AKTIVITAS sejumlah wanita menyiapkan makanan berbuka puasa, baru saja usai, Selasa sore (2/8) menjelang Maghrib di Wisma Transito. Sebelas petak dapur darurat terbuat dari papan bekas, potongan kardus, dan sisa terpal, yang berderet di belakang bangunan Wisma, masih menyisakan aroma masakan.
Suriyani (32),salah seorang wanita pengungsi Ahmadiyah, mencuci perabot wajan yang baru saja ia gunakan. Putri kecilnya, Amiatun Azizah (1 tahun) duduk bersimpuh, dua meter dari ibunya, sambil menyantap nasi di mangkuk plastik yang ia pegang, tanpa lauk.
“Tidak ada yang istimewa di sini. Ramadhan atau bukan, menunya sama saja, karena memang keterbatasan kami. Berbuka dengan sayur sudah cukup, yang penting masih ada nasi,” kata Suriyani.
Ramadhan tahun ini menjadi bulan ramadhan ke enam yang harus dilalui para pengungsi Ahmadiyah di kamp penampungan Wisma Transito, Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).
[caption id="attachment_123325" align="alignleft" width="300" caption="Anak-anak pengungsi Ahmadiyah bermain di depan Musholla Wisma Transito saat para orangtua berjamaah sholat Maghrib."][/caption] Selama itu pula, mereka bertahan dalam hidup yang serba terbatas, dan selama itu pula mereka mengharapkan kehidupan yang normal layaknya warga Indonesia yang lain.
Secara ekonomis, menurut Suriyani, Ramadhan kali ini lebih sulit dari tahun sebelumnya. Harga minyak tanah eceran saat ini sudah menyentuh Rp9.000,- per liter, lebih mahal dari minyak tanah industri yang hanya Rp7.500 per liter. Sementara untuk LPG 3Kg bersubsidi, para pengungsi Ahmadiyah ini tidak mendapatkan, karena selama ini mereka tidak tercatat sebagai warga di Kelurahan Majeluk, tempat Wisma Transito berada.
“Untuk masak sehari-hari, kita butuh 4 liter minyak tanah seminggu. Makanya sekarang lebih banyak pakai kayu, agar lebih hemat,” kata ibu empat anak ini.
Ranting pohon dan sisa kulit durian, dikumpulkan oleh Khaeruddin (35), suami Suriyani, yang sudah dua tahun ini bekerja sebagai tukang ojek, “Sambil jalan cari penumpang, kalau ada kulit durian saya ambil dikeringkan untuk kayu bakar,” kata Khaeruddin.
Toh, bagi Khaeruddin dan Suriyani, Ramadhan tetap bulan suci yang harus dijalani dengan penuh keikhlasan.Ia hanya berharap bisa melalui bulan suci ini dengan menjalankan perintah agama secara tuntas.
“Harapannya ya supaya puasanya lancar, bisa selama sebulan penuh tidak ada batalnya,” katanya.
Khaeruddin dan Suriyani merupakan satu dari 36 keluarga Ahmadiyah, terdiri dari 138 jiwa, yang masih ditampung di kamp pengungsian Wisma Transiwo Mataram, sejak terusir dari tempat tinggal mereka di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, 4 Februari 2006 silam.
[caption id="attachment_123326" align="alignright" width="300" caption="Seorang wanita pengungsi Ahmadiyah, berbuka puasa di dapur darurat bersama anak-anaknya. Potret keluarga Ahmadiyah saat berbuka puasa di Wisma Transito."][/caption] Sejak 2008, nasib warga Indonesia ini seolah terabaikan, sejak bantuan pengungsi korban konflik sosial dihentikan oleh pemerintah. Bukti kewarganegaraan berupa KTP yang sudah kadaluarsa pun tak bisa diperpanjang dengan beragam alasan, baik di wilayah Kota Mataram, Kabupaten Lombok Barat, bahkan Pemprov NTB.
“Selama pengungsian ini sudah ada 16 bayi yang lahir di sini. Yang membuat kami sedih mereka semua belum punya akta kelahiran, karena orang tuanya tidak punya KTP. Mau urus pelayanan kesehatan dan pendidikan juga sulit akhirnya,” kata koordinator pengungsi, Syahidin (46).
Berada di pusat ibukota Provinsi NTB, para pengungsi Ahmadiyah seperti dikotakkan. Mereka tidak tersentuh program-program pemerintah untuk masyarakat miskin, meskipun kondisi mereka miskin. Mereka sudah tidak bisa lagi mengakses tanah pertanian di tempat tinggal asal di Ketapang, Lombok Barat, sementara keahlian dasar mereka yang umumnya petani ini, hanya bisa bercocok tanam.
Menurut Syahiddin, sudah tiga pekan ini program pembinaan dari Pemprov NTB berjalan di pengungsian. Namun, program itu belum menyentuh kebutuhan mendasar para pengungsi.
Bentuk nyatanya hanya ceramah keagamaan kepada para pengungsi, setiap malam Kamis dan malam Sabtu, usai shalat Isya’ di Wisma Transito. Padahal yang dibutuhkan pengungsi, tambah Syahiddin,adalah status kependudukan mereka.
“Kami sambut baik pembinaan itu. Tapi hendaknya pembinaan juga dilakukan bagi masyarakat umum lainnya agar bisa juga menerima kami sebagai warga Indonesia yang sama dengan mereka,” katanya.
[caption id="attachment_123327" align="alignleft" width="300" caption="Amiatun Azizah (1 tahun), duduk bersimpuh, di deretan dapur darurat sambil menyantap nasi di mangkuk plastik yang ia pegang, tanpa lauk. Ia hanya satu dari 16 anak yang lahir di pengungsian Transito sepanjang enam tahun pengungsian warga Ahmadiyah di sini."][/caption] Apalagi, papar Syahidin, isi ceramah itu merupakan apa yang selama ini sudah mereka kerjakan. Sholat lima waktu, mengaji dengan kitab Al-quran, dan bersyahadat yang sama juga dengan muslim pada umumnya.
“Penceramah bilang kami jangan baca Tazkirah, ya memang kami tidak pernah baca itu. Bacaan kami, ya Alquran, Alquran itu kitab suci kami, sama dengan yang lain,” katanya.
Namun kondisi yang terbatas selama enam tahun ini, tidak membuat para pengungsi patah semangat. Wajah gembira dan ucapan syukur terdengar saat adzan Maghrib berkumandang di Wisma Transito.
Mereka kemudian sholat Maghrib berjamaah di musholla Wisma, sebelum akhirnya kembali ke bilik untuk makanan berbuka puasa.
Para pengungsi berbuka puasa, masing-masing keluarga di bilik kamar mereka yang hanya bersekat potongan spanduk bekas dan kain sarung, di dalam bangunan Wisma.
“Hanya urap-urapan dan tempe goreng, tapi kami bersyukur hari ini,” kata Sarim Ahmad (43), yang berbuka bersama istri dan anaknya, Raudatul Nisa (9).
Sarim sudah beberapa tahun ini bekerja menjadi pelayan di warung jajan gorengan di Mataram. Tapi, selama Ramadhan ia terpaksa libur karena pemerintah Kota Mataram menutup semua warung di siang hari.
Menurut Mubaligh Ahmadiyah Mataram, Basiruddin, belum ada perkembangan yang berarti terkait nasib para pengungsi Ahmadiyah ini, selama enam tahun terakhir.
“Masalah penggantian asset Ketapang, sudah terhenti sejak Januari pembicaraan dengan para pihak di Kejaksaan Tinggi NTB. Pemda Lombok Barat bilang akan bikin tim 9 dan mau turun ke pengungsian, tapi sampai sekarang mereka tidak datang,” katanya.
Penyelesaian status kependudukan, pun masih menggantung, tanpa kejelasan. Menurutnya, hak-hak dasar kemanusiaan dan kewarganegaraan para pengungsi sudah dilanggar selama ini.
“Kami akhirnya seperti rakyat yang tidak punya pemerintah. Sebenarnya yang kami butuhkan hanya status dan jaminan keamanan saja. Tanpa itu, masalah ini tidak akan bisa tuntas,” katanya.
Malam-malam Ramadhan tahun ini, masih akan terisi dengan pengajian dan tadarusan dari musholla di Wisma Transito. Yang berbeda hanya semakin banyak bagian musholla yang nampak rusak, langit-langit banyak yang jebol karena tripleks yang rapuh, dan hanya ada enam bohlam listrik menyala untuk seluruh Wisma Transito.
Tak ada lagi keceriaan anak-anak bermain kembang api di halaman Wisma, layaknya kegembiraan anak-anak seusia mereka di sudut lain kota Mataram. Karena orangtua mereka tak bisa membeli “kebahagiaan kecil” itu.
“Sebagai warga negara, kami menerima semua program pembinaan dari pemerintah, meski kami sendiri tidak pernah tahu bagaimana ujung akhirnya. Seperti laying-layang putus, kami terbawa angin tapi tak tahu akan jatuh di mana,” keluh Khaeruddin.(**)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H