Pasca tawuran UNM yang kesekian kalinya, UNM kembali mendapatkan sorotan tajam dari berbagai kalangan masyarakat, budaya tawuran yang sering dipertontongkan oleh mahasiswa telah mencoreng citra intelektual yang melekat pada diri mereka, pada umumnya tawuran yang sering terjadi di Makassar baik antar kalangan mahasiswa maupun antar kelompok tertentu dalam hal ini adalah SARA ataupun kelompok masyarakat lainnya seolah menggambarkan bagaimana karakter masyarakat Makassar yang sebenarnya. Khusus konflik yang melibatkan antar mahasiswa UNM yang didominasi antar fakultas Teknik, fakultas Bahasa dan Sastra,fakultas Seni dan Desain serta fakultas ilmu Keolahragaan serta fakultas lainnya kesemuanya itu nyaris terjadi karena kesalahpahaman yang tak semestinya dibesar-besarkan. Konflik yang sering terjadi berulang-ulang seolah tak pernah didapatkan solusinya, konflik ini seakan-akan terperlihara demi kepentingan tertentu, sedangkan peran birokrasi nyaris tak pernah menyentuh akar persoalan tersebut, demikian juga dengan peran lembaga kemahasiswaan yang seperti macam ompong dalam menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi.
Sebagai alumni UNM fakultas teknik, saya prihatin dengan kondisi sebagian teman-teman mahasiswa yang mengalami disorientasi berpikir, tujuan mahasiswa yang biasa dikoar-koarkan dalam setiap kesempatan training kemahasiswaan cuma sebatas kata tanpa makna, pengkhianatan identitas mahasiswa telah menggugurkan identitas yang melekat pada dirinya, dengan tingkah laku kekerasan yang biasa dipertontongkan oleh mereka, menggambarkan bagaimana kebuntuan berpikir yang menjadikan kekerasan sebagai solusi terbaiknya.
Dotrin kekerasan yang melanda sebagian adik-adik mahasiswa juga tak terlepas dari pengaruh orang-orang yang tak bertanggung jawab dalam menyebarkan isu fitnah, dendam, serta sabotase kebencian yang didiesain sedemikian rupa dalam bentuk cerita yang menyedihkan ke yunior-yunior mereka, akibatnya tertanam dendam kusumat dalam diri adik-adik mahasiswa terhadap mereka yang dianggap lawan oleh mereka. Hasil dari hasutan tersebut jelas menjadikan mahasisawa tak lagi mengedepankan cara berpikir yang benar dalam menyelesaikan masalah, karena dendam, maka kekerasan adalah satunya-satunya cara yang mesti dilakuan untuk menebus kebencian pada orang yang dianggap musuh, analisis SWOT tak lagi jadi metedologi penyelesaian konflik baginya, kondisi tersebut menjadikan mahasiswa seolah bukan lagi kelompok intelektual yang pantas untuk dikagumi karena cara berpikirnya yang matang serta ide-idenya yang brilian, akan tetapi mendapatkan cemohan yang lebih buruk dari orang-orang jalanan yang tak berpendidikan.
Dengan konflik yang tak pernah selesai, lantas siapa yang pantas untuk disalahkan dengan kondisi tersebut, birokrasikah? Mahasiswakah dalam hal ini lembaga kemahasiswaan? Ataupun pemerintah setempat, ataukah kementerian pendidikan dan kebudayaan, lantas solusi apa yang mesti diterapkan untuk memutus mata rantai konflik itu, mengingat solusi birokrasi kampus tak pernah ampuh dalam menangani konflik antar mahasiswa di UNM,ataukah perlu UNM ditutup untuk sementara waktu oleh pihak yang berwewenang, wallahua’lam……
Makassar, 27 November 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H