[caption caption="Tri"][/caption]
Pagi tadi orang ramai-ramai nonton bareng fenomena Gerhana Matahari Total (GMT). Gerhana matahari terjadi karena posisi bulan terletak di antara bumi dan matahari, sehingga menutup sebagian atau seluruh cahaya mentari.
Dari hasil browsing singkat di Google, ternyata beberapa kebudayaan di dunia mempercayai gerhana matahari terjadi ketika setan atau hewan mengonsumsi matahari. Sekarang juga sama, hanya saja kini manusia yang mengkonsumsi matahari melalui jepretan kamera. Fenomena Gerhana Matahari Total pun menjadi sebuah hal yang sangat seksi untuk dijual dengan tajuk Wisata Gerhana. Seketika beberapa kota di Indonesia menjadi tempat tujuan wisata untuk menyaksikan langsung keindahan alam kala sang rembulan bercumbu dengan mentari. Kita menjadi saksi kisah cinta dua cahaya yang selalu saling melengkapi saat siang dan malam.
Para peneliti berbondong-bondong menuju kota-kota yang dilalui GMT demi penelitian, sama halnya seperti Pevita Pearce yang melancong ke Belitung untuk menikmati GMT. Sudah pernah ke Belitung? Segeralah menyusul, mumpung Pevita masih di sana.
Menurut saya, Belitung adalah pulau yang sangat ramah. Gara-gara Pevita, saya jadi ingat perjalan singkat ke Belitung untuk menghabiskan cuti tahun lalu. Kalau boleh jujur, saya bukan penggemar buku atau film Laskar Pelangi, karena menurut saya ceritanya terlalu berat. Untuk apa kita memikirkan anak-anak sekolah miskin di daerah jauh antah berantah? Wong di tempat kita ini, bangunan sekolah bisa berdiri megah.
Anak sekolah di Jakarta dan Belitung sama kok! Sama-sama anak sekolah. Bedanya, kisah Laskar Pelangi di Belitung mengangkat irisan cerita hidup tentang betapa semangatnya anak-anak berangkat sekolah meski penuh keterbatasan. Lalu, bagaimana dengan Jakarta dan kota-kota beruntung lainnya? Anak-anak yang biaya sekolah bulanannya puluhan juta, belum tentu punya semangat yang sama dengan anak-anak Laskar Pelangi.
"Untuk apa mengubah nasib kalau orang tua saya sudah kaya raya?
Belitung dan Mesin Waktu
Hal yang paling menarik dari Belitung selain mercusuar yang fenomenal dan deretan pantai batu yang indah adalah: Museum Kata Andrea Hirata. Museum sederhana ini menjadi mesin waktu sejak langkah kaki saya yang pertama. Flashback ke masa kecil, masa sekolah, masa yang katanya paling menyenangkan.
Ya, masa sekolah adalah ingatan yang tidak akan bisa dengan mudah dilupakan. Banyak kenangan indah bersama teman-teman sekolah, banyak permainan tradisional yang begitu mendekatkan kita. Generasi saya adalah generasi yang masih saling bersentuhan lewat fisik, bukan yang bersentuhan lewat layar gadget. Memang tidak jika adil membandingkan jaman dulu dengan jaman sekarang.
Tapi generasi sekarang yang sebagian besar hidupnya terhubung lewat internet malah terputus kontak fisik dengan orang-orang terdekat. Misal: