Perkembangan dunia mutakhir ini telah mengantar kita pada persoalan yang sangat kompleks, gelombang globalisasi telah menembus batas peradaban dimana batas-batas social sudah tak lagi begitu penting, kearifan local seolah hanya slogan yang tanpa makna, dan semua itu bermuara pada kondisi krisis identitas dan persoalan integritas yang lemah, di kalangan remaja hal ini lebih pada persoalan kebimbangan jati diri menuju ideology remaja yakni fesyen.
Semua hal yang telah dipertontonkan lewat tubuh: gaya pakaian, gaya rambut, serta asesoris pelengkapnya, lebih dari sekedar demonstrasi penampilan, melainkan demonstrasi ideologi. Sekaligus menunjukkan kepada kita bahwa globalisasi berperanan besar dalam penyebaran gaya ke seluruh dunia meskipun tidak dalam waktu yang bersamaan. Globalisasi beserta seluruh perangkat penyebarannya, televisi, majalah, dan bentuk-bentuk media massa yang lain, juga menyebabkan peniruan gaya yang sama, tetapi dengan kesadaran yang samasekali berbeda dengan konteks sejarah awalnya. Jadi, para anak muda yang mengenakan dandanan serba punk di Indonesia ini sangat mungkin diilhami oleh sesuatu yang sangat berbeda dengan generasi punk pendahulu mereka di negara asalnya.
Sampai tahap ini, kita bisa melihat adanya hubungan yang kompleks antara tubuh, fesyen, gaya dan penampilan, serta identitas kepribadian yang ingin dikukuhkan oleh seseorang. Pembentukan identitas bukan persoalan sederhana. Ia tidak pernah bergerak secara otonom atau berjalan atas inisiatif diri sendiri, tapi dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang beroperasi bersama-sama. Faktor-faktor tersebut bisa diidentifikasi sebagai kreativitas, bahwa semua orang diwajibkan untuk kreatif supaya tampak berbeda dan dianggap berbeda pula.
Kemudian ada faktor pengaruh ideologi kelompok dan tekanan teman sepermainan sebaya. Di sini, persoalan merek sepatu atau jenis pakaian bisa jadi persoalan besar karena ikut menentukan apakah seseorang dianggap memenuhi syarat untuk dimasukkan dalam kelompok tertentu atau tidak. Faktor-faktor lainnya adalah status sosial, bombardir iklan-iklan media, serta unsur kesenangan (pleasure dan fun). Unsur kesenangan ini bisa dipakai untuk menjelaskan dan memahami kelompok anak muda yang mengadopsi, mengkonsumsi atau mencampurkan berbagai macam gaya dengan tanpa referensi jelas terhadap makna asalnya. Gaya menjadi kolase-kolase. Hanya penampilan semata. Hanya fashion. Tetapi hal ini tidak berarti mereduksi gaya menjadi sesuatu yang tidak bermakna. Berakhirnya otentisitas bukan berarti kematian makna. Kolase, peniruan-peniruan, kombinasi, ambil sana-ambil sini, ikut membentuk lahirnya makna-makna baru.
Dalam ilmu-ilmu sosial, studi atas remaja pertama kali dilakukan oleh sosiolog Talcott Parsons pada awal 1940-an. Berbeda dengan anggapan umum bahwa remaja adalah kategori yang bersifat alamiah dan dibatasi secara biologis oleh usia, menurut Parsons remaja adalah sebuah sebuah konstruksi sosial yang terus-menerus berubah sesuai dengan waktu dan tempat (Barker 2000).
Para pemikir cultural studies juga berpendapat bahwa konsep remaja bukanlah sebuah kategori biologis yang bermakna universal dan tetap. Remaja, sebagai usia dan sebagai masa transisi, tidak mempunyai karakteristik-karakteristik umum. Karena itu pertanyaan-pertanyaan yang akan selalu muncul adalah: secara biologis, kapan masa remaja dimulai dan berakhir? Apakah semua orang yang berumur 17 tahun sama secara biologis dan secara kultural? Kenapa remaja di Jakarta, Singapura, dan London tampak berbeda?
Remaja adalah sebuah konsep yang bersifat ambigu. Kadang bersifat legal dan kadang tidak. Di Indonesia misalnya, ukuran kapan seseorang boleh mulai melakukan hubungan seks, ukuran kapan seseorang boleh menikah, dan ukuran kapan seseorang boleh berpartisipasi dalam Pemilihan Umum sangatlah berbeda. Dalam studinya tentang batas-batas kedewasaan di Inggris, A. James (1986) mengatakan bahwa batas usia fisik telah diperluas sebagai batas definisi dan batas kontrol sosial.
Sementara bagi Grossberg (1992) yang menjadi persoalan adalah bagaimana kategori remaja yang ambigu itu diartikulasikan dalam wacana-wacana lain, misalnya musik, gaya, kekuasaan, harapan, masa depan dsb. Jika orang-orang dewasa melihat masa remaja sebagai masa transisi, menurut Grossberg remaja justru menganggap posisi ini sebagai sebuah keistimewaan dimana mereka mengalami sebuah perasaan yang berbeda, termasuk di dalamnya hak untuk menolak melakukan rutinitas keseharian yang dianggap membosankan.
Hampir sama dengan pendapat itu, Dick Hebdige dalam Hiding in the Light (1988) menyatakan bahwa remaja telah dikonstruksikan dalam wacana “masalah” dan “kesenangan” (remaja sebagai pembuat masalah dan remaja yang hanya gemar bersenang-senang). Misalnya, dalam kelompok pendukung sepakbola dan geng-geng, remaja selalu diasosiasikan dengan kejahatan dan kerusuhan. Di pihak lain, remaja juga direpresentasikan sebagai masa penuh kesenangan, dimana orang bisa bergaya dan menikmati banyak aktivitas waktu luang. Remaja sebagai Subkultur secara khusus, dalam studinya tentang remaja, cultural studies membuat sebuah konsep analisis tentang subkultur. Kata kultur dalam subkultur menunjuk pada “keseluruhan cara hidup” atau “sebuah peta makna” yang memungkinkan dunia bisa dimengerti oleh anggota-anggotanya. Kata sub mengkonotasikan kekhususan dan perbedaan dari kebudayaan yang dominan atau mainstream. Thornton mengatakan bahwa subkultur bisa juga dilihat sebagai sebuah ruang dimana “kebudayaan yang menyimpang” menegosiasikan kembali posisinya atau justru merebut dan memenangkan ruang itu (Barker 2000). Buku yang sering disebut sebagai pondasi bagi studi remaja sebagai subkultur yang dikaitkan dengan musik, gaya, dan fesyen adalah kumpulan karya anggota Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS) di Birmingham, Resistance Through Rituals: Youth Subcultures in Post-War Britain (Ed. Stuart Hall dan Tony Jefferson 1976). Tema besar karya ini adalah subkultur remaja yang dilihat sebagai stilisasi bentuk perlawanan terhadap kebudayaan hegemonis.
Dalam “Subculture, Cultures and Class” (Clarke et al.), ditunjukkan bahwa remaja terbentuk dalam suatu artikulasi ganda, yaitu dalam perlawanannya dengan kebudayaan orang tua dan sekaligus dalam perlawanannya dengan kebudayaan dominan. Ritual-ritual seperti fesyen, musik, atau bahasa, dilihat sebagai usaha untuk memenangkan ruang kultural dalam melawan kebudayaan dominan dan kebudayaan orang tua. Sementara dalam “Style” (Clarke) salah satu konsep penting yang muncul adalah brikolase (diadopsi dari antropolog Levi-Strauss). Konsep brikolase dipakai untuk menjelaskan rekontekstualisasi objek-objek untuk mengkomunikasikan makna-makna baru. Dalam brikolase sebuah objek yang telah mempunyai endapan makna simbolik tertentu dimaknai kembali dalam hubungannya dengan artefak lain dan dalam konteks yang baru. Clarke menunjukkan bahwa gaya Teddy Boy yang dandy, necis, dan flamboyan dan populer pada tahun ’70-an adalah brikolase dari gaya berpakaian kelas atas pada akhir ’40-an. Hal yang sama juga berlaku bagi para pecinta musik Ska yang bersepatu boot dan berambut cepak, yang merupakan brikolase dari semangat kerja keras dan maskulinitas kelas pekerja.
Setelah Resistance Through Rituals, yang patut dicatat adalah karya Paul Willis (juga dari CCCS) Learning to Labour (1978). Willis mempraktekkan analisis homologi untuk menyelidiki subkultur motorbike boys. Konsep homologi berkaitan dengan pemahaman kebudayaan sebagai seperangkat relasi objek-objek, artefak-artefak, dan institusi-institusi beserta praktek-praktek di sekitarnya. Dengan begitu sebuah analisis homologi berusaha menangkap dan merekam struktur sosial dan simbol-simbol kulturalnya.
Menurut Willis subkultur hidup dalam hubungannya yang bersifat kritis dengan budaya kapitalisme. Ia mencontohkan subkultur hippies yang lebih suka menghabiskan waktu luang sebanyak-banyaknya, dapat dilihat sebagai sebuah subversi atas konsepsi waktu kapitalisme industrial yang linear, kaku, dan disiplin. Demikian juga motorbike boys bisa dilihat sebagai respon manusia atas teror teknologi yang dahsyat dari kapitalisme. Ia mengekspresikan keterasingan dan kerinduan akan hubungan kemanusiaan. Konsekuensinya, menurut Willis, ekspresi, kreasi, dan perilaku simbolik subkultur dapat dibaca sebagai sebuah bentuk perlawanan.
Berbeda dengan Resistance Through Rituals dan tulisan Willis, dimana gaya direduksi dalam struktur kelas (gaya adalah ekspresi dan derivasi kelas), dalam Subculture: The Meaning of Style (1979) Dick Hebdige melihat gaya sebagai sesuatu yang otonom. Ia kembali menyelidiki konsep brikolase dan perlawanan, tapi kali ini ia memadukan pendekatan Gramsci dengan semiologi Roland Barthes.
Hebdige menyelidiki gaya dalam tingkat keotonomiannya sebagai penanda. Gaya adalah sebuah praktek penandaan (signifying practice), gaya adalah sebuah arena penciptaan makna. Di dalam kode-kode pembeda, gaya merupakan pembentuk identitas kelompok. Dalam subkultur remaja, barang-barang komoditas—melalui konsumsi brikolase—dijadikan alat perlawanan terhadap nilai-nilai dominan. Gaya adalah sebuah perang gerilya semiotik.
Kritik atas Teori-teori Subkultur
Menjawab karya-karya CCCS, Cohen (1980) berargumen bahwa ketika gaya direduksi ke dalam perlawanan, maka ada aspek lain dari gaya dilupakan, yaitu kesenangan. Laing (1985) berpendapat bahwa punk adalah sebuah genre musik, tetapi oleh Hebdige (1979) direduksi ke dalam praktek-praktek penandaan, dengan asumsi dan tujuan-tujuan yang terlalu politis. Pemikir lain, seperti Steve Readhead (1990), menyatakan bahwa punk adalah subkultur remaja otentik yang terakhir dan subkultur remaja sesudahnya telah mati dan ditelan oleh budaya konsumen kontemporer. McRobbie dan Gerber mengatakan bahwa perempuan telah diabaikan oleh peneliti laki-laki, perempuan telah dipinggirkan dan disubordinasikan dalam subkultur laki-laki, dan bahwa perempuan bernegosiasi dalam ruang personal dan ruang bersenang-senang yang sangat berbeda dengan laki-laki. Karena itu, model perlawanan perempuan dalam gaya juga berbeda dengan laki-laki.McRobbie dan Garber berargumen bahwa jika perempuan berada di posisi pinggiran dalam subkultur tertentu, ini karena mereka berada di posisi pinggiran dalam dunia kerja laki-laki dan dikecilkan peranannya dari jalanan.
Pierre Bourdieu, ‘Habitus’, ‘Logic of Practice’. Cara pandang alternatif tentang gaya dan fesyen juga datang dari sosiolog/antropolog Perancis Pierre Bourdieu. Dalam Outline of a Theory of Practice (1977) Bourdieu memperkenalkan istilah habitus untuk mendifinisikan sebuah sistem disposisi, yang mengatur kapasitas individu untuk bertindak. Habitus tampak jelas dalam pilihan individu tentang kepantasan dan keabsahan seleranya dalam berdandan, berpakaian, seni, makanan, hiburan, hobi dll. Menurut Bourdieu ini semua dibentuk melalui sekolah, dengan internalisasi seperangkat kondisi material tertentu.
Dengan cara pandang Bourdieu, habitus individu dibentukoleh / dikaitkan pada keluarga, kelompok, danyang paling penting posisi kelas individu dalam masyarakat. Habitus beroperasi berdasarkan sebuah logika praktek (logic of practice) yang diatur berdasar sistem klasifikasi bawah sadar (maskulin/feminin, baik/buruk, trendi/kuno dll). Penerapan prinsip-prinsip ini dalam bentuk konsumsi budaya dikenal sebagai selera. Bourdieu mengatakan bahwa selera, yang kelihatannya sekedar praktek individu, sebetulnya diatur oleh logika praktek dan selalu merupakan bagian dari praktek kelas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H