[caption id="attachment_132124" align="alignleft" width="285" caption="Salah satu adegan dalam film Tendangan Dari Langit"][/caption] Sepakbola adalah sebuah bahasa yang universal, menjadi agama bagi beberapa orang, dan juga menjadi jiwa bagi orang-orang yang memang benar-benar hidup untuknya. Begitu pula bagi Wahyu, seorang remaja yang tinggal di desa Langitan, sebuah desa kecil di lereng-lereng perbukitan gunung Bromo. Wahyu hidup dari sepakbola, sebagai pemain sepakbola Tarkam, dirinya menjadi pemain dengan bayaran yang tergolong tinggi karena kualitasnya. Kualitasnya dalam bermain sepakbola yang kemudian harus membuatnya memilih cinta dan juga hidupnya. Wahyu merangkai semua cerita tentang rasa kasmaran berlanjut dengan patah hati, rasa kecewa berlanjut dengan tangis menggebu, rasa senang berlanjut dengan senyum bangga dalam proses yang apik, epik, dan elegan selama kurang lebih 90 menit. Itulah sebagian kecil potret kehidupan dari Wahyu, tokoh utama dalam film karya Hanung Bramantyo, "Tendangan Dari Langit". Beberapa hari yang lalu, saya menonton film ini tanpa ekspektasi yang tinggi. Selama ini saya tahu bahwa Hanung Bramantyo memang seorang sutradara dengan storytelling yang sangat baik. Dirinya dapat menyulap sebuah naskah cerita yang biasa-biasa saja menjadi sebuah film box office yang luar biasa. Bukannya saya terlalu memujanya, tapi memang seperti itulah adanya. Inilah faktanya. Film ini awalnya underrated bagi saya, karena belum pernah saya benar-benar puas saat menonton film Indonesia bertemakan olahraga. Garuda Di Dadaku menghancurkan bayangan saya menonton scene pertandingan sepakbola. Begitu pula dengan Romeo - Juliet karya Andibachtiar Yusuf yang memang menitik beratkan pada kehidupan para supporter sepakbola. Atas dasar itulah, saya menonton Tendangan Dari Langit tanpa ekspektasi apapun. Beberapa bagian mungkin dapat disebut tidak relevan dengan kehidupan warga Bromo pada kenyataannya. Seperti bagaimana bahasa Indonesia diutarakan dengan sangat baik oleh setiap orang di Bromo. Atau sebuah SMA di pegunungan mempunyai seorang murid anak pejabat di kota Surabaya. Bahkan murid tersebut hampir selalu menggunakan bahasa Inggris dalam percakapannya. Saya yakin bahwa Fajar Nugros sebagai penulis skenario sebenarnya sangat paham bahwa film ini akan jauh lebih "related" dan benar-benar mengimplementasikan kehidupan masyarakat Bromo apabila dibangun dengan dialog-dialog berbahasa Jawa dengan dialek khas Jawa Timuran. Tapi film ini memang ditujukan untuk menghibur, sehingga akan dialog pun akhirnya dibangun dengan bahasa Indonesia agar inti dari film ini dapat dimengerti oleh masayarakat luas yang tidak paham dengan bahasa Jawa. Yosie Kristanto yang memerankan tokoh Wahyu berhasil menghidupkan tokoh ini dengan sangat baik. Untuk ukuran sebagai seorang pendatang baru, tampaknya dia sangat berhasil di debutnya kali ini. Dia benar-benar menjadi Wahyu dalam film ini, bukan lagi sekedar menjadi Yosie Kristanto yang memerankan tokoh Wahyu. Jangan kaget apabila setelah film ini sukses di pasaran, orang akan lebih mengenalnya sebagai Wahyu bukan lagi Yosie. Menonton akting Yosie, seperti berkenalan dengan Wahyu. Seperti dekat dengan kehidupannya, dan tak ada jarak lagi antara penonton dengan filmnya. Saat keluar dari bioskop rasanya saya baru saja meninggalkan sekelompok orang yang baru saja berkenalan dengan saya di film tersebut. Film ini beres secara teknis dan juga luar biasa secara penggarapannya. Tendangan Dari Langit benar-benar memanfaatkan momentum yang ada. Di saat timnas Indonesia akan berlaga di Pra Piala Dunia 2014, film ini memberikan kita sebuah harapan. Harapan saya salah satunya adalah melihat Irfan Bachdim bermain sebagus dia bermain di film ini saat membela timnas nantinya. Atau mungkin akan muncul Wahyu-Wahyu lain yang memiliki kesempatan untuk unjuk gigi di klubnya. Indonesia adalah negara yang benar-benar mencintai sepakbola. Dalam nama sepakbola semua orang bersatu untuk satu tujuan, kemenangan dan kebanggaan. Wahyu dan warga Bromo adalah sebagian kecil contoh bagaimana sepakbola dapat mengubah semuanya. Bagaimana sepakbola memiliki nilai dan tempat khusus di masyarakat. Bagaimana sepakbola menjadi sebuah bahasa atas cinta. Film ini selesai, tidak ada yang dapat ditanyakan atas film ini. Kecuali jika ada pertanyaan-pertanyaan bodoh seperti, "Itu syutingnya pakai kamera apa ya?" Salam hangat. Pandhu Adjisurya (Director, writer)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H