Hari Raya Idul Fitri kembali semarak di negeri kita, ritual tahunan bagi umat Islam yang tak hanya diwarnai hiruk-pikuk ibadah ritualistik dan spiritual, tetapi juga menyimpan nilai-nilai sosial dan kultural. Sungguh, Idul Fitri ibarat "rites of passage", ritus-ritus peralihan dari tahap-tahap penting berpuasa di bulan Ramadhan, merawat jiwa dari berbagai godaan fisik hingga tahap pelepasan yang mewujud dalam Idul Fitri. Ritus-ritus inilah kiranya bisa membangunkan individu untuk "melampaui" berjibun rintangan, lalu meraih "pencerahan" sehingga melahirkan elan vital baru dalam menapaki kehidupan selanjutnya. Setelah menjalankan "pelatihan rohani" dengan puasa sebulan penuh, datanglah Idul Fitri, yang berarti kembali ke fitrah yang secara spiritual digambarkan sebagai "kembali pada pusat spiritual". "Kembali ke fitrah" ini rasanya tak cukup ditafsir secara simbolik-spiritualistik yang mengawang-awang, tapi membumi di alam nyata, menjelma dalam bentuk berbondong-bondong menjelang Idul Fitri untuk melakukan perjalanan penuh onak duri kembali ke desa.
Setelah lama hidup di kota yang pengap, terpenjara oleh ritme kota yang kapitalistik serta berpeluh-peluh dalam berjuang demi karier hidup, kini masyarakat "siuman", tersadarkan kembali bahwa ada "habitat asali" yang harus diraih dan dirasakan kembali, yaitu kembali ke desa, kembali ke asalnya masing-masing. Di Idul Fitri kali ini, kita perlu turut melarutkan diri, menyambut dengan sigap dan sukacita semangat baru yang saat ini tengah digelorakan pemerintah melalui Kementerian Desa, yaitu lewat pencanangan "Desa Membangun". Semboyan baru ini haruslah mampu menyuntik gairah baru bagi bangsa kita untuk menumpahkan segala daya upaya demi kemaslahatan pembangunan yang tak lagi berangkat dari kota, melainkan bertumpu dari desa. Desa adalah entitas penting dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan telah ada sejak sebelum NKRI diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Namun, sekian lama desa-desa terlupakan dan belum mendapat perhatian langsung dari pemerintah. Selama ini desa selalu dipandang sebagai obyek pembangunan yang mengandalkan tetesan sisa anggaran pembangunan perkotaan. Dampaknya, desa menjadi daerah tertinggal dan minim pembangunan.
Cara pandang pembangunan tersebut di Indonesia mengidap kekeliruan fatal. Jadilah Jakarta sebagai pusat pemerintahan, yang identik dengan pusat kebijakan. Pasalnya, pusat kebijakan ini sering kali dimaknai, dipercayai, hingga didesakkan juga sebagai pusat pembangunan. Kebijakan yang "kalap" ini telah begitu menghunjam dengan menjadikan kota sebagai pusat segalanya. Akibatnya, konsentrasi pembangunan selama ini sungguh-sungguh terpusat di kota-kota. Desa pun terabaikan, tak ada kemajuan di desa. Lalu desa ditinggalkan warga terbaik dengan urbanisasi ke kota. Akibatnya, ribuan desa jadi desa tertinggal. Tak ayal, terjadi kepincangan pembangunan, ketidakadilan pusat dan daerah, kota dan desa. Sekarang telah lahir Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Hal ini jelas merupakan sebuah capaian besar dalam proses berbangsa dan kenegaraan Indonesia. UU ini telah memberi arah yang benar bagi proses pembangunan di Indonesia dan menjadi harapan besar bagi masyarakat desa. Desa sebagai entitas yang punya sifat dan ciri khas dapat membangun desanya dengan modal kekuatan dan peluang yang dimiliki.
Amanat UU Desa makin kuat karena menjadi cita-cita mulia, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam negara kesatuan. Pengaturan desa dalam UU Desa berlandaskan pada asas rekognisi, yaitu pengakuan terhadap hak asal-usul dan asas subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa. Asas utama ini hendak mengukuhkan adanya keberagaman yang selama ini bersemayam di desa. Karena itu, perlu pengakuan dan penghormatan terhadap sistem nilai yang berlaku di masyarakat desa, tetapi dengan tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Desa-desa di negeri kita sangat menonjol dalam hal kebersamaan, kegotongroyongan, kekeluargaan, tradisi musyawarah, demokrasi, dan kemandirian. Di sini, hanya perlu penguatan dalam hal partisipasi warga desa turut berperan aktif dalam pembangunan desa. Begitupun, penguatan dalam hal kesetaraan yang berarti kesamaan warga desa dalam kedudukan dan peran tanpa membeda-bedakan dari segi agama, etnis, jender, status sosial, dan lainnya.
Maka dari itu, dalam proses "Desa Membangun" hanya perlu mengedepankan pemberdayaan, yaitu upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan warga desa melalui penetapan kebijakan, program, dan kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat desa. Juga jangan sampai terlewatkan sisi keberlanjutan, proses yang dilakukan secara terkoordinasi, terintegrasi, dan berkesinambungan dalam merencanakan dan melaksanakan program pembangunan desa. "Desa Membangun" bukan saja mengakui dan menghormati keragaman desa, kedudukan, kewenangan, dan hak asal-usul maupun susunan pemerintahan. Lebih dari itu, melalui UU Desa berarti melakukan redistribusi ekonomi dalam bentuk alokasi dana dari APBN maupun APBD. Redistribusi uang negara kepada desa merupakan resolusi untuk menjawab ketidakadilan sosial-ekonomi karena intervensi, eksploitasi, dan marjinalisasi yang terjadi selama ini yang dilakukan oleh kekuatan politik dan kapital. Desa perlu mendapatkan proteksi yang bukan hanya proteksi kultural, juga proteksi dari intervensi berlebihan yang dilakukan oleh kekuatan supradesa, politisi, dan investor. Maka dari itu, dari desalah kita berasal, maka kita perlu kembali ke asal. Dengan mudik, mari bersama kita menggelorakan warga desa untuk memperbaiki nasib lewat "Desa Membangun". Desa haruslah menjadi "ladang" pembangunan yang tak hanya fisik, tetapi membangun peradaban yang akan melahirkan insan-insan genial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H