Negeri ini sedang luar biasa panasnya. Berbagai isu intoleransi muncul satu demi satu di media cetak dan elektronik. Ditambah bumbu-bumbu silang pendapat dan arogansi di media sosial. Makin panaslah suasana. Salin tempel berita dijumpai di berbagai grup di Whatsapp, Line, Facebook, BBM, dan sebagainya. Setiap orang yang membaca akan berkomentar sesuai ideologinya, wawasannya, latar belakang keilmuan, dan status sosialnya.Â
Kasus pembubaran kegiatan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) Natal 2016 yang diadakan di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) Kota Bandung, hari Selasa malam (6/12). Pelaku pembubaran, Pembela Ahlu Sunah (PAS) dan Dewan Dakwah Islam (DDI), menilai KKR Natal 2016 melanggar aturan tentang peribadatan yang seharusnya dilaksanakan di gereja. Padahal selama kurang lebih sebelas tahun ini, KKR rutin diselenggarakan di Sasana Budaya Ganesha dan semua berjalan baik-baik saja. Peristiwa ini seperti berurutan dari 411, bom Samarinda, 212, dan kini pembubaran ibadah.Â
Masalah lain pun mengemuka. Boikot Sari Roti sebagai buntut dari peristiwa 212 lalu pun memanaskan suasana. Urusan roti pun bisa pelik. Ditambah peristiwa terbaru, tuntutan Forum Umat Islam (FUI) pada Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) untuk menurunkan baliho yang menyertakan muslimah berhijab. Ormas ini menilai bahwa hijab adalah simbol Islam.  Pihak  UKDW kemudian berkoordinasi untuk menurunkan baliho tersebut. Pihak UKDW menganggapnya sebagai upaya mengingatkan. Karena itu, mereka pun berkoordinasi untuk menurunkan baliho tersebut.
Sebetulnya semua bisa diselesaikan secara damai dan lapang dada. Aksi 411 dan 212 yang dikhawatirkan akan ricuh ternyata berjalan lancar dan damain. Â Jikalau ternyata ada pernyataan dari pihak Sari Roti tentang rotinya yang dibagi-bagi gratis itu, menimbulkan aksi boikot, itu mungkin bentuk reaksi kekecewaan dan bisa jadi tak bertahan lama. Kita lihat saja berapa lama aksi boikot ini akan bertahan. Begitu pula pembubaran KKR dan reaksionernya salah satu ormas Islam terhadap muslim berhijab yang ada di baliho UKDW. Semua akan berlalu seiring waktu.Â
Namun, jangan senang dulu. Masalah di negeri ini datang silih berganti seperti peribahasa esa hilang dua terbilang. Kali ini yang sedang ramai adalah gesekan berlatar agama. Entah besok entah lusa. Mungkin ada yang bilang semua bermula dari Ahok yang takbisa menjaga lidahnya, tapi bisa jadi kasus Al Maidah 51 itu hanya pemicu. Di luar sana, bibit-bibit konflik memang sudah disiapkan oleh para pencetus makar. Saya bukannya ikut-ikutan Pak Tito Karnavian tentang makar ini, saya sekadar bilang bahwa tak ada asap kalau tak ada api. Â Atau setiap peristiwa yang tiba-tiba terjadi bisa saja serupa ada udang di balik batu.Â
Bibit-bibit konflik ini akan tumbuh dan berkembang jika masyarakat ikut memupuk dan menyiramnya dengan beragam komentar di media sosial. Beberapa minggu terakhir ini, kita bisa membaca betapa riuh rendahnya media sosial kita. Komentar-komentar prihatin kita jumpai di beranda. Komentar-komentar caci maki penuh dendam pun bertebaran di beranda kita. Betapa rangkaian kata itulah yang menimbulkan kericuhan dalam masyarakat. Perang opini tanpa dasar, hujatan-hujatan untuk melampiaskan marah dan benci, serta sindiran-sindiran yang melukai lebih dahsyat pengaruhnya ketimbang peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi dan sebenarnya sudah diselesaikan oleh pihak-pihak yang berwenang.Â
Inilah yang sedang berkecamuk di negeri ini. Hampir setiap orang membuka mulutnya dalam satu dua kalimat di lini masanya. Sebagian berujar panjang dalam sekian paragraf lalu kawan-kawannya menyalin tempel (copy paste) kemudian menyebarkannya. Mereka berharap para pembaca hasil sebaran itu berpendapat sama dengan mereka. Sayangnya tidak, setiap kemarahan atau sindiran yang disebarkan di media sosial akan menimbulkan penafsiran-penafsiran baru lalu muncullah masalah baru. Semua akan semakin ruwet sehingga akar masalah tak tampak lagi.
Inilah wajah Indonesia : banyak mulut dengan hanya satu telinga. Setiap orang ingin bicara, tapi sedikit sekali yang mau mendengarkan. Tuhan pasti punya tujuan mengapa Dia menciptakan satu mulut dan dua telinga. Ya, hanya satu mulut. Agar kita mau mendengarkan dengan seksama sebelum berbicara. Agar kita mendengarkan lalu merenungkan berbicara. Karena jika mulut terlalu banyak bicara, akan banyak makna yang hilang sehingga kata-kata yang terucap hanya serupa rangkaian huruf tanpa isi;kosong;hampa. Itulah yang sedang terjadi di negeri kita, Indonesia tercinta.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H