Mohon tunggu...
Pandan Wangi
Pandan Wangi Mohon Tunggu... -

Pandan wangi (Pandanus amaryllifolius) adalah tanaman yang tidak pernah ingin menonjolkan diri. Penampilannya sangat sederhana, hanya daun yang liat, berwarna khlorofil polos tanpa ornamen. Tumbuhnya pun rendah merapat tanah dan tidak pernah menuntut perlakuan istimewa untuk kelangsungan hidupnya. Walaupun hidup di tengah comberan sekalipun, daunnya tetap memproduksi aroma wangi lembut yang sangat khas Indonesia. Daun pandan wangi tidak pernah menikmati kemewahan suasana jamuan makan, karena dia selalu dibuang jika aromanya sudah terekstrak dalam belanga nasi dan kudapan-kudapan lezat lainnya. Tetapi kelihatan ataupun tidak, aroma wanginya menyelusup lembut ke mana-mana.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Laporan dari Arisan Ibu-ibu Januari 2010: Apakah Terjadi “Stratifikasi Pendidikan” di Indonesia?

25 Februari 2010   00:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:45 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Setiap bulannya pada hari Sabtu minggu pertama, tepatnya pukul 4 sore,saya pasti tidak ada di rumah. Agenda penting di hari itu adalah arisan ibu-ibu kampung saya. Ada sekitar 20an ibu-ibu sekampung yang rajin datang arisan, termasuk saya. Masing-masing dengan keunikannya sehingga setiap pulang arisan, suami saya selalu menunggu-nunggu cerita saya dengan sangat antusias. Kata suami saya, berita-berita dari arisan saya itu lebih up to date daripada surat kabar online walaupun akurasinya dikategorikan sebagai ‘entahlah’.

Minggu pertama tahun 2010 ini arisan bertempat di rumah Bu Jinten. Pada saat saya nyelonong ke dapurnya, tidak ada sambutan meriah seperti biasanya, hanya menyapa basa-basi dalam bahasa Jawa ngoko yang akrab,

“Eh Bu Pandan Wangi, masih sepi ini Bu, belum ada yang datang.”

“Ada apa to Bu, kok cemberut? Gak enak badan?”

Bu Jinten menghela napas,

“Mumet aku Bu …”

“Lha mau saya keroki dulu atau gimana, mumpung yang lain belum datang?”

Bu Jinten tertawa,

“Sampeyan itu ndeso-nya pancen gak ilang-ilang … bukan mumet masuk angin, Bu! Pusing aku mikir sekolah anak-anak”

“Lha yang dipusingkan apa lagi to, Bu? Wong putra-putranya pinter-pinter begitu. Kan semua berhasil masuk ke sekolah favorit to? Katanya malah ‘standar internasional’ segala … iya to, Bu?”

Bu Jinten menghela napas lagi. Wah serius ini kalau Bu Jinten yang biasanya selalu riang itu sampai kelihatan sedih begini,

“Sepertinya harusnya keluarga kami tahu diri. Kalau gak punya uang cukup ya gak usah mimpi-mimpi internasional segala. Pinter saja ternyata tidak cukup Bu, harus kaya juga. Terengah-engah je saya ini, ternyata pengeluarannya besar untuk membiayai pendidikan yang standar internasional”

Lalu Bu Jinten cerita. Berapa biaya yang dikeluarkan waktu masuk dulu. Berapa biaya yang dikeluarkan setiap semester untuk buku-buku baru. Biaya untuk laptop. Lho, kok laptop segala? Nah kata Bu Jinten, “Bu Pandan kapan-kapan ikut saya deh kalau jemput si Sulung, sekolahnya itu modern sekali, sekarang laptop itu sudah kebutuhan Bu, bukan kemewahan, soalnya kan ya memang harus mengikuti tuntutan jaman to Bu? PR-PRnya memang harus dikerjakan dengan komputer Bu … “ Lalu biaya untuk les bahasa inggris dan les pelajaran tambahan di luar sekolah. Lho??? Sudah bayar mahal kok masih perlu les di luar sekolah segala? Kata Bu Jinten lagi, “Kalau tidak begitu nanti ketinggalan pelajarannya di sekolah Bu, ini kelas yang sangat berat”.

Saya cuma bisa ndomblong, melongo. Apanya yang dibayar mahal kalau masih perlu les di luar sekolah???

Ibu-ibu yang lain pun mulai berdatangan dan menimbrung pembicaraan soal kecemberutan Bu Jinten sore itu. Akhirnya, masalah sekolah berstandar internasional menjadi tema utama infotainment arisan kami kali ini. Saya sudah sering membaca dan mendengar di media, tapi mendengar dari ibu-ibu ini jauh lebih menarik. Karena mereka adalah orang-orang yang melahirkan anak-anak yang mengalami jaman sekolah berstandar internasional ini dan tentunya paling berkepentingan pada masa depan anak-anak ini.

Bu Kenanga (yang parfumnya wangi sekali dan kata Jeng Mawar itu tandanya parfum mahal) berkomentar,

“Lha kualitas kan memang mahal harganya to Bu?”

“Artinya yang bisa mendapatkan pendidikan berkualitas itu cuma orang yang bisa mbayar mahal?” sergah Bu Kembang Soka.

“Lha jadi yang disebut ‘standar internasional’ itu fasilitasnya ya … lha kalau ibaratnya gini, kalau saya dikasih mobilnya yang dipakai Michael Schumacher itu, yang bikin dia berkali-kali jawara F1, apa ya njuk saya bisa jadi perempuan Indonesia pertama yang juara F1?” komentar Bu Kembang Sepatu. Anaknya 4 lelaki semua, sehingga dia lebih sering mengutip berita sport ketimbang cerita sinetron.

“Mbok ora podho waton ngeyel to,” sela Jeng Mawar dengan gaya sarkastik yang jadi trade mark-nya, “tidak berarti sekolah-sekolah yang tidak berstandar internasional itu lantas tidak mutu, Ibu-ibu … tapi mutunya itu mutu untuk apa dulu. Gini lho, Ibu-ibu, kan jelas ya judulnya standar internasional. Jadi itu lulusannya diakui sama dengan lulusan luar negeri, kalau mau neruskan di luar negeri lebih gampang. Lha tapi kalau gak niat neruskan di luar negeri, nek mau pejah-gesang ndherek republik Indonesia, ya nggak perlu standar internasional. Yang standar nasional saja. Sudah ada segmen pasarnya sendiri-sendiri, gitu lho Bu.”

Saya sudah bisa menduga, Bu Kembang Soka yang aktivis LSM (dulu waktu jaman mahasiswa termasuk yang rajin ikut demonstrasi) pasti langsung njegrak mendengar komentar Jeng Mawar itu,

“Hah, apa itu maksudnya Jeng? Kok ada segmentasi luar negeri dan dalam negeri itu maksudnya gimana?? Apalagi kok untuk segmen luar negeri diberlakukan standar yang LEBIH TINGGI. Itu sama saja mengatakan kalau ‘luar negeri’ itu sesuatu yang lebih mulia daripada ‘dalam negeri’. Makanya kalau mau mencapai kemuliaan ya harus punya modal lebih. Kok abad 21 begini mikirnya masih model bangsa terjajah …”

Jeng Mawar cemberut tapi tidak membantah. Saya tahu, di dasar hatinya dia mengakui bahwa Bu Kembang Soka benar. Saya juga setuju dengan Bu Kembang Soka.

Saya celingukan mencari Bu Kemuning. Ke mana orang itu, kok tidak terdengar suaranya. Bu Kemuning ini profesor di universitas terkenal di kota kami. Usianya akhir 40an tapi masih kelihatan sangat enerjik. Lebih dari 10 tahun hidupnya dijalani di luar negeri, untuk sekolah maupun bekerja. Baru di usia 30an dia memutuskan kembali ke tanah air dan jadi salah satu tetangga saya. Walaupun pernah lama di luar negeri, orangnya sangat sederhana dan bahasa jawa halusnya masih mlipis (dengan logat pantai utara yang eksotik). Tidak seperti kebanyakan orang yang lantas lebih lancar berbicara dalam bahasa asing daripada dalam bahasa ibunya sendiri. Oh itu dia, ternyata sedang sibuk mengunyah lemper.

“Bu Kemuning, njenengan dulu sekolahnya juga berstandar internasional ya?” tanya saya.

Ibu-ibu serentak memandang Bu Kemuning, seperti semua baru tersadar bahwa di antara kami ada bukti hidup tentang ‘kesuksesan go international’ yang bisa memberikan pencerahan, sebetulnya apa yang diperlukan untuk menembus batas-batas negara dengan berbagai konsekuensinya itu. Saking senyapnya sampai-sampai kami bisa mendengar Bu Kemuning menelan gigitan lempernya, gluk

“Ah Bu Pandan ada-ada saja … Lha saya ini produk Orde Lama je … mana ada standar-standaran pada masa itu. Saya ini SD-nya di SD ndeso di pinggir Alas Roban, Bu … Lalu karena menurut simbok saya, saya ini ringkih, tidak bisa disuruh kerja di sawah, maka waktu SMP saya dititipkan paklik di Pekalongan untuk kerja mbantu jaga toko sambil sekolah. Menurut Paklik saya, saya ini lumayan otaknya, jadi terus waktu SMA saya dibiayai Paklik sekolah di Yogya. Ini juga walaupun di Yogya tapi bukan SMA paling top, SMA ndeso juga, lha wong saya nggak ada yang mengarahkan. Itu pun saya nyambi kerja juga, Bu, karena ya maklum Paklik saya bukan orang kaya juga. Ya berat, tapi saya tekadkan, wong saya pengen jadi orang pinter. Lha ndilalah waktu lulus SMA kok saya lulus tes di UGM. Ndilalah lagi kok saya berhasil dapat beasiswa sampai lulus. Karena dapat beasiswa ditambah nyambi jadi guru les bimbingan belajar, uang saya agak longgar, jadi saya bisa les bahasa Inggris sambil kuliah. Ndilalah kok begitu selesai S1, saya dapat beasiswa lagi untuk sekolah master di Amerika. Itu pertama kalinya saya naik pesawat, Bu! Foto saya di airport masih dipasang sama simbok saya di kamarnya hahahaha … Lalu selesai master, saya mendapat beasiswa lagi untuk sekolah doktor di Belanda. Profesor saya merekomendasikan saya ke temannya di Amerika, jadi setelah selesai di Belanda, saya balik lagi ke Amerika dan bekerja 2 tahun di sana.”

“Kan tidak semua orang bisa seberuntung Bu Kemuning”, komentar Bu Kenanga, “Kalau orang kebanyakan, ya harus dipersiapkan betul jalannya Bu, tidak bisa hanya mengharapkan ‘ndilalah’ begitu … lha salah satu jalannya itu ya Sekolah Berstandar Internasional itu”

Ah Bu Kenanga ini memang terlalu sibuk dengan dirinya sendiri, sehingga tidak pernah memperhatikan bahwa Bu Kemuning memang suka menggunakan kata ‘ndilalah’ (kebetulan), sebagai ekspresi dari kerendahan hatinya.

“Kalau menurut saya kok yang diperlukan sebetulnya bukan standarnya itu ya,” akhirnya Eyang Jati Emas angkat bicara (ini sesepuh kami di kampung), “Tapi kompetensi dan motivasinya si anak. Kalau menurut Eyang yang orang kuno ini, yang bikin sekolah anaknya Bu Jinten mahal itu cuma cap-nya. Seperti celana jins merk LEPIS yang harganya selangit itu, sebetulnya kalau diperhatikan ya kualitasnya tidak ada bedanya dengan jins dalam negeri. Tapi karena ada ‘merk’-nya itu maka jadi mahal. Di mana-mana ya Bu,‘merk’ itu lebih menyangkut ‘kesan’, bukan ‘isi’ …”

Wah, jadi Sekolah Berstandar Internasional ini untuk meningkatkan daya saing lulusannya, atau daya saing sekolahnya dalam memperebutkan siswa? Jadi bingung saya.

Bu Kemuning bicara lagi, “Saya pernah ikut diskusi dengan seorang profesor dari Harvard. Siapa yang tidak kenal Harvard. Kurang standar apa Harvard itu coba. Kan Harvard itu sekolahnya presiden-presiden, pemimpin-pemimpin dunia, dan menjadi trendsetter standard di seluruh dunia. Nah si profesor ini berkata bahwa dalam dasawarsa terakhir ini, beberapa orang di Harvard mulai mempertanyakan sistem standarisasi mereka sendiri. Standar berdasarkan ‘angka-angka’ ini ternyata menjadikan Harvard SEMPURNA TAPI TAK BERJIWA. Baik mahasiswa maupun profesornya sibuk mengejar angka-angka dalam standar itu, sampai lupa bahwa ada banyak aspek lain untuk menjadi manusia utama.”

Kami diam, berusaha mencerna omongan ibu pintar ini.

“Dan lagi Bu,” tambah Bu Kemuning, “sepanjang 13 tahun saya di luar negeri, kok tidak pernah ada yang menanyakan ijazah-ijazah saya itu berstandar apa ya …” katanya sambil tersenyum manis, “bisa gawat kalau SMA ndeso saya yang tidak jelas standarnya itu dipandang menjadi cacat dalam kualifikasi saya. Tapi nyatanya bukan cap yang ditanyakan.”

Bu Kenikir, businesswoman kita, si juragan restoran dan katering, angkat bicara, “Kalau logika bisnisnya nih ya Ibu-ibu, gampang saja, kita bicara soal uang di sini … melihat trendbahwa sekolah berstandar internasional di Indonesia identik dengan biaya lebih, maka sebagai konsumen mestinya kita mendapatkan jaminan lebih atas masa depan anak kita juga. Gampangnya begini contohnya, saya gak bakalan mau beli gori di tempatnya Lik Mahmud lagi kalau gorinya ternyata boleng di dalam, walaupun ada capnya ‘gori berstandar internasional’ segala. Kalau mau diminta mbayar mahal, saya akan pastikan dulu, bener-bener gori internasional atau tidak. Dan yang jelas minta jaminan.”

“Saya ini cuma pengen pendidikan yang terbaik untuk anak saya. Lha saya kan orang bodoh, ya mikirnya kalau sudah internasional kan pasti yang paling bagus,” kata Bu Jinten lirih.

“Kalau yang seperti ini kita bisa dapat perlindungan dari Lembaga Konsumen nggak ya?” komentar Jeng Mawar Merah.

“Kebijakan pemerintah perlu diinvestigasi oleh Lembaga Konsumen???” sahut Bu Kembang Soka sambil tertawa terbahak-bahak. Kami pun cekikikan, karena celetukan Bu Kembang Soka itu artinya sudah sangat tipis bedanya antara ‘kebijakan’ dan ‘komersial’.

“Lha saya ini sudah telanjur, lalu bagaimana ya?” keluh Bu Jinten.

Akhirnya saya usul, “Lha sebetulnya orang tua murid kan bisa jadi lembaga konsumen juga to Bu … mbok dikritisi itu sekolahnya. Unek-uneknya jangan dipendam sendiri. Disampaikan ke sekolahnya. Lha wong Bu Jinten kan diperlakukan seperti ‘pembeli’ to oleh pihak sekolah … ada uang, ada kualitas. Ya berarti Bu Jinten berhak memperlakukan pihak sekolah seperti ‘penjual’ juga … pembeli tidak puas, uang kembali. Kalau sekolahnya tidak mempedulikan kritikan orang tua murid, tulis saja media, biar para calon konsumen yang menilai. Gitu, Bu!”

Jeng Mawar Merah mencolek saya, “Bu njenengan itu kelihatannya anteng tapi radikal”

“Lha sekarang ini semakin jauh gapnya antara pendidikan mahal dan pendidikan murah. Kok kayak jaman Belanda ya, hanya anak-anak inlander sangat kaya saja yang bisa sekolah bersama dengan sinyo-sinyo dan noni-noni. Yang lain di ‘sekolah rakyat’ saja, atau biar saja tidak sekolah, toh cuma inlander, gak usah dikasih yang bagus-bagus, wong nantinya cuma untuk diperas tenaganya sebagai kuli.”

“Bu Pandan, minum dulu nih,” Bu Kenikir menyodorkan teh saya sambil tertawa.

“Saya pernah baca artikelnya Bill Gates di internet,” celetuk Bu Kembang Soka, “katanya, pendidikan dasar dariSD sampai SMA di Amerika telah salah arah akibat filosofi ada uang ada kualitas yang telah berlangsung bertahun-tahun. Akhirnya terbentuk sekolah-sekolah elit sangat mahal dan sekolah-sekolah publik murahan sebagai dua kutub yang kualitasnya beda bumi dan langit. Akhirnya, yang bisa masuk perguruan-perguruan tinggi hanya lulusan elit ini, yang jumlahnya tentu sangat sedikit. Dampaknya mulai terasa sekarang di USA, populasi ilmuwan yang sangat diperlukan untuk posisi-posisi strategis makin berkurang dan mulai diisi oleh orang-orang asing, terutama dari India dan China. Sementara populasi yang kurang terdidik, sebagai produk dari sekolah-sekolah publik ‘tidak bermutu’ tadi makin banyak. Golongan ini seperti terjebak dalam lingkaran setan, tidak pernah bisa ‘naik kelas’ karena tidak pernah punya uang untuk mendapatkan pendidikan yang baik. Jadi ada wacana di Amerika, bahwa munculnya kelas-kelas vertikal dalam masyarakat, kelas gelandangan, pekerja kasar, dan orang-orang sekaya Bill Gates, itu adalah akibat dari stratifikasi dalam pendidikan.”

“Stratifikasi itu apa to, Bu?” tanya saya.

Bu Kembang Soka mengambil kue lapis di depannya, “Ini stratifikasi,” dia mengelupas lapisan yang paling atas, “yang paling atas, karena tidak ada tekanan, lembut, gurih, enak, “ katanya sambil mengunyah lapisan enak itu, “ini,” katanya sambil mengelupas lapisan yang paling bawah,”karena paling dekat dengan panas dan ditekan lapisan-lapisan di atasnya, jadinya bantat, keras … sering disisakan orang, tidak sudi makan yang keras begini. Padahal ini dari adonan yang sama. Hanya karena bagian ini sial saja berada di bawah.”

“Berarti Indonesia mau niru yang stratifikasi itu? Dengan segala macam sertifikasi itu kita sedang membuat stratifikasi??” tanya Jeng Mawar Merah.

Dalam perjalanan pulang dari arisan itu saya pusing, karena di kepala saya berdengung-dengung, “Sertifikasi? Stratifikasi? Sertifikasi? Stratifikasi?” Saat suami saya bertanya, ada gossip apa di arisan, saya jawab, “SERTIFIKASI MENUJU STRATIFIKASI”. Suami saya heran, “Aliran baru soal apa ini?”. Setelah saya selesai bercerita, suami saya berkomentar, “Potensi aliran sesat sepertinya”. Setelah beberapa saat berdiam diri, saya bertanya pada suami saya, “Anak kita mau disekolahkan ke mana?” Suami saya menjawab, “Kita investigasi dulu, teliti sebelum membeli, jangan sampai anak kita jadi kelinci percobaan.”

Di benak saya terbayang anak saya bagaikan kelinci dalam kotak pengap dengan cap ‘standar internasional’ diekspor ke Amerika. Saya bergidik ngeri sekali. Kalaupun kelak anak saya memutuskan untuk berkarya di luar Indonesia, saya ingin dia terbang bebas dengan gagah, sebagai Burung Garuda, dengan membawa kebanggaan Indonesia. Apakah memang perlu sekali ‘approval’ dari Cambridge International Education dengan berbagai konsekuensinya mahal sekali untuk keinginan saya itu? Apa tidak bisa tanya saja pada guru-guru Bu Kemuning, apa yang mereka ajarkan sehingga anak didiknya bisa sehebat itu? Mungkin karena generasi guru-guru Bu Kemuning itu memang sudah tidak ada lagi ..........

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun