Nawawi, Al Baghawi dan Al-Mutawalli, mengatakan sah jual beli dengan cara menunjuk pada barang yang akan diperjual belikan yang sifatnya tidak mahal. Serta ketika sudah menjadi adat atau kebiasaan ('urf) yang terlihat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun