Mohon tunggu...
Panca Nugraha
Panca Nugraha Mohon Tunggu... profesional -

Saya seorang wartawan, penulis. Bekerja sebagai koresponden harian The Jakarta Post untuk wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

“Rebo Buntung”, Tradisi Laut Harmonisasi Manusia dan Alam

4 Februari 2012   10:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:04 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MASYARAKAT suku Sasak (suku asli di pulau Lombok), di Kecamatan Pringgabaya, Lombok Timur, hingga kini terus melestarikan tradisi leluhur berupa ritual adat Rebo Buntung. Tradisi dipercaya sebagai prosesi ungkapan syukur kepada Tuhan, menolak bala, sekaligus menjaga harmonisasi manusia dengan alam.

Rebo Buntung yang dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai hari Rabu yang Beruntung, itu tahun ini digelar di pantai Tanjung Menangis, Kecamatan Pringgabaya, Lombok Timur, sekitar 65 KM arah timur dari Kota Mataram, ibukota NTB.

Selain untuk ungkapan kesyukuran dan menolak bala bencana, ritual tradisi turun temurun ini meninggalkan pesan penting tentang pentingnya harmonisasi hubungan antar manusia, dan manusia dengan alam lingkungan.

[caption id="attachment_158933" align="alignleft" width="300" caption="Rangkaian prosesi ritual adat Rebo Buntung di pantai Tanjung Menangis, Lombok Timur."][/caption] Sejak pagi, di saat Rebo Butung tiba, pantai Tanjung Menangis di pesisir sebelah selatan pulau Lombok, nampak padat dipenuhi ribuan masyarakat. Tua-muda, pria-wanita, bahkan anak-anak, mengunjungi pantai itu dengan membawa bekal makanan. Mereka datang menggunakan sepeda motor, mobil, dan alat transportasi tradisional Cidomo, semacam dokar dan delman di Jawa.

Ritual adat Rebo Buntung dilakukan setiap tahun, tepat di hari Rabu terakhir bulan Safar, dalam hitungan tahun Hijriah, yang tahun ini jatuh pada Rabu 18 Januari 2012 masehi.

Dalam tradisi turun temurun masyarakat di Kecamatan Pringgabaya, hari Rabu terakhir di bulan Safar merupakan hari di mana Tuhan yang maha kuasa akan menurunkan banyak bencana, penyakit dan bencana alam sebagai ujian bagi manusia dan mahluk ciptaannya di muka bumi.

“Ini tradisi turun-temurun sejak leluhur kami, bahwa pada Rabu terakhir di bulan Safar ini, aka nada sebanyak 144 macam bencana diturunkan. Maka untuk menghindari itu, kami harus keluar dari rumah dari pagi hingga matahari benam.Kita sebut Rebo Buntung, atau hari rabu yang beruntung,” kata Supriadi (40), warga Pringgabaya yang ikut mengunjungi pantai Tanjung Menangis bersama istri dan empat anaknya.

Menurutnya, masyarakat bisa saja memilih keluar untuk bertani atau bekerja, yang penting meninggalkan rumah. Tapi umumnya masyarakat memilih hari Rebo Buntung itu untuk menyaksikan ritual adat Rebo Buntung sekaligus berekreasi di pantai Tanjung Menangis.

Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, tradisi Rebo Buntung di pantai Tanjung Menangis selalu diisi dengan ritual adat. Sejak pukul 10.00 Wita para pemuka adat Pringgabaya memimpin masyarakat melakukan ritual adat bernama Tetulaq Tetampar atau Larung Laut berupa menyerahkan sesajian ke laut.

Sesajian berupa hasil bumi, buah-buahan, dan jajanan yang diarak beriringan dari perkampngan menuju pantai. Tapi, yang paling utama adalah kepala Kerbau berwarna hitam mulus.

Pemuka adat memimpin iring-iringan sesajian dari pintu masuk ke pantai Tanjung Menangis, hingga menuju sampan yang disediakan. Selain sarat nuansa ritual, kegiatan ini juga mengundang pengunjung untuk menyaksikan, karena iring-iringan diramaikan dengan alat musik tradisional gendang beleq.

Kepala Kerbau dan sesajian pendamping yang dibawa menggunakan sampan, kemudian dilarung, atau dilepas di tengah laut.

“Kalau kepala Kerbau itu langsung tenggelam, itu berarti bencana akan pergi jauh. Tapi kalau kepala Kerbau itu muncul lagi ke permukaan, itu pertanda buruk. Tapi kali ini kami bersyukur karena kepala Kerbau langsung tenggelam, mudahan negeri ini bebas dari bencana,” kata tokoh adat Pringgabaya, Lalu Mugis Kamajaya di sela-sela prosesi.

Kamajaya menjelaskan, sesajian yang diberikan masyarakat pada hari Rebo Buntung itu dipersembahkan sebagai rasa kesyukuran masyarakat atas hasil bumi dan rejeki yang diberikan Tuhan selama setahun ini.

Masyarakat yang umumnya nelayan dan menggantungkan hidup di laut, juga mempersembahkan itu sebagai kesyukaran atas hasil tangkapan, sekaligus memohonkan agar musim dan cuaca saat ini tidak lagi ekstrim.

“Harapannya agar kita terbebas dari ancaman bencana alam, penyakit, dan kita diberikan kemudahan rejeki,” katanya.

Menurut Kamajaya, tradisi Rebo Buntung sudah dilakukan sejak ratusan tahun lalu oleh masyarakat Sasak di Pringgabaya yang meliputi 14 desa.

Karena keunikan tradisi ini, sejak tahun 2009 lalu, ritual Rebo Buntung di Pringgabaya mulai masuk dalam kalender wisata Kabupaten Lombok Timur, bahkan termasuk dalam salah satu agenda wisata dari 56 agenda tahunan Dinas Pariwisata NTB.

Sebab, selain ritual yang bernilai sakral, kini Rebo Buntung sudah menjadi ajang wisata dan hiburan masyarakat setempat. Usai ritual, masyarakat di hibur dengan pentas musik, tari-tarian, bahkan ada acara pacuan kuda, dan perisaian.

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, seremioni tradisi Rebo Buntung tahun ini dihadiri Bupati Lombok Timur, HM Sukiman Azmy.

[caption id="attachment_158934" align="alignleft" width="300" caption="Rangkaian prosesi ritual adat Rebo Buntung di pantai Tanjung Menangis, Lombok Timur."]

13283523541475227969
13283523541475227969
[/caption] Dalam sambutannya, Bupati Sukiman mengatakan, tradisi Rebo Buntung merupakan tradisi yang harus terus dilestarikan.

“Ini bukan saja sebagai ungkapan kesyukuran dan tolak bala, tetapi juga mengingatkan pada kita semua bahwa dari dulu kala para leluhur kita sangat menghargai dan menjaga hubungan harmonis antar manusia dengan alam,” katanya.

Sukiman mengatakan, dengan tradisi seperti Rebo Buntung itu masyarakat juga bisa lebih meresapi pesan para leluhur untuk tetap menjaga kelestarian alam dan lingkungan di sekitarnya.

Menurutnya, ada pesan penting dalam ritual Rebo Buntung ini, yakni bagaimana masyarakat menjaga keselarasan hidup antar manusia, dan manusia dengan alam lingkungan.

Salah satu implementasinya, masyarakat nelayan di Pringgabaya hingga saat ini tak pernah melakukan kegiatan penangkapan ikan menggunakan potassium atau bom ikan.

“Ini pentingnya menjaga kearifan lokal. Nenek moyang kita sudah mengajarkan bagaimana kita dan alam bisa saling menjaga. Jika tidak, ya jelas akan banyak bencana alam,” katanya.

Sayangnya, meski tradisi dan minat kunjungan sangat tinggi, akses jalan dari jalan utama Pronggabaya menuju pantai sejauh lebih dari 10 Km masih rusak. Jalanan berlubang dengan aspal yang sudah pecah-pecah bercampur tanah membuat cukup sulit berkendara ke lokasi itu.

“Kami harap Pemda bisa lebih peka dengan kondisi jalan ini. Sebab wisatawan akan kesulitan menuju lokasi ini kalau jalannya rusak. Kondisi ini sudah 3 tahun lebih seperti ini, akan tambah parah kalau dibiarkan,” kata Lalu Fathurahim, salah seorang warga Pringgabaya. (**)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun