[caption id="attachment_128971" align="aligncenter" width="640" caption="Sejumlah wisatawan menikmati indahnya Gili Kedis di perairan Sekotong, Lombok Barat"][/caption]
KAWASAN WISATA pantai Sekotong, di Lombok Barat, memang belum setenar pantai Senggigi, atau rangkaian tiga pulau wisata; Gili Trawangan, Gili Air, dan Gili Meno, di Kabupaten Lombok Utara.
Tapi, rangkaian empat pulau kecil di sana tak kalah indah. Gili Kedis, salah satu pulau kecil tak berpenghuni di kawasan itu, malah sudah punya label tersendiri bagi wisatawan mancanegara. Pulau tak lebih dari 1 hektare ini, sering disebut sebagai Honeymoon Island. Ada juga yang menyebutnya Romantic Island.
Gili Kedis merupakan pulau terkecil dari rangkaian empat pulau di pantai Sekotong. Tiga lainnya lebih luas; Gili Tangkong, Gili Nanggu, dan Gili Sudak.
“Yang banyak berkunjung ke Gili Kedis memang pasangan baru yang lagi bulan madu. Makanya pulau ini lebih akrab disebut Honeymoon Island, atau Romantic Island,”kata Herry Sabwan, seorang pemandu wisata yang kerab mengantar wisatawan mancanegara ke kawasan pantai Sekotong.
Gili Kedis terletak di bagian Barat Daya pulau Lombok, jaraknya sekitar 50 Km dari Kota Mataram, ibukota Provinsi NTB. Secara administratif rangkaian pulau kecil itu masuk ke wilayah Desa Tawun, Kecamatan Sekotong, Lombok Barat.
Kedis hanya pulau kecil tak berpenghuni, dengan luas sekitar 2,5 are. Dari jalan raya yang melintasi Desa Tawun, Gili Kedis hanya nampak seperti pulau karang kecil dengan rimbun pohon, yang dikelilingi pasir putih.
Nama kedis diambil dari bahasa Sasak Lombok yang berarti burung kecil, atau burung pipit. Mungkin karena bentuk pulaunya yang mungil.
Hanya menghabiskan waktu 10-15 menit menggunakan perahu bermotor menuju pulau ini, dari pelabuhan Desa Tawun. Biasanya, Gili Kedis menjadi penutup kunjungan trip wisata, yang dimulai dari Gili Nanggu, Tangkong, dan Sudak.
”Trip lazimnya memang begitu, dari Gili Nanggu berakhir di Gili Kedis,” kata Tohri, seorang pemandu wisata lainnya.
Di Gili Nanggu, wisatawan bisa menikmati suasana yang masih alami dan cenderung sepi aktivitas. Pulau seluas 12,5 hektare ini juga memiliki potensi bahari yang bagus, cocok untuk pencinta kehidupan laut, untuk snorkeling dan diving.
Menurut Tohri, wisatawan senang mengunjungi Gili Nanggu lantaran biota lautnya masih terjaga, dan juga ikan hiasnya mulai jinak.
”Ikan di Gili Nanggu itu, dikasih roti langsung berkumpul, jadi pengunjung bisa melihat lebih dekat,” katanya.
Setelah puas dengan Gili Nanggu, wisatawan bertolak ke Gili Sudak untuk menikmati makan siang. Hanya ada satu rumah makan di pulau seluas 18 hektare ini, yang menyediakan berbagai menu seafood.
”Tapi yang paling favorit ikan bakar. Karena kami menyediakan ikan yang masih segar hasil tangkapan nelayan sini,” kata Toto, pengelola rumah makan di Gili Sudak.
[caption id="attachment_124595" align="alignright" width="300" caption="Gili Sudak dan indah pasir putihnya. Hanya ada satu rumah makan di sini."][/caption] Di Gili Sudak, wisatawan juga bisa menikmati keindahan alam dan bahari, meski tidak seindah Gili Nanggu.
Nah, usai menikmati makan siang, mereka pun bisa menuju Gili Kedis si Honeymoon Island. Perjalanannya hanya sekitar 5 menit dari Gili Sudak. Menurut masyarakat di sana, jika laut sedang surut, malah bisa berjalan kaki dari Gili Sudak, jaraknya hanya sekitar 200 meter.
Entah siapa yang pertama kali memberi label Honeymoon Island untuk Gili Kedis, namun pulau kecil itu memang tepat disebut pulau romantis. Lantaran letaknya yang jauh dari keramaian dan pesona alamnya yang indah.
Seperti juga sore itu, sejumlah wisatawan mancanegara dari Perancis dan Belanda nampak tengah menikmati indahnya Gili Kedis. Ada yang berjemur di hamparan pasir putihnya, ada yang snorkeling dan diving.
Meski tidak datang dalam jumlah yang besar, namun hampir setiap hari selalu ada kunjungan wisatawan ke rangkaian pulau di Sekotong itu. Apalagi, biaya yang dikeluarkan pun relatif murah, hanya sekitar Rp300 ribu untuk menyewa perahu bermotor mengelilingi pulau-pulau eksotis tersebut.
”Tiap hari ada saja yang datang. Kita antar dari pagi sampai sore. Biasanya paling lama memang mereka ini diam di Gili Kedis. Menjelang malam baru pulang,” kata Mursan, pemilik perahu bermotor di Desa Tawun.
[caption id="attachment_124598" align="alignleft" width="300" caption="Beginilah boat yang digunakan untuk mengelilingi rangkaian gili di Sekotong"][/caption] Honeymoon Island ibarat mutiara pariwisata yang masih tersembunyi di Lombok. Promosi pemerintah daerah untuk kawasan ini belum segencar promosi untuk Senggigi dan tiga Gili di Lombok Utara.
Namun, menurut Herry Sabwan, pemandu wisata anggota Himpunan Pemandu Wisata Indonesia (HPI) NTB, rangkaian pulau di Sekotong ini sudah sangat terkenal di negara-negara eropa seperti Perancis, Belanda, dan Jerman.
Potensi pariwisata di Sekotong juga banyak dilirik investor. Sejumlah sarana akomodasi di kawasan itu mulai dibangun. Salah satunya adalah Cocotinos Beach Resort. Group Cocotinos yang sudah mendulang sukses dengan Cocotinos Beach Resort Manado, di Sulawesi Utara ini baru dibuka di Sekotong awal Agustus 2010 lalu.
Menurut General Manager Cocotinos Lombok, Iwan Sitompul, hotel yang terletak di pesisir pantai Dusun Pandanan, Desa Tawun, Kecamatan Sekotong, ini menyediakan 29 kamar mulai dari teras room, hingga private room, dengan desain bangunan melayu.
View yang ditawarkan, tentu saja, panorama indah pantai Sekotong dan eksotisme rangkaian pulau kecil di hadapannya; Gili Nanggu, Gili Tangkong, Gili Sudak, dan Gili Kedis.
Kapal Jetty 150 bakal disiapkan untuk trip keliling pulau-pulau itu. Sama dengan Cocotinos di Manado, menurut Iwan Sitompul, Cocotinos Sekotong juga mempromosikan wisata bahari, menyediakan program diving dan latihannya.
Sayang, potensi yang ada di Sekotong belum didukung pembangunan fasilitas umum yang memadai. Masalah sampah dan sarana WC umum masih menjadi tantangan di wilayah itu.
“Pemda NTB sudah membuat program visit Lombok Sumbawa 2012, tapi bagaimana wisatawan mau datang kalau sampah masih berserakan, dan untuk buang air kecil saja susah,” kata Herry Sabwan.
Contoh kecilnya, papar Herry, di pelabuhan Desa Tawun yang menjadi pintu masuk ke rangkaian gili di Sekotong. Para wisatawan seringkali seperti diterlantarkan karena tidak ada tempat berteduh saat menunggu perahu sewaan datang. WC umum belum tersedia sehingga membuat wisatawan terpaksa menggunakan milik penduduk lokal.
”Belum lagi masalah sampah yang berserakan. Ini mungkin masalah kecil bagi pemerintah, tapi kesannya sangat kurang baik bagi wisatawan yang datang. Mereka butuh kenyamanan selain ingin menikmati keindahan alam,” katanya.
Meski sangat indah, Gili Kedis akhirnya ibarat mutiara yang masih tersembunyi dalam cangkang kerang, dibalik semua serba kekurangan itu.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H