Entah dari mana ide itu, menebar paku di jalanan dan berharap mengenai ban setiap kendaraan yang melintas dan beberapa ratus meter di depan mereka siap menawarkan jasa. Yah, itulah fenomena di kota-kota besar sekarang ini.
Kadang timbul kebencian yang sangat besar kepada (maaf, bukan semua) mereka yang berprofesi sebagai tukang tambal. Apakah ban sepeda motorku yang ditembus paku beberapa yang lalu adalah karena ulah mereka saya tidak tahu. Tetapi bahwa yang menempel itu adal paku yang masih baru seakan memperjelas cerita-cerita yang memaksaku berprasangka tidak baik.
Suatu sore kubuktikan sendiri apakah memang demikian adanya. Kulewati beberapa ruas jalan dengan berjalan kaki. Benarlah adanya. Paku-paku itu disebar, siap melaksanakan tugas menembus setiap ban yang melintas. Kupungut beberapa paku sebanyak yang masih bisa kulihat.
Sambil menuliskan kisah kecil ini, kupandangi photo yang tergantung di kamarku. Bingkai gambar itu menempel ke tembok dengan beberapa paku yang gagal menunaikan tugasnya di jalanan. Â Dalam hati ada kemarahan, jengkel dan sekaligus miris. Berlagak main drama, kucoba bertanya kepada paku-paku bisu itu. Dan ternyata jawaban mereka sangat beragam, terangkum banyak hal. Ada kejahatan dan kebodohan. Jalan pintas dan kesesatan. Tetapi jangan salah, nilai perjuangan pun ada di sana. Perjuangan untuk survive. Hidup memang begitu kerasnya. Semoga saja fenomena ini mencapai titik jenuh dimana cara-cara jahat tidak lagi mendapat tempat untuk mencapai kabaikan...**)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H